Senin, 15 Agustus 2016

Teror

Tiba-tiba, aku jadi takut mengecek ponselku. Sudah lima kali berdering, tanda panggilan masuk, tapi aku tak mau menjawab. Aku merasa belum siap menerima kenyataan. Bingung harus membalas apa jika ia memberiku jawaban yang kuinginkan ataupun yang kutakutkan.
 
Berselang beberapa menit, nada pesan masuk, berbunyi. Tiga kali berulang. Tapi aku tak ingin mengeceknya. Tak tahu bagaimana rangkaian kata yang pantas kubalaskan nantinya. Takut mati berdiri. Sungguh horor.

Kusesali sudah apa yang telah kulakukan. Lancang. Waktu tiga tahun bisa menjadi tak berarti, hanya  karena sebuah pesan yang terlanjur kukirimkan. Sebuah pernyataan atas perasaanku, pada teman baikku sendiri.

Dita, bolehkah jika perasaanku padamu lebih dari rasa pertemanan?

Begitulah pesanku padanya petang ini.

Tanggapannya jelas belum bisa kupastikan. Kalaulah ia juga memendam perasaan padaku, berarti pesan itu sudah menjadi jalan terbaik. Tapi sebaliknya, jika ia tak ada rasa apa-apa selain pertemanan, bisa jadi itulah awal dari petaka: persahabatan kami hancur.

Untuk sementara, kupaksakan diriku untuk tidak mengetahui jawabannya. Tak peduli aku harus dihantui rasa penasaran. Nanti, setelah lewat tengah malam, akan kuberanikan diri menyibak tabir itu.
Tiba-tiba, terdengar ketukan pada daun pintu kamarku. Itu pasti Miska, kakak sekaligus teman serumahku di kota yang jauh dari kedua orang tuaku.

“Radit, kamu tidur ya?” tanyanya.

“Tidak. Ada apa?” Aku balas bertanya. Heran.

“Ada apa denganmu? Kenapa panggilan di ponselmu tak kau jawab? Pesan tak kau balas?” tanyanya lagi, setengah menggertak.

Aku tersentak. Entah bagaimana dia tahu tentang pesan hororku pada Dita.

“Ibu khawatir terjadi apa-apa padamu,” tegasnya. “Telepon dia cepat!”

“Apa?” tuturku. Tanpa ada kata-kata lagi, segera kucek ponselku.

Kulihat, lima panggilan tak terjawab dari Ibuku.

Secepat mungkin, kubuka pesan masuk.

Apa kabarmu Nak?; Kamu baik-baik saja kan? Mama rindu. Kapan pulang kampung?; Radit, kamu baik-baik saja kan? Kamu tak rindu sama Mama?

Begitulah pesan Ibuku.

Aku mendiamkan serangkain pertanyaan dan pernyataan kerinduan itu untuk sementara waktu.

Kuperiksa lagi kotak masuk sejeli mungkin. Ternyata, sama sekali tak ada pesan dari Dita.

Secepat mungkin, kucek daftar pesan terkirim. Kulihat, ada tanda seru pada pesan yang kutujukan untuk Dita. Pesanku padanya, gagal terkirim. Sungguh sial!

Setelah menenangkan diri, segera kutelepon Ibuku. Setidaknya, ia tak menganggapku abai padanya. 

Maaf, pulsa anda tidak mencukupi….

Oceh operator jaringan.

Ah….

Akhirnya, kutunggu saja sampai Ibuku menelepon kembali. Biasanya, ia akan menelepon lagi sejam setelah panggilannya tak dijawab. Ia memang pengertian.

Jika saja tak kurang ajar kalau aku jujur pada Ibuku, maka aku akan mengatakan padanya: Bu, maafkan aku. Kini, aku telah dewasa. Perasaanku telah meneror diriku sendiri. Ini fitrah. Sudah ada sosok lain yang telah mencuri separuh rinduku padamu, seseorang gadis yang kuharapkan melahirkan cucu-cucumu kelak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar