Minggu, 12 Juni 2016

Ironi Penegakan Hukum

Kejadiannya hari Rabu, 8 Juni 2016, di Kota Serang, Banten. Seorang ibu berusia 53 tahun bernama Saeni, tampak sedih dan ketakutan melihat barang  dagangannya diangkut Satpol PP. Nahas, responsnya yang mengibakan itu, sama sekali tak dihiraukan para penegak aturan. Mau tidak mau, Saeni harus pasrah dagangannya dilibas. Ia dinyatakan melanggar peraturan daerah Kota Serang terkait larangan membuka warung pada siang hari selama Bulan Ramadan.

Penertiban secara keras terhadap pedagang kecil, yang sekasta dengan Saeni, sebenarnya sudah sering terjadi. Media-media sudah sering mempertontonkan perlakuan semacam itu, menimpa pemilik warung sederhana, pedagang asongan, pedagang kaki lima. Mereka yang notabene hanya mencari penghidupan, sebisanya hanya membela diri sambil menangis atau lari pontang-panting, demi melindungi barang dagangan mereka. Tak ada daya untuk melawan.

Cerita seperti Saeni, akan terus berulang selama perut masih butuh makan, dan tidak ada kepedulian para pengambil kebijakan. Orang-orang pinggiran yang tersisih dari persaingan kehidupan kota yang kapitalistik, akan terus “berulah”, mengikuti naluri mereka. Demi bertahan hidup, mereka terpaksa menggelar lapak sederhana.

Ironisnya, usaha untuk mencari rezeki yang halal, malah sering dianggap masalah oleh pemerintah. Bukannya mencarikan solusi untuk usaha mereka, pemerintah malah mengambil jalan pintas dengan menerbitkan peraturan penertiban (baca: pemusnahan) pedagang. Atas dasar aturan tertulis itu, dicaplah para pedagang sederhana sebagai pedagang liar dan kumuh, sehingga layak dibredel.

Tawarnya Sensitivitas Kemanusiaan

Rentetan pemusnahan pedagang sederhana yang dicap liar, seperti dipertontonkan di media massa, jelas menyentuh sisi kemanusiaan semua orang yang masih manusia. Menyaksikan barang dagangan diobrak-abrik, serta kesedihan para pencari nafkah yang mengharukan, seharusnya membuat sedih siapa pun yang peka.

Tapi belakangan, sisi kemanusiaan semakin tergerus. Akibat aktivitas penggusuran pedagang sederhana sudah sering terjadi, dianggaplah kejadian semacam itu biasa saja. Malah, banyak yang membenarkan tindakan para penegak aturan itu sebagai tindakan tegas terhadap para pelanggar aturan. Atas nama “penegakan hukum”, sisi kemanusiaan harus dikesampingkan. Hukum tertulis telah dipertuhankan.

Di balik tameng Indonesia adalah negara hukum, maka segala sesuatu dianggap harus didasarkan pada aturan tertulis. Apa pun bisa dilakukan asalkan didasarkan pada aturan. Paradigma positivisme hukum, kini menguasai nalar para pengambil kebijakan dan penegak hukum. Hukum dipersempit sekadar peraturan perundang-undangan. Imbasnya, penegakan hukum pun hanya merujuk pada ada tidaknya aturan tertulis.

Sikap buta yang mempertuhankan doktrin positivisme hukum, lambat laun, tanpa disadari, semakin menjauhkan hukum dari tujuannya. Hukum tidak lagi ditujukan untuk melindungi hakikat kemanusiaan, melainkan sebaliknya, dijadikan alat oleh para penguasa untuk mencapai ambisinya. Penegakan hukum pun dilakukan secara keras, bahkan dengan kekerasan, dan secara nyata melanggar hakikat kemanusiaan.

Paradigma sempit yang menganggap hukum sekadar aturan tertulis, serta penegakannya yang dilakukan secara membabi-buta, rentan memupuskan sisi sensitivitas kemanusiaan. Tidak ada lagi rasa kasihan menyaksikan “pemerkosaan” terhadap hak asasi manusia, sebab itu dianggap telah sesuai dengan aturan. Orang-orang pun dengan mudah menyalahkan orang yang dicap melanggar hukum, tanpa kepedulian untuk melihat sisi lain dari si pelanggar, misalnya niat, motif, atau ketidakberdayaannya.

Sikap mendewakan aturan hukum tertulis, sudah saatnya dihilangkan. Apalagi mengingat bahwa masih banyak aturan hukum yang lahir dengan proses-proses yang tidak akomodatif dan aspiratif. Banyak juga aturan hukum yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, sehingga butuh penyesuaian dalam penerapannya. Belum lagi, berseliweran banyak aturan hukum tingkat bawah yang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, bahkan bertentangan dengan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara yang sejatinya adalah ruh aturan tertulis.

Akhirnya, hukum harus ditujukan untuk menjamin pemenuhan dan perlindungan sisi-sisi kemanusiaan setiap insan manusia. Hukum, dalam hal ini hukum tertulis, tak boleh dijadikan dasar pembenaran untuk menginjak-injak nilai-nilai kemanusiaan.

Penegakan Hukum Harus Manusiawi

Tanpa terlebih dahulu menetapkan apakah seseorang salah atau tidak di hadapan hukum, ia tetaplah manusia sebagai objek perlindungan hukum. Setiap individu manusia, memiliki hak dan kewajiban menurut hukum, sesuai dengan perbuatan hukumnya. Untuk itu, segala bentuk perlakuan menurut hukum, terhadap pedagang, entah pedagang kecil atau besar, harus dilakukan secara adil dan manusiawi.

Penegakan hukum yang manusiawi bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Diupayakan agar pengegakan hukum, seoptimal mungkin, menyelasarkan pencapaian segenap tujuan hukum. Pencapaian itu tidak sekadar kepastian hukum, tetapi juga keadilan dan kemanfaatan hukum. Untuk itu, capaian akhir penegakan hukum, tidak sekadar realisasi aturan tertulis, tetapi juga terpenuhinya hak dan kewajiban manusia dan terlindunginya hakikat kemanusiaan.

Pada konteks maraknya pedagang kecil yang dicap melakukan pelanggaran, pendekatan hukum juga harus dilakukan secara manusiawai. Mereka yang sekadar berupaya menyambung hidup dari usaha jual-beli, selayaknya tak diperlakukan semena-mena dengan alasan melanggar aturan tertulis. Bagaimana pun juga, merupakan persoalan asasi dan merupakan hak konstitusional warga negara untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Di sisi lain, dengan semrawutnya tatanan tempat usaha pedagang kecil, harusnya disikapi pemerintah dengan melakukan pembenahan secara bijak. Persoalan ini harusnya dianggap sebagai kritik sosial bagi pemerintah, agar segera mengupayakan sistem perekonomian yang baik dan adil, terutama memfasiltasi pedagang kecil dalam mencari penghidupan. Fasiltas itu misalnya membangun kawasan perdagangan yang memadai dengan sistem penataan yang baik.

Akhirnya, hukum dan penegakannya haruslah demi kepentingan manusia. Hukum sejatinya diciptakan untuk manusia. Karena itu, perihal kemanusiaan, harus menjadi jiwa hukum. Hukum harus bersahabat bagi seluruh insan manusia, siapa pun itu. Tegasnya, hukum dan penegakannya tak boleh padang bulu dan harus diwujudkan dengan cara-cara yang manusiawi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar