Senin, 27 Juni 2016

Rumah Tua

Keadaan telah banyak berubah. Rumah panggung di hadapanku, bukan yang dulu lagi. Hunian pengganti itu, tak lebih baik dari yang digantikan. Kondisinya miring. Berdiri ditopang delapan batang kayu yang mulai digerayangi rayap. Dindingnya yang terbuat dari susunan bambu, juga mulai lapuk dimakan waktu. Seingatku, rupa yang tetap bertahan adalah empat pohon rambutan di setiap sisi rumah. Keempatnya tampak semakin menjulang, melampaui atap yang terbuat dari jerami. 

Dua tahun sudah aku menetap di kota. Berada di tempat yang jauh, bersama kenangan pahit yang tak henti menggerogoti memoriku. Aku sengaja tak kembali untuk waktu yang lama. Aku enggan mengecap kenangan pilu tentang rumah tua, rumah yang telah lenyap, hanyut terseret banjir. Peristiwanya terjadi pada satu malam yang lampau, saat rumah beserta isinya itu, terbawa arus entah ke mana. Dan seiring bergantinya hari, aku dapat kabar bahwa Kakekku, satu-satunya penghuni rumah, tidak ditemukan.

Sekelumit cerita malam itu, jelas membuat rasa bersalah membekas di hatiku sampai saat ini. Aku merasa tak berguna jika teringat lagi sikapku yang tak menjaga Kakek sebagaimana janjiku pada Ibu. Padahal waktu itu, aku tahu, dia sudah tua renta. Jelas tak berdaya melakukan apa-apa kalau petaka terjadi. Dia tak lagi bisa berdiri. Hanya bisa menyeret tubuhnya serupa siput yang lelet. Penglihatan dan pendengarannya pun tak bisa diandalkan. Tapi teganya, tanpa beban, di malam saat kejadian itu, aku meninggalkannya seorang diri.

Yang lebih kusesalkan, pengabaianku pada Kakek kala itu, bukan karena alasan yang patut diterima. Kepergianku bukan untuk persoalan penting dan bermanfaat. Semua dilandasi sikap kekanak-kanakanku yang tak ada untungnya. Sebagaimana yang sering kulakukan, aku meninggalkannya demi kesenanganku sendiri. Aku beranjak ke kota untuk menikmati malam pergantian tahun dengan pesta meriah. Aku punya banyak alasan untuk pergi, sedang dia yang renta, tak punya daya untuk menyelidik.

Atas peristiwa kelam itu, aku memang pantas dikutuk sepanjang waktu. Aku telah melalaikan tanggup jawab yang harusnya kutunaikan dengan baik. Aku tak menjaga Kakek, sebagaimana ia telah memperlakukan aku sepeninggal Ayahku. Padahal, dialah yang menemaniku di saat-saat sepi. Dialah yang menggantikan kasih kedua orang tuaku sepanjang waktu, kala ibuku lebih sering menetap di kota, mengais rezeki sebagai buruh pabrik.

Dan demi berdamai dengan dosa-dosaku, akhirnya aku memberanikan diri untuk kembali ke sini, tepat di titik rumah tua dahulu berdiri. Jelas, aku datang dengan rasa bersalah atas dosa yang telah kuperbuat kepada seisi rumah tua, dahulu. Aku telah berkhianat. Ditambah lagi, sejak kejadian malam itu, aku menghilang begitu saja, tanpa berkabar kepada siapa-siapa. Aku sengaja bersembunyi dari rasa bersalah, sembari melipatgandakan dosa-dosa yang masih kurahasiakan sendiri.

Kupandangi lagi jarum jam tangan yang melingkar di pergelanganku. Sudah jam 8 malam. Hampir setengah jam berlalu, tapi aku cuma duduk di halaman rumah, di bawah pancaran sinar rembulan yang terang. Hanya mengamati sekeliling, sambil mengingat-ingat kepingan masa lalu. Hingga, dengan berat hati, kuseretlah kaki menanjaki anak tangga. Tapi setelahnya, lagi-lagi, aku berhenti di teras depan rumah. Perasaaanku kalut membayangkan betapa geramnya Ibu saat ia tahu, aku, sang pengkhianat, telah kembali tanpa permisi.

Seketika, terbersit lagi keinginanku untuk menghilang, kembali ke kota, membatalkan maksudku untuk mengimpaskan rasa bersalah yang menghantuiku sepanjang waktu. Tapi terlambat. Terlanjur sudah. Keberadaanku akhirnya dirasa juga oleh penghuni rumah. Kudengar, ada detakan kaki di lantai, bergerak mengarah ke pintu, disusul desisan serupa suara pengusir binatang. Degup jantungku pun mengencang mendengar sumber suara semakin mendekat.

Akhirnya, pintu pun berderit.

“Dirto?” tebak Ibu. Seperti tak percaya aku akan kembali. “Dirto!” ulangnya sekali lagi.

“Iya, Bu. Aku Dirto!” balasku.

Ia lalu menggantung pelita pada sebuah pengait yang menjuntai. Dengan seketika, ia memelukku, memandangi wajahku, lalu memelukku lagi. Itu berulang. Ia seakan butuh meyakinkan diri, bahwa akulah yang berada di depannya.

“Ini betul kamu kan, Nak?” Ia terlihat mulai yakin. Senyum bercampur haru, terukir di wajahnya. “Di mana saja kau selama ini, Nak? Siapa yang menyelamatkanmu?”

Sebagaimana dugaanku, selama ini, ia ternyata menganggapku telah tiada. Hilang terbawa arus.

“Sebenarnya, aku…. Aku diselamatkan seseorang di hilir sungai yang jauh di sana, Bu. Ya, seseorang telah menyelamatkan dan merawatku dengan baik. Bersama keluarganyalah aku tinggal sepanjang waktu. Mereka sangat baik, Bu” terangku. Kuduga, itulah penjelasan terbaik untuk sementara waktu.

“Tin,  ada tamu ya? Kenapa tak diajak masuk,” seru suara parau dari dalam rumah. 

Aku tak tahu siapa pemilik suara itu. Tapi kuduga, aku telah memiliki ayah baru.

Dengan agak sungkan, aku melangkahkan kaki melewati gerbang pintu, mengikuti Ibu yang mengarah ke sumber suara. Seiring itu, mataku menyorot ke segala arah, mengamati setiap perubahan yang terjadi. Sampai akhirnya, aku terheran-heran kala melihat sesosok lelaki tua di depanku. Jelas aku mengingatnya. Dia bukan orang baru di rumah ini. Dia adalah kekekku sendiri. Ya, dia!

“Kakek!” seruku, lalu mendekat dan memeluknya erat-erat. Seiring itu, pikiranku mengatakan, untuk sementara, sebaiknya aku bersikap tenang, meski kenyataan ini adalah kejutan luar biasa

“Kamu siapa,” tanyanya, sambil memicingkan mata. Ia berusaha menghimpun berkas cahaya pelita yang temaran untuk menyorot wajahku. 

Aku menggenggam tangannya, lalu kutempatkan di pipiku. “Ini aku, Kek. Cucu Kekek sendiri. Dirto!”

“Apa? Rinto? Rinto Siapa?” tanyanya lagi. Ia tak mendengar jelas kataku.

“Dirto, Pak,” sahut Ibuku dengan cara mengeja yang khas. Ia tahu cara tepat berbicara dengan Kakek.

“Dirto? Cucuku!” serunya. Ia balas memelukku. “Dari mana saja kamu selama ini, Nak? Bukankah kau telah…?

“Aku di kota, Kek,” selaku seketika, “Aku diselamatkan seseorang dari banjir."

Lagi-lagi, telinga Kakek tak menangkap ucapanku dengan baik. Ibu lalu mengeja kata-kataku itu, seperti sebelumnya, dan berhasil.

“Bagaimana Kakek bisa menyelamatkan diri?” tanyaku, sambil menatap wajahnya yang legam dan berkeriput. Aku yakin, ia tak akan mendengarnya. Tapi aku tahu, Ibu akan membantu.

“Dia diselamatkan warga di kecamatan sebelah. Syukurlah, saat malam kejadian, ia terus berpegangan dan mengapung pada balok kayu, sampai akhirnya ia bisa menepi,” jelas Ibu. “Kau tak perlu khawatir. Dia baik-baik saja, walaupun tuli dan rabunnya semakin menjadi-jadi.”

Aku melemparkan senyuman pada Ibu.

“Syukurlah kita bisa berkumpul kembali. Ibu janji tidak akan pergi meninggalkan kalian ke kota dengan alasan apa pun,” sambungnya.

Aku mengangguk penuh haru.

“Di sini, sedari dulu, kami sangat merindukan kehadiranmu, Nak. Kenapa tak kembali dari dulu, Nak?” tanya Ibu, sambil mengusap-usap kepalaku.

“Maafkan aku, Bu. Aku tak tahu harus bagaimana. Ketika kudengar kabar bahwa Kakek terbawa arus bersama seisi rumah, aku yakin, ia tak akan selamat. Aku sungguh merasa bersalah, sebab tak bisa melakukan apa-apa untuk menyelamatkannya. Rasa bersalah itulah yang membuatku enggan untuk pulang, Bu. Tapi, ya, aku memang tak bisa apa-apa waktu itu. Saat itu, aku tengah di kebun untuk menjaga tanaman jagung kita dari babi hutan. Hingga akhirnya arus banjir menyeretku seketika,terangku dengan raut wajah yang memelas.

“Kau tak perlu menyalahkan dirimu, Nak. Aku percaya, kau selalu berusaha menjaga Kakekmu. Tapi aku tahu, saat itu, kau memang tak mungkin bisa membantunya. Aku paham, Nak,” balas Ibu dengan sikap yang penuh pengertian.

Aku bingung harus berucap apa lagi. Semakin aku berucap, kebohonganku semakin menumpuk-numpuk. Akhirnya, aku memilih diam seribu tanya, kemudian memeluk Ibu, juga memeluk Kakek. Kami pun tampak bersatu kembali sebagai keluarga kecil, tapi dengan segala kebohongan yang kututup-tutupi, entah sampai kapan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar