Minggu, 14 Agustus 2016

Orang Gila

Dari subuh hingga lewat pagi, Kusro masih saja menyendiri di tepi pantai. Termenung. Begitulah kebiasaannya. Ia akan pulang saat tengah hari, untuk makan siang dan tidur sejenak. Tapi sore hari, ia akan kembali lagi, sampai gelap malam. 
 
Yang ia lakukan, hanya duduk di bawah teduhan pohon kelapa, di hamparan pasir putih. Memandangi ombak yang surut dan pasang. Menatap jauh ke arah seberang yang tampak tak bertepi. Melemparkan benda-benda yang menepi, ke arah laut. Begitu saja.

Keanehannya itu, bermula empat tahun lalu, sejak ia ditinggal pergi istrinya, dibawa ombak entah ke mana. Hanya begitulah ia merasa tenang. Bernostalgia dengan kenangannya. Mengingat-ingat kali pertama mereka bertemu di tepi pantai. Kala itu, ia hanya nelayan muda yang terpikat pada seorang gadis kota yang datang berlibur di pantai kenangannya. 

Mereka akhirnya menikah dan hidup bahagia.

“Bapak di rumah saja. Jaga Bimo. Biar aku yang mengecek ikatan perahu. Bapak kan lagi kurang enak badan,” tutur sang istri di saat-saat terakhir, sambil merekahkan senyuman manis di bibirnya. 

Kusro mengiyakan tawaran itu.

Kini, ia menyesal. Bagaimana mungkin, ia tega membiarkan sang istri pergi sendiri di tepi pantai, di malam yang gelap, sampai akhirnya, tak pernah benar-benar kembali.

Tapi semuanya telah menjadi kenangan. Hanya Bimo dan kenangan manis dengan sang istri yang dimilikinya kini.

Cara Kusno memperlakukan kenangannya, membuat warga menganggapnya tak waras. Mengatainya gila. Tak mampu mengendalikan diri atas kesedihan. Menolak takdir bahwa sang istri telah tiada. Tapi baginya, kata-kata apa pun, tak berarti apa-apa. Ia rela dihinakan demi bermesra-mesraan dengan kenangannya. 

Desember kali ini, kembali jadi puncak kegilaannya. Di bulan inilah, ombak laut datang merenggut separuh jiwannya. 

Sejak semalam, sampai lewat tengah hari, ia tak juga beranjak dari pantai. Ia berkemah seharian dengan perbekalan sederhana.

Kala langit mulai gelap, dalam lamunan, ia merasakan lagi nuansa yang sama menjelang isterinya menghilang, empat tahun lalu. Bulan bulat sempurna, angin bertiup kencang, dan langit hitam pekat. Burung-burung kembali ke sarangnya begitu cepat. Juga, pekikan hewan alam laut yang tak meriah, seperti di hari lain. Senyap.

Ia merasa, kejadian itu akan terulang kembali. Lebih dahsyat dari sebelumnya.

Selekas mungkin, ia bergerak menyampaikan firasatnya kepada para warga di pesisir pantai. Ia tak ingin, ombak besar itu datang lagi, dan merenggut jiwa yang lain. Ia tak ingin ombak yang dibencinya, kembali membawa kesedihan.

Dengan tergopoh-gopoh, ia  pun menyampaikan maksud kepada setiap orang yang dijumpainya. Memberitahukan keyakinannya kalau ombak besar akan datang lagi. Tapi sia-sia. Tak ada yang sudi menghiraukannya. Jelas, tak akan ada yang serius menanggapi, apalagi mengikuti perkataan orang yang dicap gila.

Tak habis akal, ia pun melapor keyakinannya pada panjaga pantai.

“Pak, ombak besar! Ombak besar akan segera datang Pak!” tuturnya.

“Datang dari mana? Dari langit?” balas sang pengawas pantai yang berbadan tambun.

“Benar Pak, ombak besar telah menuju ke sini. Percayalah Pak!”  tegas Kusro.

“Ah, dasar orang gila. Waras dulu, baru ngomong.” Penjaga pantai, jelas tak akan percaya.

Kusro hanya terdiam. Ia sadar, tak akan ada yang sudi menghiraukan ucapan orang sepertinya. 

Dengan agak berat, ia pun segera pulang ke rumahnya. Menyelempang barang-barang yang telah dikemasnya, menggendong anak semata wayangnya yang masih berumur tiga tahun, kemudian berlari ke atas bukit.

Warga yang melihat perilakunya, tambah yakin kalau Kusro telah kehilangan akal sehat. 

Di puncak bukit, Kusro memohon pada Tuhan agar firasatnya tak menjadi kenyataan. Setelah bermunajat dengan caranya sendiri, Kusro pun menjelang lelapnya. Tidur di atas tumpukan dedaunan, diantar alunan suara hewan malam yang menenangkan.

Waktu berjalan, sampai akhirnya, mentari pagi pun meninggi.

Mata Kusro yang berat tersibak, tiba-tiba terbelalak. Alam berubah. Perkampungan terlihat porak-poranda. Pepohonan di pesisir pantai, tersungkur. Benda-benda asing, bertumpukan. Ternyata benar, ombak besar telah menyapu pantai kenangannya semalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar