Minggu, 14 Agustus 2016

Takut

Aku selalu takut tentangmu. Kali pertama kita bertemu, aku sengaja tak menghiraukanmu. Kuredam perasaanku sendiri. Itu sebab, aku takut jatuh terlalu dalam. Takut jika tergelincir ke dalam kubangan perasaanku sendiri, tenggelam, lalu terkubur. Sedangkan kau, tak patut dipersalahkan.

Dilemanya, kau tak juga menjauhiku. Kau malah mendekatiku dengan beribu alasan. Jadinya, perasaanku tumbuh tak tertahankan. Semakin berkembang. Sampai akhirnya, aku menyerah. Kupasrahkan saja perasaan itu tumbuh terhadapmu. Memuncak.

Sampai suatu ketika, kau datang ke rumahku. Meminta kepada orang tuaku, agar kita segera menikah. Jelas, aku tambah takut. Aku takut perasaanmu yang menggebu itu, hanya sesaat. Kekagumanmu hanya untuk sementara waktu. Lalu, di waktu-waktu mendatang, kau pun jadi bosan, lalu meninggalkanku tanpa rasa bersalah. 

Masalahnya, aku juga takut menolakmu. Aku takut tak  bisa menerima kenyataan kalau suatu saat nanti, kau hidup bahagia dengan orang lain, dan aku hanya bisa berkhayal tentangmu. Dan akhirnya, semua terjadi begitu cepat. Kita menikah.

Rasa takutku, tak berujung. Setelah kita menikah, aku malah semakin takut. Takut jika kau tak bisa menerima kenyataan tentangku apa adanya. Sebab, keindahan yang kau lihat padaku, sebelum kita menikah, hanyalah persepsimu saja. 

Suungguh, aku takut kau memaksa diriku menjadi sosok yang kau idam-idamkan, selamanya. Sebab, waktu terus berjalan, dan mengubah segalanya. Aku takut kau membenciku karena tak seperti yang dulu lagi. Sedangkan aku, tak bisa apa-apa.

Perasaan takutku, semakin menjadi-jadi belakangan ini. Itu bukan tanpa dasar. Jelas, aku memerhatikan, kita semakin berjarak. Kau tak lagi memujiku seperti dulu. Seakan ada sosok lain di benakmu, yang lebih pantas kau berikan pujian. 

Apalagi, setelah kutahu, kau tak lagi mengenakan cincin pernikahan kita. Kuduga, kau sering tak memakainya kala berada di luar pantauanku, supaya kau bebas memikat hati wanita lain. Aku yakin itu, kala kudapati, cincin pernikahan kita yang kau kenakan, berada di saku celanamu.

Sekeras apa pun kau berdusta, aku tahu semua rahasiamu. Temasuk tentang dua cincin yang kau sembunyikan di lemari, di bawah tumpukan bajumu. Aku yakin, kau akan menghadiahkan satu cincin untuk wanita pujaanmu, sedangkan satunya lagi kau kenakan, menggantikan cincin pernikahan kita.
Kau pasti tak tahu, kalau aku mengetahui semuanya. 

“Sayang, jadikah kau pulang ke ibumu esok hari?” tanyamu, kala kita tengah duduk bersampingan, menonton televisi.

Kuyakin, kau hanya berusaha terkesan intim kali ini. Kau pura-pura menanyaiku, padahal aku yakin, kau bermaksud untuk mengatakan: Sebaiknya kau pulang ke ibumu, atau pergilah ke mana pun yang kau inginkan.

“Iya,” balasku. Aku tak berselera basa-basi.  Di dalam hatiku, bahkan, aku ingin kau pun pulang ke orang tuamu juga. Aku tak tahan derita menggantung di antara kita.

“Kau ada maksud apa pulang ke sana? Apa kau merasa tak nyaman lagi tinggal bersamaku?” tanyamu lagi. 

Jelas, aku ingin menjawab: iya! Tapi aku takut. “Tidak ada apa-apa. Aku hanya rindu mereka,” tuturku, mencoba memberi respons yang lebih baik.

“Apa…?” tuturmu, kemudian tertahan sedetik. “Apa kau tak mencintaiku lagi?”

Aneh. Kurasa, harusnya akulah yang bertanya seperti itu. Jelas, diam-diam, kau menghianatiku.  “Apa kau tak mencintaiku lagi?” Aku balik bertanya.

“Jelas, aku sangat mencintaimu, sayang,” tuturmu, sembari mengusap-usap rambutku yang terurai. “Terus terang, aku memerhatikan sikapmu banyak berubah belakangan ini. Kau sering murung. Aku takut, kau tak nyaman lagi hidup denganku.”

Aku masih merasa, kau hanya bersandiwara.

“Aku juga mencintaimu. Makanya, aku masih mengenakan cincin pernikahan kita. Kurasa itu bukti yang tak diragukan lagi,” balasku, mencoba memulai perbincangan yang jujur. “Apa buktinya kau masih mencintaiku?”

Kau segera mengangkat tanganmu. Mengelus-elus jari masnismu yang kini tak lagi diperangkap cincin pernikahan kita. 

Aku yakin, kau kalang-kabut mencari alasan pembenar sekarang.

 “Maafkan aku sayang. Cincin pernikahan kita yang kukenakan, hilang tempo hari, saat aku tengah bersuci,” tuturmu, seakan mengiba. “Aku tak akan menghianatimu.”

Sungguh, perasaanku semakin gusar. Itu pasti alibimu saja. Mana mungkin kau lupa mengenakan cincin yang telah kau kenakan selama dua puluh tahun.

Aku tak ingin merespons. Sejenak, kita saling mendiamkan.
 
“Sayang, aku punya hadiah untukmu,” tuturmu, lalu menunjukkan dan menjulurkan sebuah cincin di balik kotak yang terbuka. Cincin itulah yang kudapatkan tempo hari di bawah lipatan pakaianmu, di dalam lemari. 

Jelas, aku tak menduga. “Untukku?”

Untuk sementara, perasaanku berhasil kau luluhkan.

 Kini, aku mulai paham jalan ceritanya sedikit demi sedikit. Pikiranku mulai mengendalikan perasaanku.

“Bolehkah aku ikut pulang bersamamu, ke rumah mertuaku? Aku juga merindukan mereka,” tuturmu.

Jelas, aku tak bisa menahan diri untuk tersipu. “Boleh,” tuturku,”Sayang…!”

Kau pun mencium dahiku. Terasa menentramkan.

Dan untuk sementara waktu, aku tak ingin memberitahumu tentang cincin pernikahan kita yang kudapat di saku celanamu. Atas alasan itu, akan kubuat kau mengiba padaku. Membuatmu merasa bersalah sebab abai menjaga simbol cinta kita. Aku ingin membuatmu takut tentangku.

Sungguh, diam-diam, aku takut perhatianmu padaku, berlalu begitu cepat. Aku takut kau tahu jika selama ini aku cemburu padamu. Itu bisa membuatmu merasa diri sangat berharga terhadapku, lalu mengabaikanku. Aku takut, kau memperminkanku, jika kau tahu, aku menginginkanmu lebih daripada kau menginginkanku. Aku takut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar