Dua
tokoh tengah berdebat tentang cerita yang mereka karang. Sebuah cerita tentang
dimensi kecil, yang mengkooptasi dimensi yang lebih luas. Cinta yang dibunuh
demi kekuasaan.
Dari
awal, mereka telah menyepakati ide dasar cerita. Mengisahkan tentang seorang lelaki
biasa yang sengaja menikahi gadis bangsawan, hanya untuk tahta. Memperalat status
ekonomi, sosial, dan budaya sang istri, demi mengubah nasib hidupnya sendiri. Dijadikan
sekadar kendaraan politik.
“Sudah
sepuluh halaman. Ini kan cerita pendek?” keluh Bary.
Raja
yang tengah berpikir keras, membalas, “Aku tahu. Tapi bagaimana endingnya? Kau harusnya menawarkan solusi!”
Bary
terdiam. Tiba-tiba, ide muncul di benaknya. Ia kemudian menawarkannya, “Kita kan sepakat
untuk membuat kisah tentang permainan politik atas cinta. Bahwa cinta telah digadaikan
demi urusan politik. Bagaimana jika perceraian kita jadikan solusinya? Jadi,
Mita tahu kalau ia dinikahi Riza, hanya demi kekuasaan.”
“Tapi
kan kita sudah sepakat untuk menjadikan penghianat cinta sebagai pemenang. Cinta
hanyalah korban yang tak berdaya. Makanya, Mita sebaiknya tak tahu kalau
pernikahan mereka, dipolitisasi,” tolak Raja.
“Baiklah,”
Bary pasrah. “Lalu, bagaimana kalau kita buat Riza meninggal. Jadi lengkaplah
sudah, bahwa penghianatan yang dilakukannya, akan abadi. Mita tak akan pernah
tahu, apalagi membalasnya.”
“Tapi
intrik itu sudah terlalu murahan dalam cerita. Kita harus buat ending yang tidak lazim,” balas Raja.
“Ah. Apa-apa, aku selalu salah. Kau sendiri
punya tawaran Apa?” kesal Bary.
“Itulah
yang sedang kupikirkan. Yang pasti, kita harus membuat cerita yang akan membentuk
persepsi semua orang kalau politik itu jahat, busuk, dan tak ada gunanya. Bukankah
selama ini, tak ada yang lebih berkuasa dari politik yang tak bermoral, yang
tanpa cinta?” tegas Raja.
“Lalu
bagaimana?” Kini, Bary yang menuntut solusi.
“Ceritanya
harus mengokohkan ketuhanan politik,” tutur Raja. Ide cermerlang pun, terbayang
olehnya. “Nah, kita buat cerita kalau Riza punya skandal korupsi dan skandal hubungan
dengan wanita lain. Tapi, demi menjaga nama baik keluarga besarnya, Mita tak
melakukan apa pun, bahkan ia rela mengorbankan cintanya.”
“Cerdas!”
Puji Bary. “Politik harus menghancurkan semuanya, temasuk membunuh cinta. Luar
biasa!”
Raja
kini jadi besar kepala. “Ya, politik tak boleh dikalahkan!”
***
Begitulah
cerita gubahanku. Sebuah cerita yang terinspirasi dari kisah hidupku sendiri. Aku
akan mengirimkannya ke media nasional yang menerbitkan koran harian. Semoga
dimuat dan dapat menjadi bahan refleksi bagi setiap jiwa.
“Cepat
siap-siap! Bisa-bisa kita lambat hadir di panggung kampanye kalau kau lemot,”
perintah Barto, suamiku sendiri yang berhasrat jadi pejabat. “Ingat, dandan
yang cantik, supaya layak jadi sorotan kemera. Lumayan kalau jadi bahan
perbincangan. Sekarang itu kan, popularitas penting dalam politik.”
“Tak
makan sama anak-anak dulu, Pak?” tawarku.
“Tak
usah. Aku takut kita benar-benar terlambat. Keluarga, bahkan diri kita
sendiri, harus dikorbankan untuk kepentingan yang lebih besar,” tegasnya. “Bagaimana
pun, aku harus menang. Nanti kan otomatis kau jadi istri seorang pejabat. Keluarga
besarmu pasti bangga kalau begitu. Makanya, manfaatkan semuanya!”
Untuk
kesekian kalinya, aku tak berdaya melakukan apa-apa. Pasrah mengalah pada
Darto, suamiku sendiri. Dialah tokoh Riza dalam cerita pendek yang kubuat,
sedangkan aku adalah Mita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar