Seakan
telah lama aku mengenalnya. Padahal, tak sekali pun kami mengobrol, meski kami
hidup di lingkungan yang sama. Aku cuma memata-matainya. Menjadi pecandu
rahasianya. Diam-diam, mengulik tentang dirinya setiap waktu. Bagaimana pun
caranya. Dan salah satu yang kutahu, ia penggemar ramalan bintang. Zodiaknya aries.
Tepat
di hari ke-29 Bulan Dua, tiga tahun lalu, karirku sebagai pengagum rahasiannya,
tamat. Kami berkenalan setelah taktik klasikku berhasil: aku sengaja
meninggalkan kalung dengan liontin lambang zodiak aries, domba jantan, di
sampingnya.
“Hei,
Agust, ini punyamu kan?” tanyanya.
Aku
jelas kaget. Entah bagaimana ia tahu namaku. “Oh, iya. Maaf, aku lupa,” balasku
dengan sangat gerogi, lalu mengambilnya.
“Kalung
itu bagus sekali. Pasti untuk orang yang spesial?” Ia menatap mataku
dalam-dalam.
“Kalau
kamu suka, ambillah. Apalagi, bintangmu kan aries,” tawarku, lalu memberinya
kembali dengan tangan yang gemetaran. “Rencananya akan kuberikan pada sepupuku.
Tapi ternyata ia lahir Bulan Satu.”
“Kok,
kau tak tahu waktu lahir orang yang akan diberi hadiah?” singgungnya, seakan tahu
kalau aku sedang mengarang. “Terus, kau tahu dari mana kalau bintangku aries?”
Entah
bagaimana menjawabnya. Ternyata, aku baru saja membongkar aibku sendiri. “Aku
cuma menebak-nebak. Kukira, wajah secantik kamu, pasti aries.”
Ia
pun tertawa pendek. Sangat menggemaskan.
Sejak
kejadian itu, kami resmi menjalin pertemanan. Semakin dekat dari waktu ke
waktu. Tapi aku berusaha menjaga jarak. Apalagi, belakangan kutahu, ia memiliki
sosok idaman lain.
Sejak
awal perkenalan kami, hatinya memang telah terenggut pada sosok February. Dialah
yang terlafalkan di setiap tutur lisan dan tulisannya. Ia selalu menanti Bulan
Dua tahun depan, demi sosok itu. Mereka pastilah saling merindu.
Kini,
kami berada di Bulan Enam, di tahun ketiga kami saling berteman.
“Agust,
kamu sudah tahu kan kalau besok, awal Bulan Tujuh, aku akan pergi?” tuturnya.
“Iya,
aku tak akan lupa. Kita kan teman,” jawabku singkat, tak berhasrat memancing
keluh-kesahnya.
Kuusahakan
terlihat biasa saja. Tak ingin kalau ia tahu aku memendam perasaan luar biasa,
apalagi terkesan berat untuk melepasnya. Terlebih, aku memang sudah mempersiapkan
diri menerima kenyataan, kalau suatu saat, ia akan pergi.
“Tapi
aku tak akan kembali,” keluhnya lagi.
Ia
pasti cemas akan kehilangan aku sebagai teman baiknya, bukan sebagai lelaki
yang didambakannya.
“Tak
mengapa. Kalau ditakdirkan, kita akan bertemu lagi,” balasku.
Ia
pun pergi. Entah bagamana raut wajahnya. Enggan aku menatapnya.
Aku
jelas merasa kehilangan. Bagaimana tidak, Bulan Delapan, akan kulalui tanpanya
lagi. Jelas, itu berarti, kehadiranku di dunia, tak pernah ia syukuri.
Tapi
kalau kupikir-pikir, memang wajar ia mengabaikanku. Selama dekat dengannya, aku
juga tak pernah sekali pun menghargai Bulan Enam, bulan kelahirannya.
Untuk
bulan-bulan mendatang, sudah waktunya kami saling melupakan.
Dan,
akhirnya kulalui Bulan Sembilan, hingga Bulan Satu di tahun selanjutnya. Di
rentang waktu itu, aku mulai bersahabat dengan kenangan. Sekarang, hanya
tentang aku dan Bulan Delapan.
Tepat
di hari ke-29 Bulan Dua, sampailah sebuah surat untukku. Tertulis nama
pengirimnya: April.
Hai Agust;
Hari ini, tepat empat tahun kita
berkenalan. Hari unik dan spesial. Kau tahu, setelah hari ini, kita harus
menunggu empat tahun lagi untuk bertemu hari ke-29 Bulan Dua.
Sungguh, aku paham kalau selama
ini, kau sengaja melewatkan Bulan Empat tanpa mengucapkan sepatah kata pun
padaku. Kuharap kau juga tahu, kenapa Bulan Delapan kulalui tanpa mengucapkan
selamat padamu.
Yang lebih penting dari hari kita
ada, adalah hari kita bertemu: hari ke-29 Bulan Dua. Agust, aku ingin kita bahagia bukan
karena ditakdirkan atas hidup dan kehidupan masing-masing, tapi karena
ditakdirkan bersama. Semoga.
Dan, demi waktu, simpanlah aku di
hatimu, agar aku tak pernah pergi.
Selamat hari ke-29 Bulan Dua, hari
tentang kita.
NB: Terima kasih atas kalung zodiak
darimu.
Jadi
itukah alasannya mencintai February?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar