Tiba-tiba,
aku jadi takut mengecek ponselku. Sudah lima kali berdering, tanda panggilan
masuk, tapi aku tak mau menjawab. Aku merasa belum siap menerima kenyataan. Bingung
harus membalas apa jika ia memberiku jawaban yang kuinginkan ataupun yang kutakutkan.
Berselang
beberapa menit, nada pesan masuk, berbunyi. Tiga kali berulang. Tapi aku tak
ingin mengeceknya. Tak tahu bagaimana rangkaian kata yang pantas kubalaskan
nantinya. Takut mati berdiri. Sungguh horor.
Kusesali
sudah apa yang telah kulakukan. Lancang. Waktu tiga tahun bisa menjadi tak
berarti, hanya karena sebuah pesan yang
terlanjur kukirimkan. Sebuah pernyataan atas perasaanku, pada teman baikku sendiri.
Dita, bolehkah jika perasaanku
padamu lebih dari rasa pertemanan?
Begitulah
pesanku padanya petang ini.
Tanggapannya
jelas belum bisa kupastikan. Kalaulah ia juga memendam perasaan padaku, berarti
pesan itu sudah menjadi jalan terbaik. Tapi sebaliknya, jika ia tak ada rasa
apa-apa selain pertemanan, bisa jadi itulah awal dari petaka: persahabatan kami
hancur.
Untuk
sementara, kupaksakan diriku untuk tidak mengetahui jawabannya. Tak peduli aku
harus dihantui rasa penasaran. Nanti, setelah lewat tengah malam, akan
kuberanikan diri menyibak tabir itu.
Tiba-tiba,
terdengar ketukan pada daun pintu kamarku. Itu pasti Miska, kakak sekaligus teman serumahku
di kota yang jauh dari kedua orang tuaku.
“Radit,
kamu tidur ya?” tanyanya.
“Tidak.
Ada apa?” Aku balas bertanya. Heran.
“Ada
apa denganmu? Kenapa panggilan di ponselmu tak kau jawab? Pesan tak kau
balas?” tanyanya lagi, setengah menggertak.
Aku
tersentak. Entah bagaimana dia tahu tentang pesan hororku pada Dita.
“Ibu
khawatir terjadi apa-apa padamu,” tegasnya. “Telepon dia cepat!”
“Apa?”
tuturku. Tanpa ada kata-kata lagi, segera kucek ponselku.
Kulihat,
lima panggilan tak terjawab dari Ibuku.
Secepat
mungkin, kubuka pesan masuk.
Apa kabarmu Nak?; Kamu baik-baik
saja kan? Mama rindu. Kapan pulang kampung?; Radit, kamu baik-baik saja kan?
Kamu tak rindu sama Mama?
Begitulah
pesan Ibuku.
Aku
mendiamkan serangkain pertanyaan dan pernyataan kerinduan itu untuk sementara
waktu.
Kuperiksa
lagi kotak masuk sejeli mungkin. Ternyata, sama sekali tak ada pesan dari Dita.
Secepat
mungkin, kucek daftar pesan terkirim. Kulihat, ada tanda seru pada pesan yang
kutujukan untuk Dita. Pesanku padanya, gagal terkirim. Sungguh sial!
Setelah
menenangkan diri, segera kutelepon Ibuku. Setidaknya, ia tak menganggapku abai
padanya.
Maaf, pulsa anda tidak mencukupi….
Oceh operator jaringan.
Ah….
Akhirnya,
kutunggu saja sampai Ibuku menelepon kembali. Biasanya, ia akan menelepon lagi sejam
setelah panggilannya tak dijawab. Ia memang pengertian.
Jika
saja tak kurang ajar kalau aku jujur pada Ibuku, maka aku akan mengatakan
padanya: Bu, maafkan aku. Kini, aku telah
dewasa. Perasaanku telah meneror diriku sendiri. Ini fitrah. Sudah ada sosok lain
yang telah mencuri separuh rinduku padamu, seseorang gadis yang kuharapkan
melahirkan cucu-cucumu kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar