Akhirnya
tragis. Di antara kami yang disebut sahabat sejati, ternyata ada luka yang
harus diikhlaskan, dibunuh dengan cinta. Tak ada yang tahu. Mungkin dia,
sahabatku, Dendi, sama seperti kalian. Selalu berprasangka baik pada teman
dekat. Padahal, sedekat apa pun kita pada seseorang, akan selalu ada perihal yang
sebaiknya dirahasiakan.
Awal
kisah kami, bermula setahun lalu, di tahun ketiga kami duduk di bangku kuliah.
Kala itu, aku mulai penasaran dengan perubahan sikapnya. Dia tak lagi urakan
seperti biasa. Tiba-tiba jadi lelaki yang terkesan tenang dan dingin.
Penampilannya pun berubah. Jadi terlihat rapi. Tak lagi suka mengenakan kaos
oblong, sandal, dan jins sobek-sobek ke kampus. Ia bahkan merelakan rambut
gondrongnya yang dipelihara setahun lebih, dibabat habis.
Jika
sudah begitu adanya, pikiranku pun tertuju pada satu kesimpulan: semua itu
pasti gara-gara wanita. Kupikir, tak ada kekuatan apa pun yang mampu mengubah
kerasnya watak lelaki, kecuali kelembutan seorang wanita.
Nah,
jelas saja tebakanku benar. Suatu hari, ia mengakuinya.
“Katanya
laki-laki sejati. Masa sama wanita saja takluk?” ledekku.
Dia
tiba-tiba menghentikan petikan gitarnya, setelah melantunkan belasan lagu bernuansa melankolis.
“Mau diapa lagi. Aku tak tahan Jon. Dia sangat menarik. Sejak pertama kali
melihatnya, aku sudah yakin dia jodohku,” akunya.
Aku
tak tahu siapa sosok yang ia maksud. Dia masih berkeras untuk merahasiakannya.
Ciri-ciri saja, ia tak mau memberitahuku. Yang pasti, wanita incarannya itu
adalah seorang mahasiswi di kampus kami. Sosok yang aku kenal, katanya.
“Iya.
Itu sih hakmu. Tapi tak mesti juga kau berubah drastis cuma gara-gara wanita.
Kau tahu, yang paling penting dalam menjalin hubungan itu adalah kejujuran.
Kalau kau pura-pura berubah hanya untuk memikatnya, yakinlah, suatu saat ia
akan meninggalkanmu, setelah tahu siapa kau sesungguhnya,” nasihatku. Terus
terang, aku sangat prihatin padanya. Apalagi belakangan ia keseringan mengkhayal
dan kurang percaya diri dengan penampilannya. Jadi sering bercermin.
“Aku
sih, sepakat saja dengan pendapatmu. Makanya, aku telah berubah. Bukan
pura-pura,” sanggahnya. “Jujur saja, aku pernah menghampirinya tempo hari, tapi
ia seperti menghindariku. Aku tahu, semua itu gara-gara penampilanku. Aku sudah
melakukan observasi. Setelah kupikir-pikir, ternyata ada baiknya juga
berpenampilan rapi sepertimu. Ia pasti suka.”
“Terserah
kau sajalah. Tapi setidaknya, tak usah lagi merepotkanku. Sudah cukup kau
meminjam-minjam pakaianku hanya untuk memikat hatinya. Itu keterlaluan Den,” singgungku.
Ya, dia memang sering meminjam segala macam sandangku belakangan ini.
Dia
malah tertawa. “Bilang saja kalau kau iri karena tak punya nyali untuk
mengakhiri kesendirianmu,” oloknya, terlihat sangat senang.
Aku
tak menggubris.
“Masa
begitu saja kau perhitungan. Kita kan teman. Atau kau semakin takut kalau aku
mengakhiri pertemanan kita demi seorang wanita?” tanyanya.
“Terserah
kamu!” tegasku. “Yang pasti, aku akan buktikan kalau akulah yang lebih dulu menghancurkan
pertemanan kita. Aku janji, akan mendahuluimu menaklukkan hati seorang wanita.”
“Memangnya
kau punya incaran?” ledeknya lagi. “Kalau pun punya, belum tentu dia ingin kau
incar.”
“Aku akan buktikan!” pungkasku.
Diam-diam,
aku juga menyimpan bayangan sosok wanita yang menjadi idamanku selama ini. Aku punya
titik terang kalau rasaku akan berbalas.
Waktu
terus berjalan. Kenyataan yang tersibak pun, memaksaku agar tak terlalu
berhasrat mengalahkan Dendi dalam pertaruhan soal wanita. Aku merasa sepatutnya
melangkah mundur daripada maju di arena pertempuran. Bukan berarti aku pengecut.
Hanya saja, jika harus menghancurkan sahabatku sendiri, aku lebih baik bunuh
diri.
Langkahnya
ternyata sudah terlalu jauh. Aku kalah cepat mengambil awalan dibanding dia. Sungguh
keterlaluan jika aku sekonyong-konyong merusak kedekatan mereka yang tampak
semakin erat.
Kini, aku harus membiasakan diri, bahwa di waktu-waktu senggangku, tak ada lagi Dendi. Ia pergi beserta sosok yang selama ini kuidamkan. Persahabatan kami berakhir. Angan-anganku tentang cinta pun, harus kuhancurkan. Perasaanku seperti mati suri.
Kini, aku harus membiasakan diri, bahwa di waktu-waktu senggangku, tak ada lagi Dendi. Ia pergi beserta sosok yang selama ini kuidamkan. Persahabatan kami berakhir. Angan-anganku tentang cinta pun, harus kuhancurkan. Perasaanku seperti mati suri.
Aku
mengalah kawan!
Dentang
detik pun seperti berlari. Aku tak pernah menduga, ia begitu cepat mengakhiri
masa pertemanan kami secara sungguh-sungguh. Bukan karena benci, tapi cinta. Ia
telah bertekad mencintai sosok wanita, lebih dari sekadar teman dekat. Ya, dia akan
mendapatkan cinta sejatinya, dan aku harus tahu diri untuk berhenti menuntut
kesetiakawanannya lagi seperti biasa.
Kalian
tahu? Aku merelakan semua itu karena cinta.
“Jon,
bulan depan kami akan menikah,” tuturnya.
Jelas
saja aku kaget mendengar penuturannya. “Kenapa buru-buru sekali?” tanyaku,
berusaha merespons sebiasa mungkin.
“Aku
yakin sudah saatnya Jon. Lebih baik bagitu. Aku takut hatiku atau hatinya
berbalik ke arah lain. Perasaan manusia kan mudah berubah-ubah. Tak ada kesetian tanpa ikatan yang pasti,” balasnya,
tampak serius. “Ngomong-ngomong, kamu bisa bantu aku kan? Aku tahu kau punya
keahlian fotografi. Kau kan mendalaminya di kampus. Jadi rencananya, aku ingin
kau yang memotret kami saat pernikahan nanti. Bisa kan?”
Terus
terang, aku merasa berat membantunya. Rasa kehilanganku yang berlipat ganda,
belum sembuh total. Tapi atas nama pertemanan, apa pun kulakukan. “Baiklah. Asal
ongkosnya sepadan saja,” ujarku, setengah bercanda.
Dia
tersenyum. “Oh, ya. Ini kemejamu yang tercecer di rumahku. Sebelumnya terima
kasih ya. Mungkin karena ini juga, aku bisa meluluhkan hatinya. Dia selalu suka kalau
aku mengenakannya. Aku terlihat tampan, katanya.”
Penuturannya
membuat anganku tentang cinta sejati, timbul-tenggelam. Tarik-ulur. Tapi aku
harus melawan diriku sendiri. Kuterima saja pengembaliannya, sembari berencana
untuk segera melenyapkannya di tengah kobaran api.
“Sebagai
sahabat, kau tak seharusnya berterima kasih,” balasku.
Akhirnya,
sampailah cerita kami pada klimaksnya. Kali ini, aku melakukan pengorbanan
terbesarku sebagai seorang sahabat. Meredam perasaanku sendiri untuknya.
Bagaimana tidak, di balik lensa kemera, aku menatap ia dan seorang wanita,
mantan dambaanku, bahagia bersama. Mirisnya, aku bahkan harus jadi dalang untuk
pose mesra mereka. Sungguh menguras emosi.
Kalian
bisa bayangkan rasanya? Tapi sudahlah, aku yakin, jika kalian berada di
posisiku, kalian juga akan mengambil sikap yang sama denganku, kan?
Tapi, tak
usah kalian terlalu mengkhawatirkan kehidupanku. Aku bukan orang yang mudah
putus asa. Terus terang, aku tak menaruh dendam kesumat pada kenyataan ini.
Pastilah waktu meneguhkan kembali semangat hidupku. Kelak, akan datang juga sosok
wanita lain yang membuatku merasa bersyukur ditakdirkan kalah dalam kisah kali
ini. Itu adalah janji-Nya. Pasti.
Untuk
kalian yang paham tentang kisah ini, aku harap kita sependapat kalau
kekalahanku adalah kekalahan terindah. Iya kan? Tapi aku mohon, jangan tanya aku
siapa sosok wanita dalam cerita ini. Kalau pun kalian bisa menebak, aku minta,
jangan bilang siapa-siapa.
“Jon,
jadi kapan kau akan menyusulku?” tanyanya, seusai resepsi.
“Aku
butuh waktu, Den,” pungkasku, dengan alasan yang mungkin akan kurahasiakan
selamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar