Anton
patut berbangga diri, sebab bisa memperistri Aminah, gadis cantik yang
dielu-elukan pemuda desa semasih gadis. Mengalahkan banyak lelaki dalam
meluluhkan hati sang istri, jelas sebuah pencapaian hebat. Tapi satu hal yang sedari
dulu ia wanti-wanti, bahwa ia harus lebih banyak bersabar, tiap kali menyaksikan
mata para lelaki yang suka melirik kecantikan istrinya.
Ketakutan
Anton, belakangan mulai terbukti. Hari demi hari, dugaannya bahwa sang istri bermain
mata dengan lelaki lain, semakin kuat. Buktinya, sikap sang istri banyak
berubah. Wanita yang dinikahinya 15 tahun lalu itu, tiba-tiba jadi pendiam,
tanpa alasan yang jelas. Seakan-akan ada rahasia besar yang ditutup-tutupinya.
Kecurigaan
Anton semakin kuat kala melihat tingkah laku istrinya yang suka bersolek. Sang
istri jadi rutin merias wajah. Beragam jenis aroma parfum pun, merebak dari
pakaian modisnya setiap hari. Padahal, ia tak hendak ke mana-mana dan tak ada
acara apa-apa. Atas semua keganjilan itu, Anton yakin, istrinya menjamu tamu
terlarang kala ia masih berada di kantor.
Biarpun
dugaannya terus menghantui, Anton tak lantas bertindak gegabah. Ada ketakutan
kecil dalam dirinya, kalau-kalau kecurigaannya itu, hanya kasimpulan sesat. Ia
jelas tak ingin salah menuduh. Karena itu, ia perlu bukti. Maka, beberapa hari
belakangan, ia pun melakukan aksi pengintaian. Bahkan tanpa sungkan, ia
mengorek informasi dari para tetangganya.
Aksi
mata-mata yang dilakukan Anton, pada akhirnya, tak membuahkan hasil apa-apa. Ia
tak menemukan bukti kalau ada sosok lelaki yang bertamu di rumahnya secara
mencurigakan, tanpa sepengetahuannya. Dan untuk benar-benar mendamaikan perasaannya, pagi ini,
kala ia tengah sarapan dengan istrinya, Anton pun memberanikan diri menyinggung
perihal itu.
“Pagi-pagi,
Ibu sudah berdandan. Memangnya ada seseorang yang akan bertamu?” tanya Anton
dengan sikap sinis.
Aminah
yang tengah lahap menyantap makanan, seketika berhenti mengunyah. Ia pun
membalas dengan raut wajah judesnya, “Apa yang salah? Bukannya istri memang
harus pandai berdandan?”
Menyaksikan
respons istrinya, Anton tak jadi menyendok nasi. Matanya menyorot tajam pada
sang istri. “Memang tak ada yang salah, Bu. Aku hanya penasaran saja tentang
alasan Ibu rajin-rajin berdandan belakangan ini. Lebih sepuluh tahun kita menikah,
biasanya Ibu berdandan jikalau ada hajatan. Apa tak wajar kalau aku
mempertanyakan perubahan sikap Ibu?” balas Anton dengan nada suara yang tegas.
Seketika,
selera makan Aminah, menghilang. Ia lalu meneguk air putih. Bermaksud melegakan
tenggorokannya, demi meladeni baik-baik obrolan dengan sang suami. “Alasannya?
Itu karena aku sadar sudah semakin tua, Pak. Kulitku mulai keruput. Jika aku
tak berdandan dan tampak jelek, mana mungkin Bapak betah,” tegasnya. “Waktu aku
masih muda saja, aku ragu Bapak benar-benar menyukaiku.”
“Ibu
meragukan kesetianku?” Nada suara Anton, semakin meninggi. “Ingat, Bu, aku tak
sedikitpun berkhianat pada janji suciku di depan Tuhan. Seratus tahun ke depan,
kala Ibu tua dan tak cantik lagi, aku akan tetap setia. Ibu jangan ragukan itu!
Malah, akulah yang patut curiga kalau Ibu telah mengkhianati pernikahan kita.”
“Apa
Bapak bilang, aku berkhianat?” solot Aminah. “Bapaklah yang berkhianat. Aku
minta bapak jujur saja, berapa wanita yang menjadi selingkuhan Bapak, dua,
tiga, atau lebih? Bapak kira aku tak tahu tentang kiriman kado ulang tahun
berisi jam tangan dari perempuan bernama Cindy, yang sampai di rumah empat hari
lalu, yang pada pembungusnya terselip ucapan, ‘Selamat ulang tahun sayang’? Bapak
kira aku tak tahu?”
Anton
seketika kebingungan mendengar tuduhan yang baru saja dilontarkan sang istri.
“Mana aku tahu tentang jam tangan itu. Coba Ibu pikir-pikir lagi, jangan sampai
itu dari selingkuhan Ibu, yang menggunakan identitas palsu.”
“Apa?
Bapak jangan asal menuduh. Aku ini istri yang setia. Tapi Bapak…?” suara Aminah
tertahan sejenak. Matanya tampak berair. “Terus, Bapak kira aku tak tahu kalau
belakangan ini Bapak sering berkunjung ke rumah tetangga sebelah, rumah janda
muda beranak satu itu?” Air matanya pun mentes. “Sudahlah Pak, mengaku saja.
Kalau pun harus diceraikan dengan cara baik-baik, aku siap, Pak.”
Tiba-tiba,
Anton tak tega membalas istrinya lagi. Sedikit demi sedikit, ia mulai memahami
kalau ada kesalahpahaman antara dia dan istrinya. “Aku ke rumah janda itu hanya
untuk…,” Anton kebingungan mencari alasan pengganti yang tepat, bahwa ia ke
rumah si janda, hanya untuk mengorek informasi tentang kecurigaannya selama
ini, “…Hanya untuk bertamu, Bu. Apa salahnya? Syukur kalau Ibu masih melihatku.
Itu artinya aku tak ada rahasia apa-apa. Lagian, mana mungkin aku selingkuh
dengan janda itu. Ibu lebih cantik.”
Aminah
lalu menyeka air matanya. Kata-kata terakhir sang suami yang terkesan
menggombal, tak sedikit pun menggelitik senyumannya.
Tiba-tiba,
suara tapakan kaki, terdengar menuju ke arah mereka. Itu pastinya Ardan, anak
semata wayang mereka. Dengan sigap, mereka pun memperbaiki keadaaan, seakan tak
ada apa-apa yang telah terjadi di antara mereka.
“Ayah,
Ibu, apa kemarin-kemarin, tak ada kiriman yang sampai di rumah?” tanya Ardan,
anak mereka yang kini duduk di bangku kelas II SMP.
Anton
menggeleng.
Aminah
bergeming.
Tanpa
ada pertanyaan lebih jauh, Ardan bergegas pergi, menuju ke sekolah.
Anton
dan Aminah pun, saling melirik.
“Ya,
tanggal ulang tahunku dan Ardan memang berada di bulan yang sama,” ketus Anton.
Tampak,
Aminah berat untuk membalas. Ia cuma mengangguk kecil, kemudian melanjutkan
santapannya.
Kini,
Anton dan Aminah, dua sejoli, sepasang suami istri, hanya saling mendiamkan.
Tak kuasa berkata apa-apa lagi. Mereka seakan sadar bahwa ada yang perlu mereka
bicarakan dengan diri mereka masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar