Aku
masih ingat kejadian dua bulan yang lalu. Waktu itu, kita yang terjebak di
sebuah kafe sambil menunggu hujan reda, terlibat dalam perdebatan yang sengit.
Penyebabnya karena kau mulai mempertanyakan keseriusanku dalam hubungan kita.
Kau mulai ragu atas kesungguhanku mendampingimu sepanjang waktu. Dan
kesimpulannya, kau ingin aku menikahimu.
Jalan
pikiranmu benar-benar sulit kupahami. Jika selama dua tahun hubungan kita masih
baik-baik saja, itu harusnya bisa kau pegang sebagai bukti bahwa aku akan
bertahan denganmu, hingga kita menikah suatu saat nanti. Seperti yang selalu
kukatakan padamu, semua hanya masalah waktu. Kau seharusnya tak usah meragukanku.
Sungguh,
aku tak pernah berniat mempermainkanmu dalam hubungan yang kau anggap penuh
ketidakpastian. Maksudku, di selang waktu antara aku menyatakan perasaanku
sampai kita menikah nanti, akan kulakukan yang terbaik demi masa depan kita.
Aku akan menempuh jenjang pendidikan setinggi tingginya, hingga mendapakan
pekerjaan yang menjamin, demi anak dan cucu kita kelak.
“Jadi,
kau butuh pekerjaan dulu baru menikahiku. Setelah itu, kau akan beralasan butuh
rumah dulu. Setelah itu, kau harus beli mobil dulu. Setelah itu kau harus punya
tabungan dulu, dan seterusnya, dan seterusnya. Terus kapan?” cerocosmu, saat
kita mengobrol di sebuah kafe, di waktu yang lampau. Kau tampak sangat kesal. “Waktu
bisa mengubah segalanya Tomi.”
“Terus,
maumu, kita menikah saja, memiliki anak, dan tidak memiliki bekal apa-apa? Mau
kita apakan anak kita nanti?” banatahku, sedikit menekan. “Rina, mengertilah,
akan datang waktu yang tepat untuk kita menikah.”
“Pokoknya,
aku ingin secepatnya. Kau tak takut, kalau suatu waktu, ada seorang lelaki yang
lebih berani dan lebih dahulu meminangku, lalu aku tak bisa memilih apa-apa
selain mengiyakannya?” balasmu lagi, seperti mengancam.
“Aku
bisa apa jika kau mengalah pada keadaan, sebelum datang waktu yang tepat untuk
kita menikah,” balasku dengan penuh kepasrahan.
Kau
tampak semakin gusar. “Tapi kapan Tom? Jika sikapmu begini-begini saja, itu
buktinya, kau tak benar-benar mencintaiku,” tuturmu, lalu beranjak pergi,
menghilang dibawa taksi. Kau meninggalkanku.
Dan
pada hari itu, hubungan kita pun berakhir tanpa kata “putus”.
Sepanjang
hari setelah kejadian itu, aku benar-benar dilanda kekalutan. Aku jelas merasa
berat memilih di antara salah satu dari dua pilihan yang tak boleh kuabaikan,
antara keinginanmu dan keinginanku. Jika aku mengikuti keinginanmu, maka kita
akan hidup bersama. Tapi seiring itu, aku akan mengabaikan keinginanku, sebuah
cita-cita untuk membahagiakan orang tuaku, ibuku. Aku akan mengabaikan pesan
almarhum ayahku, agar aku sekolah tinggi-tinggi.
Dan
akhirnya, sebagaimana katamu, waktu memang bisa mengubah segalanya. Setelah aku
bersikeras dengan pendirianku, segala hal malah membuatku harus mengalah. Setelah
melalui pergulatan batin yang panjang, dan setelah mendapat dorongan dan restu
dari ibuku, aku akhirnya mengalah pada keinginanmu. Kini, kita benar-benar
berada dalam ikatan yang kau inginkan, dalam ikatan pernikahan.
“Apa
yang membuatmu meluluh, lalu memutuskan untuk menikahiku? Bukankah sebelumnya
kau kukuh pada keinginanmu tentang harta benda dan pendidikan?” tanyamu, kala kita
duduk sambil menikmati cemilan dan menonton televisi, tepat di hari ketujuh
pernikahan kita.
“Ya,
karena aku mencintaimu,” kataku, bermaksud menyenangkanmu. “Sejujurnya, aku
takut juga pada ancamanmu, kalau suatu saat, seseorang akan meminangmu lebih
dulu, dan kau tak bisa apa-apa selain menerimanya.”
Kau
menyandarkan kepalamu di pundakku, sambil mengandeng tanganku erat-erat. Genggamanmu
terasa hangat. “Aku memang yakin, kalau kau tak akan rela kalau kita berpisah.
Aku tahu, kau begitu mencintaiku,” tuturmu, sambil memandangiku lekat-lekat. “Dan
setelah kita menikah, aku semakin tenang. Aku tak ragu lagi bahwa kita akan
terus bersama seumur hidup.”
“Ya,
kita akan terus bersama, sepanjang waktu,” timpalku.
Kita
lalu terdiam sejenak.
Tak
lama kemudian, kau menyentil topik lain, tentang ibuku yang meninggal dua hari
yang lalu. “Dalam momen seperti ini, aku jadi ingat Ibumu. Jika saja ia masih
ada, aku yakin ia akan senang melihat kita berdua.”
“Ya.
Pastinya, ia akan bahagia melihat kita berdua,” kataku, sembari mengusap-usap
rambutmu.
Tiba-tiba,
aku teringat lagi perdebatan panjang dengan ibuku, saat ia terbaring lemas,
seminggu sebelum pernikahan kita.
“Menikahlah,
Nak. Aku ingin kau menikah sebelum aku pergi untuk selamanya,” pintanya.
Aku
berusaha menyanggah, “Aku tak bisa, Bu.
Siapa yang akan menemani hidup Ibu kalau aku menikah?” kataku. “Ibu
adalah faktor kebahagiaanku. Kalau Ibu bahagia, aku juga ikut bahagia. Aku tak
masalah jika tak harus menikah demi Ibu.”
“Tapi,
Nak, aku tak menginginkan apa-apa lagi untuk bahagia, selain melihatmu menikah.”
Aku
tetap ingin membantahnya, “Tapi, Bu…”
“Nak,
aku mohon,” sergahnya. “Aku mohon, menikahlah.”
Setelah
percakapan dengan ibuku itu, aku akhirnya memutuskan untuk menikahimu.
Dan
sejujurnya, tentang sejarah perjalanan cinta kita, ada satu hal yang belum kau
tahu dan masih kurahasiakan, bahwa alasan utamaku menikahimu, bukan untuk
mengikuti keinginanmu, Semua itu kulakukan karena alasan lain: demi ibuku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar