Selasa, 02 Agustus 2016

Bulan Delapan

Seakan telah lama aku mengenalnya. Padahal, tak sekali pun kami mengobrol, meski kami hidup di lingkungan yang sama. Aku cuma memata-matainya. Menjadi pecandu rahasianya. Diam-diam, mengulik tentang dirinya setiap waktu. Bagaimana pun caranya. Dan salah satu yang kutahu, ia penggemar ramalan bintang. Zodiaknya aries.
 
Tepat di hari ke-29 Bulan Dua, tiga tahun lalu, karirku sebagai pengagum rahasiannya, tamat. Kami berkenalan setelah taktik klasikku berhasil: aku sengaja meninggalkan kalung dengan liontin lambang zodiak aries, domba jantan, di sampingnya. 

“Hei, Agust, ini punyamu kan?” tanyanya.

Aku jelas kaget. Entah bagaimana ia tahu namaku. “Oh, iya. Maaf, aku lupa,” balasku dengan sangat gerogi, lalu mengambilnya.

“Kalung itu bagus sekali. Pasti untuk orang yang spesial?” Ia menatap mataku dalam-dalam.

“Kalau kamu suka, ambillah. Apalagi, bintangmu kan aries,” tawarku, lalu memberinya kembali dengan tangan yang gemetaran. “Rencananya akan kuberikan pada sepupuku. Tapi ternyata ia lahir Bulan Satu.”

“Kok, kau tak tahu waktu lahir orang yang akan diberi hadiah?” singgungnya, seakan tahu kalau aku sedang mengarang. “Terus, kau tahu dari mana kalau bintangku aries?”

Entah bagaimana menjawabnya. Ternyata, aku baru saja membongkar aibku sendiri. “Aku cuma menebak-nebak. Kukira, wajah secantik kamu, pasti aries.”

Ia pun tertawa pendek. Sangat menggemaskan.

Sejak kejadian itu, kami resmi menjalin pertemanan. Semakin dekat dari waktu ke waktu. Tapi aku berusaha menjaga jarak. Apalagi, belakangan kutahu, ia memiliki sosok idaman lain. 

Sejak awal perkenalan kami, hatinya memang telah terenggut pada sosok February. Dialah yang terlafalkan di setiap tutur lisan dan tulisannya. Ia selalu menanti Bulan Dua tahun depan, demi sosok itu. Mereka pastilah saling merindu.

Kini, kami berada di Bulan Enam, di tahun ketiga kami saling berteman.

“Agust, kamu sudah tahu kan kalau besok, awal Bulan Tujuh, aku akan pergi?” tuturnya.

“Iya, aku tak akan lupa. Kita kan teman,” jawabku singkat, tak berhasrat memancing keluh-kesahnya.

Kuusahakan terlihat biasa saja. Tak ingin kalau ia tahu aku memendam perasaan luar biasa, apalagi terkesan berat untuk melepasnya. Terlebih, aku memang sudah mempersiapkan diri menerima kenyataan, kalau suatu saat, ia akan pergi.

“Tapi aku tak akan kembali,” keluhnya lagi.

Ia pasti cemas akan kehilangan aku sebagai teman baiknya, bukan sebagai lelaki yang didambakannya.

“Tak mengapa. Kalau ditakdirkan, kita akan bertemu lagi,” balasku.

Ia pun pergi. Entah bagamana raut wajahnya. Enggan aku menatapnya.

Aku jelas merasa kehilangan. Bagaimana tidak, Bulan Delapan, akan kulalui tanpanya lagi. Jelas, itu berarti, kehadiranku di dunia, tak pernah ia syukuri.

Tapi kalau kupikir-pikir, memang wajar ia mengabaikanku. Selama dekat dengannya, aku juga tak pernah sekali pun menghargai Bulan Enam, bulan kelahirannya.

Untuk bulan-bulan mendatang, sudah waktunya kami saling melupakan.

Dan, akhirnya kulalui Bulan Sembilan, hingga Bulan Satu di tahun selanjutnya. Di rentang waktu itu, aku mulai bersahabat dengan kenangan. Sekarang, hanya tentang aku dan Bulan Delapan. 

Tepat di hari ke-29 Bulan Dua, sampailah sebuah surat untukku. Tertulis nama pengirimnya: April.

Hai Agust;

Hari ini, tepat empat tahun kita berkenalan. Hari unik dan spesial. Kau tahu, setelah hari ini, kita harus menunggu empat tahun lagi untuk bertemu hari ke-29 Bulan Dua. 

Sungguh, aku paham kalau selama ini, kau sengaja melewatkan Bulan Empat tanpa mengucapkan sepatah kata pun padaku. Kuharap kau juga tahu, kenapa Bulan Delapan kulalui tanpa mengucapkan selamat padamu. 

Yang lebih penting dari hari kita ada, adalah hari kita bertemu: hari ke-29 Bulan Dua. Agust, aku ingin kita bahagia bukan karena ditakdirkan atas hidup dan kehidupan masing-masing, tapi karena ditakdirkan bersama. Semoga.

Dan, demi waktu, simpanlah aku di hatimu, agar aku tak pernah pergi.

Selamat hari ke-29 Bulan Dua, hari tentang kita.

NB: Terima kasih atas kalung zodiak darimu.

Jadi itukah alasannya mencintai February?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar