Senin, 29 Agustus 2016

Uang Celengan

Sudah hampir sebulan Suman menabung. Usahanya keras. Belakangan, sepulang sekolah, ia selalu mambantu Ibunya berjualan kue di pasar. Ia bahkan merelakan sorenya berlalu, tanpa bermain apa-apa dengan anak sebayanya di lapangan desa. Kerena itu, ia dapat bonus uang jajan dari sang Ibu. Tapi, semuanya ia masukkan secara utuh dalam celengan. 


Hari ini, waktunya menghitung jumlah tabungan. Ia telah memperkirakan kalau selama sebulan, uang yang terkumpul sudah cukup untuk membeli sesuatu yang didambakannya. Perihal yang tak pernah ia ceritakan kepada siapa pun. Hanya ia yang tahu alasan di balik semua perjuangnnya sebulan terakhir.

Di tengah rasa penasaran yang menggebu-gebu, ia pun membuka tutup stoples, celengannya. Menuang dan merogoh seluruh isinya, sampai keluar dan tertumpuk di lantai. Jantungnya pun berdegup kencang. Ia masih mewanti-wanti, jangan sampai ia salah menabung, hingga nominal uang terkumpul, melenceng dari perkiraan. 

Tiba-tiba saja, ia menangis seusai menghitung berulang kali jumlah tabungannya. Apa yang ia takutkan, jadi kenyataan. Isi tabungannya, tak sesuai dengan yang diperkirakan.

“Kamu kenapa menangis?” tanya Sara, kakaknya yang modis. Ia baru saja pulang dari rumah bibinya di kota, diatar teman lelakinya. Di sanalah ia bersekolah, di sebuah SMA favorit. Ia hanya pulang kala hari Minggu. Bahkan kadang tak pulang dalam sebulan. “Kau sudah kelas IV SD. Tak boleh cengeng-cengeng.”

“Tabunganku, Kak,” tuturnya sembari menangis tersedu-sedu.

“Tabunganmu kenapa? Tak cukup seperti yang kau harapkan?” tanya Sara lagi. “Makanya, kalau menabung itu sungguh-sungguh. Jangan banyak jajan.”

“Tapi seharusnya cukup, Kak. Aku sudah memperkirakannya,” balasnya.
 
“Alasanmu saja!” bantah Sara. “Memangnya ada yang mencuri isi tabunganmu? Kau kira saya yang mencurinya? Atau Ibu? Kamu jangan pikir macam-macam ya.”

“Tidak, Kak. Aku tidak berpikir begitu,” elaknya, meski ia sebenarnya menduga memang ada yang telah menilep tabungannya. Tapi ia tak tahu siapa yang tega.

“Sudah kalau begitu. Jangan menangis lagi!” perintah Sara.

“Tapi aku butuh uang, Kak,” keluhnya. “Aku ingin membeli sesuatu. Aku harus punya barang itu besok, Kak.”

“Makanya, dari dulu aku bilang kau jujur saja tentang apa yang ingin kau beli. Jangan dirahasiakan begitu,” tegas Sara, terlihat semakin dongkol.

Suman menghentikan tangisannya sejenak. Ia kemudian memandang takut kepada Kakaknya. “Aku ingin beli boneka untuk seseorang, Kak,” tuturnya.

“Apa? Untuk apa? Untuk hadiah ulang tahun? Kau mulai main-main perasaan sekarang kayak di sinetron-sinetron?” tebaknya. “Kau itu masih kecil. Nanti kalau sudah dewasa, baru boleh kasi hadiah pada seseorang.”

“Bukan untuk itu, Kak. Tapi…” Ia tak kuasa berterus terang. “Aku ingin membeli boneka untuk Kakak.”

Sara tersentak. “Buat apa?” tanyanya, tegas.

“Aku yang menghilangkan boneka milik Kakak di kamar dahulu,” akunya. Maafkan aku, Kak. Aku yakin, Kakak pasti membutuhkannya. Aku mohon, Kakak jangan marah ya.”

Tiba-tiba saja, lidah Sara keluh. Ia tak kuasa lagi berkata keras-keras. Rasa harunya tergugah melihat Suman, berjuang diam-diam demi sebuah tanggung jawab. Sekarang, ia merasa bersalah, telah membiarkan sang adik tersiksa batin sebulan terakhir.

“Oh, boneka beruang itu? Tak apa-apa. Aku juga sudah tak membutuhkannya. Harusnya kau bilang dari dulu,” tuturnya dengan intonasi suara yang seketika merendah. Drastis.

Suman pun merasa tenang melihat kakaknya tak garang lagi. “Tapi itu kan pemberian dari teman lelaki Kakak. Itu pasti berarti,” tuturnya, terkesan masih menyesal.

“Ah, tidak apa-apa. Lagian, dia bukan siapa-siapa Kakak. Hanya teman biasa,” balasnya. Ia tahu kalau adiknya mulai mengerti tentang arti hadiah dari seorang lawan jenis. Sinetron banyak menjelaskannya. “Buat aku, lelaki yang paling berarti di dunia ini hanya almarhum Ayah dan kamu. Jadi, jangan pikirkan boneka itu lagi ya.”

Suman mengangguk. Merasa tenang.

Kali ini, Sara benar-benar iba menyaksikan betapa adiknya begitu segan padanya. Menghormati ia sebagai kakak. Tapi sebaliknya, selama ini, ia bukanlah sosok kakak yang penyayang. 

Diam-diam, Sara tahu betul kalau isi celengan Suman harusnya cukup untuk membeli sebuah boneka pengganti. Namun apa daya, ia telah menilepnya untuk membeli segala macam bahan kosmetik yang telah menjadi kebutuhan pokok bagi para wanita puber. Semua itu demi jadi ratu di mata para lelaki.

“Nanti sore, kau pergilah ke lapangan, main-main sama temanmu. Biar aku yang menemani Ibu jualan kue di pasar,” saran Sara, sembari mendekati adiknya yang masih tampak segan.  

Suman terkesima. Ia tak menduga kakaknya akan berbaik hati kali ini. Apalagi, di hari sebelumnya, Sara ogah bersentuhan dengan lingkungan pasar. 

“Terima kasih, Kak,” tutur Suman, sambil merekahkan senyumnya.

Mereka pun berpelukan. Penuh kasih-sayang.

Tanpa Sara tahu, boneka beruang itu sebenarnya tak hilang, tetapi berpindah ke dalam pelukan seorang anak perempuan, teman sekelas Suman. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar