Aku
selalu takut tentangmu. Kali pertama kita bertemu, aku sengaja tak
menghiraukanmu. Kuredam perasaanku sendiri. Itu sebab, aku takut jatuh terlalu
dalam. Takut jika tergelincir ke dalam kubangan perasaanku sendiri, tenggelam, lalu
terkubur. Sedangkan kau, tak patut dipersalahkan.
Dilemanya,
kau tak juga menjauhiku. Kau malah mendekatiku dengan beribu alasan. Jadinya, perasaanku
tumbuh tak tertahankan. Semakin berkembang. Sampai akhirnya, aku menyerah.
Kupasrahkan saja perasaan itu tumbuh terhadapmu. Memuncak.
Sampai
suatu ketika, kau datang ke rumahku. Meminta kepada orang tuaku, agar kita segera
menikah. Jelas, aku tambah takut. Aku takut perasaanmu yang menggebu itu, hanya
sesaat. Kekagumanmu hanya untuk sementara waktu. Lalu, di waktu-waktu
mendatang, kau pun jadi bosan, lalu meninggalkanku tanpa rasa bersalah.
Masalahnya,
aku juga takut menolakmu. Aku takut tak
bisa menerima kenyataan kalau suatu saat nanti, kau hidup bahagia dengan
orang lain, dan aku hanya bisa berkhayal tentangmu. Dan akhirnya, semua terjadi
begitu cepat. Kita menikah.
Rasa
takutku, tak berujung. Setelah kita menikah, aku malah semakin takut. Takut
jika kau tak bisa menerima kenyataan tentangku apa adanya. Sebab, keindahan yang
kau lihat padaku, sebelum kita menikah, hanyalah persepsimu saja.
Suungguh,
aku takut kau memaksa diriku menjadi sosok yang kau idam-idamkan, selamanya. Sebab,
waktu terus berjalan, dan mengubah segalanya. Aku takut kau membenciku karena
tak seperti yang dulu lagi. Sedangkan aku, tak bisa apa-apa.
Perasaan
takutku, semakin menjadi-jadi belakangan ini. Itu bukan tanpa dasar. Jelas, aku
memerhatikan, kita semakin berjarak. Kau tak lagi memujiku seperti dulu.
Seakan ada sosok lain di benakmu, yang lebih pantas kau berikan pujian.
Apalagi,
setelah kutahu, kau tak lagi mengenakan cincin pernikahan kita. Kuduga, kau
sering tak memakainya kala berada di luar pantauanku, supaya kau bebas memikat
hati wanita lain. Aku yakin itu, kala kudapati, cincin pernikahan kita yang kau
kenakan, berada di saku celanamu.
Sekeras
apa pun kau berdusta, aku tahu semua rahasiamu. Temasuk tentang dua cincin yang
kau sembunyikan di lemari, di bawah tumpukan bajumu. Aku yakin, kau akan
menghadiahkan satu cincin untuk wanita pujaanmu, sedangkan satunya lagi kau
kenakan, menggantikan cincin pernikahan kita.
Kau
pasti tak tahu, kalau aku mengetahui semuanya.
“Sayang,
jadikah kau pulang ke ibumu esok hari?” tanyamu, kala kita tengah duduk
bersampingan, menonton televisi.
Kuyakin,
kau hanya berusaha terkesan intim kali ini. Kau pura-pura menanyaiku, padahal
aku yakin, kau bermaksud untuk mengatakan: Sebaiknya
kau pulang ke ibumu, atau pergilah ke mana pun yang kau inginkan.
“Iya,”
balasku. Aku tak berselera basa-basi. Di
dalam hatiku, bahkan, aku ingin kau pun pulang ke orang tuamu juga. Aku tak
tahan derita menggantung di antara kita.
“Kau
ada maksud apa pulang ke sana? Apa kau merasa tak nyaman lagi tinggal
bersamaku?” tanyamu lagi.
Jelas,
aku ingin menjawab: iya! Tapi aku
takut. “Tidak ada apa-apa. Aku hanya rindu mereka,” tuturku, mencoba memberi
respons yang lebih baik.
“Apa…?”
tuturmu, kemudian tertahan sedetik. “Apa kau tak mencintaiku lagi?”
Aneh.
Kurasa, harusnya akulah yang bertanya seperti itu. Jelas, diam-diam, kau
menghianatiku. “Apa kau tak mencintaiku
lagi?” Aku balik bertanya.
“Jelas,
aku sangat mencintaimu, sayang,” tuturmu, sembari mengusap-usap rambutku yang
terurai. “Terus terang, aku memerhatikan sikapmu banyak berubah belakangan
ini. Kau sering murung. Aku takut, kau tak nyaman lagi hidup denganku.”
Aku
masih merasa, kau hanya bersandiwara.
“Aku
juga mencintaimu. Makanya, aku masih mengenakan cincin pernikahan kita. Kurasa
itu bukti yang tak diragukan lagi,” balasku, mencoba memulai perbincangan yang jujur.
“Apa buktinya kau masih mencintaiku?”
Kau
segera mengangkat tanganmu. Mengelus-elus jari masnismu yang kini tak lagi diperangkap
cincin pernikahan kita.
Aku
yakin, kau kalang-kabut mencari alasan pembenar sekarang.
“Maafkan aku sayang. Cincin pernikahan kita
yang kukenakan, hilang tempo hari, saat aku tengah bersuci,” tuturmu, seakan
mengiba. “Aku tak akan menghianatimu.”
Sungguh,
perasaanku semakin gusar. Itu pasti alibimu saja. Mana mungkin kau lupa
mengenakan cincin yang telah kau kenakan selama dua puluh tahun.
Aku
tak ingin merespons. Sejenak, kita saling mendiamkan.
“Sayang,
aku punya hadiah untukmu,” tuturmu, lalu menunjukkan dan menjulurkan sebuah
cincin di balik kotak yang terbuka. Cincin itulah yang kudapatkan tempo hari di
bawah lipatan pakaianmu, di dalam lemari.
Jelas, aku tak menduga. “Untukku?”
Untuk
sementara, perasaanku berhasil kau luluhkan.
Kini, aku mulai paham jalan ceritanya sedikit
demi sedikit. Pikiranku mulai mengendalikan perasaanku.
“Bolehkah
aku ikut pulang bersamamu, ke rumah mertuaku? Aku juga merindukan mereka,”
tuturmu.
Jelas,
aku tak bisa menahan diri untuk tersipu. “Boleh,” tuturku,”Sayang…!”
Kau
pun mencium dahiku. Terasa menentramkan.
Dan
untuk sementara waktu, aku tak ingin memberitahumu tentang cincin pernikahan
kita yang kudapat di saku celanamu. Atas alasan itu, akan kubuat kau mengiba
padaku. Membuatmu merasa bersalah sebab abai menjaga simbol cinta kita. Aku
ingin membuatmu takut tentangku.
Sungguh,
diam-diam, aku takut perhatianmu padaku, berlalu begitu cepat. Aku takut kau tahu
jika selama ini aku cemburu padamu. Itu bisa membuatmu merasa diri sangat
berharga terhadapku, lalu mengabaikanku. Aku takut, kau memperminkanku, jika
kau tahu, aku menginginkanmu lebih daripada kau menginginkanku. Aku takut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar