Senin, 15 Agustus 2016

Paket Maut

Satria harus pulang kampung. Ayahnya yang uzur, tengah sakit berat. Akut. Kata dokter, ia menderita komplikasi. Gabungan masalah pada kadar dan aliran darah, paru-paru, dan jantung. Rumah sakit yang berbiaya mahal, tak lagi menjadi harapan. Ia kini hanya bertahan, sembari menunggu waktu berpulang.
 
Kakak sulungnya, Dira, menuturkan lewat telepon kalau sang Ayah yang sakit, sangat merindu. Mendengar itu, tanpa pikir panjang, Satria yang bekerja sebagai asisten rumah tangga, langsung minta izin kepada majikannya. Firasatnya berkata, kali ini, ia harus pulang.

Tak lupa, ia membeli makanan cepat saji untuk sang Ayah. Ia tahu, sedari dulu, ayahnya doyan menyantap makanan berlisensi negara asing itu. Sebuah makanan yang menggabungkan roti, sayur-sayuran, dan daging panggang.  Disantap bersama minuman bersoda.

Sebenarnya, kali ini, sang ayah tak meminta. Satria berinisiatif saja. Yakin kalau ayahnya tak akan menolak. Bahkan bisa jadi, itu adalah hadiah terakhirnya untuk sang Ayah, jika Tuhan menakdirkan pergi untuk selamanya.

Setelah sampai, ia mendapati sang Ayah tengah sendiri. Terbaring tak berdaya di atas kasurnya yang lusuh. Tapi seperti biasa, ia masih sadarkan diri dan bergerak kaku. Beruntungnya, ia masih lahap saat makan.

Mereka pun berpelukan. Mendamaikan deru rindu.

“Dira mana Ayah?” tanyanya.

“Lagi ke rumah tetangga. Katanya, cari tumbuhan untuk mengobatiku. Obat tradisional,” jelas dengan suara parau dan tersengal-sengal.

“Oh. Ayah, kali ini, aku bawa makanan kesukaan Ayah,” tuturnya, lalu mengeluarkan kantongan kecil berisi makanan cepat saji yang dibawanya dari kota.

“Ah, terima kasih Nak. Kamu memang sangat pengertian. Padahal kan aku tak memintamu kali ini. Seharusnya, kau tabunglah gajimu untuk masa depanmu sendiri, bukan untuk aku yang sudah uzur. Tapi, tak apalah,” tuturnya, terlihat semringah.

Tanpa berlama-lama, Ayahnya segera melahap. Tiga porsi, habis dengan cepat. Tak tersisa.

“Ah, syukurlah. Akhirnya aku bisa makan enak di usia senjaku, meski sedang sakit,” katanya.

Satria tersenyum. Merasa bangga bisa membuat Ayahnya senang.

Setelahnya, ia segera mengemas bungkusan makanan cepat saji itu, lalu membuangnya ke tempat sampah. Tak ingin kakaknya, Dira, mengetahui kalau bagiannya telah habis dilahap sang Ayah.

Di waktu-waktu selanjutnya, timbul gejala menakutkan. Penyakit sang ayah tambah parah. Sering sesak napas, muntah, dan kejang-kejang. 

Dan, hari kedua setelah kedatangan Satria, sang Ayah pun mengembuskan napas terakhirnya.

Kakak-adik itu, Dira dan Satria, yang hanya tamatan SMP, menangis sejadi-jadinya, di samping jasad ayah mereka yang terbujur kaku.

“Kau tak membawa paket makanan dari kota lagi kan?” tanya Dira kepada sang adik, Satria.

“Tidak. Memangnya kenapa?” Satria balik bertanya. Khawatir kalau kakaknya tahu jatah untuknya, habis dilahap almarhum Ayahnya.

“Syukurlah. Berarti penyakitnya parah bukan karena itu. Kita berdoa saja, mudah-mudahan, ia pergi dengan tenang,” tutur Dira.

Satria takzim. Membayangkan lagi raut wajah bahagia Ayahnya kala menyantap makanan yang dibawanya. 

“Kau tahu, setelah aku tanya dokter, tentang penyakit Ayah, ia mengatakan kalau Ayah tak boleh makan makanan cepat saji, apalagi yang mengandung daging yang berlemak. Lebih-lebih minuman bersoda. Katanya, itu bahaya. Dapat memperparah penyakitnya. Aku sih tak mengerti bagaimana bisa orang sakit dilarang makan enak. Tapi pokoknya, ia bilang begitu,” jelasnya.

“Jadi, Ayah tak boleh makan begituan?” tanya Satria. Mimiknya tegang.

“Iya, Dik. Begitulah saran dari orang pintar,” balas Dira.

Dan, mungkin untuk selamanya, Satria tak akan mengungkapkan kepada siapa-siapa, kalau sang Ayah, di hari-hari terakhirnya, menyantap makanan enak lagi, yang dibawannya dari kota: paket makanan cepat saji. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar