Sudah
hampir sebulan Suman menabung. Usahanya keras. Belakangan, sepulang sekolah, ia
selalu mambantu Ibunya berjualan kue di pasar. Ia bahkan merelakan sorenya
berlalu, tanpa bermain apa-apa dengan anak sebayanya di lapangan desa. Kerena itu,
ia dapat bonus uang jajan dari sang Ibu. Tapi, semuanya ia masukkan secara utuh
dalam celengan.
Hari
ini, waktunya menghitung jumlah tabungan. Ia telah memperkirakan kalau selama
sebulan, uang yang terkumpul sudah cukup untuk membeli sesuatu yang didambakannya.
Perihal yang tak pernah ia ceritakan kepada siapa pun. Hanya ia yang tahu alasan
di balik semua perjuangnnya sebulan terakhir.
Di
tengah rasa penasaran yang menggebu-gebu, ia pun membuka tutup stoples,
celengannya. Menuang dan merogoh seluruh isinya, sampai keluar dan tertumpuk di
lantai. Jantungnya pun berdegup kencang. Ia masih mewanti-wanti, jangan sampai
ia salah menabung, hingga nominal uang terkumpul, melenceng dari perkiraan.
Tiba-tiba
saja, ia menangis seusai menghitung berulang kali jumlah tabungannya. Apa yang
ia takutkan, jadi kenyataan. Isi tabungannya, tak sesuai dengan yang
diperkirakan.
“Kamu
kenapa menangis?” tanya Sara, kakaknya yang modis. Ia baru saja pulang dari
rumah bibinya di kota, diatar teman lelakinya. Di sanalah ia bersekolah, di
sebuah SMA favorit. Ia hanya pulang kala hari Minggu. Bahkan kadang tak pulang
dalam sebulan. “Kau sudah kelas IV SD. Tak boleh cengeng-cengeng.”
“Tabunganku,
Kak,” tuturnya sembari menangis tersedu-sedu.
“Tabunganmu
kenapa? Tak cukup seperti yang kau harapkan?” tanya Sara lagi. “Makanya, kalau
menabung itu sungguh-sungguh. Jangan banyak jajan.”
“Tapi
seharusnya cukup, Kak. Aku sudah memperkirakannya,” balasnya.
“Alasanmu
saja!” bantah Sara. “Memangnya ada yang mencuri isi tabunganmu? Kau kira saya
yang mencurinya? Atau Ibu? Kamu jangan pikir macam-macam ya.”
“Tidak,
Kak. Aku tidak berpikir begitu,” elaknya, meski ia sebenarnya menduga memang
ada yang telah menilep tabungannya. Tapi ia tak tahu siapa yang tega.
“Sudah
kalau begitu. Jangan menangis lagi!” perintah Sara.
“Tapi
aku butuh uang, Kak,” keluhnya. “Aku ingin membeli sesuatu. Aku harus punya
barang itu besok, Kak.”
“Makanya,
dari dulu aku bilang kau jujur saja tentang apa yang ingin kau beli. Jangan
dirahasiakan begitu,” tegas Sara, terlihat semakin dongkol.
Suman
menghentikan tangisannya sejenak. Ia kemudian memandang takut kepada Kakaknya.
“Aku ingin beli boneka untuk seseorang, Kak,” tuturnya.
“Apa?
Untuk apa? Untuk hadiah ulang tahun? Kau mulai main-main perasaan sekarang
kayak di sinetron-sinetron?” tebaknya. “Kau itu masih kecil. Nanti kalau sudah
dewasa, baru boleh kasi hadiah pada seseorang.”
“Bukan
untuk itu, Kak. Tapi…” Ia tak kuasa berterus terang. “Aku ingin membeli boneka
untuk Kakak.”
Sara
tersentak. “Buat apa?” tanyanya, tegas.
“Aku
yang menghilangkan boneka milik Kakak di kamar dahulu,” akunya. Maafkan aku,
Kak. Aku yakin, Kakak pasti membutuhkannya. Aku mohon, Kakak jangan marah ya.”
Tiba-tiba
saja, lidah Sara keluh. Ia tak kuasa lagi berkata keras-keras. Rasa harunya tergugah
melihat Suman, berjuang diam-diam demi sebuah tanggung jawab. Sekarang, ia merasa
bersalah, telah membiarkan sang adik tersiksa batin sebulan terakhir.
“Oh,
boneka beruang itu? Tak apa-apa. Aku juga sudah tak membutuhkannya. Harusnya
kau bilang dari dulu,” tuturnya dengan intonasi suara yang seketika merendah.
Drastis.
Suman
pun merasa tenang melihat kakaknya tak garang lagi. “Tapi itu kan pemberian
dari teman lelaki Kakak. Itu pasti berarti,” tuturnya, terkesan masih menyesal.
“Ah,
tidak apa-apa. Lagian, dia bukan siapa-siapa Kakak. Hanya teman biasa,”
balasnya. Ia tahu kalau adiknya mulai mengerti tentang arti hadiah dari seorang
lawan jenis. Sinetron banyak menjelaskannya. “Buat aku, lelaki yang paling
berarti di dunia ini hanya almarhum Ayah dan kamu. Jadi, jangan pikirkan boneka
itu lagi ya.”
Suman
mengangguk. Merasa tenang.
Kali
ini, Sara benar-benar iba menyaksikan betapa adiknya begitu segan padanya.
Menghormati ia sebagai kakak. Tapi sebaliknya, selama ini, ia bukanlah sosok
kakak yang penyayang.
Diam-diam,
Sara tahu betul kalau isi celengan Suman harusnya cukup untuk membeli sebuah
boneka pengganti. Namun apa daya, ia telah menilepnya untuk membeli segala
macam bahan kosmetik yang telah menjadi kebutuhan pokok bagi para wanita puber.
Semua itu demi jadi ratu di mata para lelaki.
“Nanti
sore, kau pergilah ke lapangan, main-main sama temanmu. Biar aku yang menemani
Ibu jualan kue di pasar,” saran Sara, sembari mendekati adiknya yang masih
tampak segan.
Suman
terkesima. Ia tak menduga kakaknya akan berbaik hati kali ini. Apalagi, di hari
sebelumnya, Sara ogah bersentuhan dengan lingkungan pasar.
“Terima
kasih, Kak,” tutur Suman, sambil merekahkan senyumnya.
Mereka
pun berpelukan. Penuh kasih-sayang.
Tanpa
Sara tahu, boneka beruang itu sebenarnya tak hilang, tetapi berpindah ke dalam
pelukan seorang anak perempuan, teman sekelas Suman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar