Beban
selama seminggu di kampus, terasa sangat menyiksa. Banyak tugas kuliah yang
harus diselesaikan. Menumpuk dan terus membayang-bayangi. Tapi, malam ini, di
sebuah kafe, aku akan mengabaikannya sementara waktu. Memang telah kurencanakan
untuk melanjutkan bacaanku, sebuah novel. Sisa sepertiga halaman yang belum
kubaca. Aku berhasrat menuntaskannya.
Novel
ini, bagi banyak pembaca, barang kali biasa saja. Bukan bestseller. Penulisnya juga tak terkenal. Mungkin ia hanya tenar di
kalangan penulis indie. Tapi, ide ceritanya mengagumkan, alurnya mendebarkan,
dan teknik penokohannya unik. Aku suka. Kalaulah penulisnya beruntung dan dapat
panggung, jelas ia layak berdiri sederet dengan para penulis kelas dunia.
Terus
terang, berawal dari keisenganlah, aku membacanya. Kala melintas di depan
sebuah toko buku, entah kenapa, aku berhasrat membeli buku untuk mengisi kekosonganku.
Maka, kulihatlah novel itu, menumpuk bersama buku-buku yang didiskon murah. Aku
pun membelinya. Selain pertimbangan harga, juga karena halamannya tak tebal.
Jelas, sebagai pembaca pemula, aku merasa sanggup menamatkannya.
Sambil
mengaduk gula pasir yang mengendap pada segelas kopi pesananku, kata demi kata
yang dirangkai sang penulis, kusorot dengan cermat. Aku jadi keasyikan
mengikuti alur ceritanya, sampai tak sadar kalau sedari tadi, sekali pun, tak
kuteguk kopi di depanku.
Urat
leherku, akhirnya terasa kaku. Lelah. Pandangan mataku, cerah-padam. Aku pun
berhenti membaca. Beristirahat sejenak, sambil menyeruput kopi pekat. Kutoleh keadaan
di samping kiri dan kananku. Melihat kendaraan yang lalu lalang di jalan raya.
Mengamati pengunjung lain, yang terlena dalam dunianya sendiri; Berhadap-hadapan,
tapi tak bercengkrama.
Lalu,
entah bagaimana, sorot mataku terhenti kala bertabrakan dengan mata seorang
lelaki. Tampan. Ia duduk tepat di depanku, di meja 10. Mungkin sekitar tiga
detik kami bersetatap. Membuat perasaanku menjadi hangat. Akhirnya, aku pun tersadar
harus mengalihkan pandangan. Maka terpaksa, kubaca lagi novel yang hendak
kuistirahatkan, sebagai pelarian.
Diam-diam,
kulirik ia di balik puncak novel yang kupakai menutupi wajahku. Aku merasa
pernah melihat raut wajahnya di hari yang lain.
Tapi
sial, seketika juga, ia menoleh kepadaku, menatapku tajam, sambil melemparkan
senyuman yang kuakui memesona. Sungguh.
Lekas,
kusembunyikan lagi wajahku di balik novel.
Aku
lalu memeriksa keadaan di belakangku. Siapa tahu, ada seseorang yang disapanya
di sana. Tapi nyatanya, tak ada. Hanya sepasang kursi yang tak berpenghuni.
Kulirik
lagi lelaki mata sipit itu di sisi kiri sibakan novel bacaanku. Kudapati ia
masih memandang ke arahku. Sikapnya semakin berlebihan. Tidak hanya tersenyum,
ia bahkan melambaikan tangannya. Seakan kami saling mengenal.
Kuyakin
sudah, ia memang bermaksud padaku. Dengan segan, kubalas senyumannya.
Aku
telah bisa bersikap biasa. Kuletakkan bukuku di atas meja, lalu menunduk,
membacanya.
Ia
pun berpaling dariku. Menoleh kepada dua orang teman lelakinya yang lain.
Sekarang,
kesempatanku untuk memerhatikannya baik-baik. Kosorot ia sekilas, lalu
berpaling dan berusaha menyusun kepingan wajahnya di dalam memoriku. Tapi aku
tak berhasil. Aku menyerah.
Semasih
memandanginya, ia tiba-tiba menoleh lagi ke arahku. Tapi, kini aku telah kuasa
membalasnya. Ia pun tak tampak risih. Malah, ia tersenyum lagi. Sampai
akhirnya, ia berdiri dan beranjak pergi.
Entah
kenapa, separuh jiwaku terasa pergi bersamanya. Tanpa rasa berdosa, ia telah
mencuri hatiku. Aku merasa digantungkan. Peristiwa ini bak sebuah perpisahan
pahit, walau kami tak pernah benar-benar bersama. Perih.
Keberadaannya,
haruslah kuanggap seperti angin lalu. Pergi dan tak mungkin ditahan. Aku harus
rasional. Tak sepantasnya kuikuti alur perasaanku yang labil. Tentu menyesatkan
jika terlalu mudah kagum pada lawan jenis.
Tapi
sejujurnya, aku masih berhasrat bertemu dengannya di lain waktu. Kurencanakan untuk
kembali pada malam-malam selanjutnya di café ini. Duduk di kursi yang sama. Jika
memang kekagumanku berbalas, pastilah ia akan datang kembali untuk menjelaskan arti
dari isyarat yang terlanjur ia berikan padaku. Kalau pun tidak, berarti memang,
hanya aku yang terlalu merasa.
Setelah
benar-benar lelah menghadapi kekalutan, kusegerakan untuk pulang. Aku pun
menghadap ke kasir untuk membayar tagihan atas kopi hitamku.
“Maaf
Mbak, meja 9 sudah dibayar tadi,” tutur sang kasir.
“Aku
belum membayarnya,” sanggahku, sebab yakin kalau si kasir pasti keliru.
“Sudah
Mbak. Tadi dibayar sama pengunjung di meja nomor 10,” jelasnya.
Aku
terkejut. Benakku kembali diserang bayang-bayang lelaki penuh tanda tanya itu.
“Iya
Mbak. Dibayar sama si penulis buku itu, si Rangga Sumaji. Mbak kenal dia kan?”
tutur teman si kasir.
Aku
menggeleng kepada si kasir, lalu melangkah pulang dengan pikiran yang masih
melanglang buana.
Penulis? Rangga Sumaji?
Aku
sepertinya akrab dengan nama itu. Ya, aku pernah mengejanya.
Kusorot
novel yang tengah kugengam. Akhirnya kusadari, nama itu tertera di sampul depannya.
Kubalik
lagi ke sampul belakang. Tampaklah raut wajah seorang lelaki yang mirip dengan lelaki
yang telah membuatku benar-benar penasaran dalam sekejap.
Syukurlah,
ia mencantumkan alamat e-mail pada biografi singkat dirinya, di halaman
belakang novel yang ia karangan sendiri. Aku akan mengucapkan terima kasih
padanya. Terima kasih atas traktiran segelas kopi, dan tentu atas sebuah karangan
cerita yang mengagumkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar