Dari
subuh hingga lewat pagi, Kusro masih saja menyendiri di tepi pantai. Termenung.
Begitulah kebiasaannya. Ia akan pulang saat tengah hari, untuk makan siang dan
tidur sejenak. Tapi sore hari, ia akan kembali lagi, sampai gelap malam.
Yang
ia lakukan, hanya duduk di bawah teduhan pohon kelapa, di hamparan pasir putih.
Memandangi ombak yang surut dan pasang. Menatap jauh ke arah seberang yang
tampak tak bertepi. Melemparkan benda-benda yang menepi, ke arah laut. Begitu saja.
Keanehannya
itu, bermula empat tahun lalu, sejak ia ditinggal pergi istrinya, dibawa ombak entah
ke mana. Hanya begitulah ia merasa tenang. Bernostalgia dengan kenangannya. Mengingat-ingat
kali pertama mereka bertemu di tepi pantai. Kala itu, ia hanya nelayan muda yang
terpikat pada seorang gadis kota yang datang berlibur di pantai kenangannya.
Mereka
akhirnya menikah dan hidup bahagia.
“Bapak
di rumah saja. Jaga Bimo. Biar aku yang mengecek ikatan perahu. Bapak kan lagi
kurang enak badan,” tutur sang istri di saat-saat terakhir, sambil merekahkan senyuman
manis di bibirnya.
Kusro
mengiyakan tawaran itu.
Kini,
ia menyesal. Bagaimana mungkin, ia tega membiarkan sang istri pergi sendiri di
tepi pantai, di malam yang gelap, sampai akhirnya, tak pernah benar-benar
kembali.
Tapi
semuanya telah menjadi kenangan. Hanya Bimo dan kenangan manis dengan sang
istri yang dimilikinya kini.
Cara
Kusno memperlakukan kenangannya, membuat warga menganggapnya tak waras. Mengatainya
gila. Tak mampu mengendalikan diri atas kesedihan. Menolak takdir bahwa sang istri
telah tiada. Tapi baginya, kata-kata apa pun, tak berarti apa-apa. Ia rela
dihinakan demi bermesra-mesraan dengan kenangannya.
Desember
kali ini, kembali jadi puncak kegilaannya. Di bulan inilah, ombak laut datang merenggut
separuh jiwannya.
Sejak
semalam, sampai lewat tengah hari, ia tak juga beranjak dari pantai. Ia
berkemah seharian dengan perbekalan sederhana.
Kala
langit mulai gelap, dalam lamunan, ia merasakan lagi nuansa yang sama menjelang
isterinya menghilang, empat tahun lalu. Bulan bulat sempurna, angin bertiup
kencang, dan langit hitam pekat. Burung-burung kembali ke sarangnya begitu cepat.
Juga, pekikan hewan alam laut yang tak meriah, seperti di hari lain. Senyap.
Ia
merasa, kejadian itu akan terulang kembali. Lebih dahsyat dari sebelumnya.
Selekas
mungkin, ia bergerak menyampaikan firasatnya kepada para warga di pesisir
pantai. Ia tak ingin, ombak besar itu datang lagi, dan merenggut jiwa yang
lain. Ia tak ingin ombak yang dibencinya, kembali membawa kesedihan.
Dengan
tergopoh-gopoh, ia pun menyampaikan
maksud kepada setiap orang yang dijumpainya. Memberitahukan keyakinannya kalau
ombak besar akan datang lagi. Tapi sia-sia. Tak ada yang sudi menghiraukannya. Jelas,
tak akan ada yang serius menanggapi, apalagi mengikuti perkataan orang yang
dicap gila.
Tak
habis akal, ia pun melapor keyakinannya pada panjaga pantai.
“Pak,
ombak besar! Ombak besar akan segera datang Pak!” tuturnya.
“Datang
dari mana? Dari langit?” balas sang pengawas pantai yang berbadan tambun.
“Benar
Pak, ombak besar telah menuju ke sini. Percayalah Pak!” tegas Kusro.
“Ah,
dasar orang gila. Waras dulu, baru ngomong.” Penjaga pantai, jelas tak akan
percaya.
Kusro
hanya terdiam. Ia sadar, tak akan ada yang sudi menghiraukan ucapan orang
sepertinya.
Dengan
agak berat, ia pun segera pulang ke rumahnya. Menyelempang barang-barang yang
telah dikemasnya, menggendong anak semata wayangnya yang masih berumur tiga
tahun, kemudian berlari ke atas bukit.
Warga
yang melihat perilakunya, tambah yakin kalau Kusro telah kehilangan akal sehat.
Di
puncak bukit, Kusro memohon pada Tuhan agar firasatnya tak menjadi kenyataan.
Setelah bermunajat dengan caranya sendiri, Kusro pun menjelang lelapnya. Tidur
di atas tumpukan dedaunan, diantar alunan suara hewan malam yang menenangkan.
Waktu
berjalan, sampai akhirnya, mentari pagi pun meninggi.
Mata
Kusro yang berat tersibak, tiba-tiba terbelalak. Alam berubah. Perkampungan
terlihat porak-poranda. Pepohonan di pesisir pantai, tersungkur. Benda-benda
asing, bertumpukan. Ternyata benar, ombak besar telah menyapu pantai
kenangannya semalam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar