Senin, 01 Agustus 2016

Guru di Tubir Pidana

Dewasa ini, hak asasi manusia kerap menimbulkan dilema. Ego individual didahulukan, namun kepentingan sosial sering kali dikesampingkan. Kemerdekaan individu begitu dijunjung tinggi, termasuk hak-hak anak. Apalagi, jaminannya ada dalam UUD NRI Tahun 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Tapi di samping itu, timbul ancaman bagi hak dan kewajiban para pendidik.

Elaborasi hak anak di Indonesia, lebih lanjut diatur dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak beserta perubahannya dan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak. Dalam UU tersebut, anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 

Ketatnya aturan positif mengatur hak anak, secara khusus, berdampak dalam dunia pendidikan. Atas nama hak asasi, tindakan guru yang “tegas” kepada anak didik, dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Tidak peduli, apakah perilaku “tegas” itu, ditujukan untuk mendidik anak. 

Tak mengherankan jika muncul banyak kasus pemidanaan terhadap guru karena dinilai telah melakukan kekerasan terhadap anak didik. Belum lama ini, terjadi beberapa kasus pemidanaan guru: Mubasysyir,  SMAN 2 Sinjai Selatan, hanya karena memotong rambut siswanya yang tak rapi; Nurmayani, guru SMP Negeri 1 Bantaeng diperkarakan karena mencubit dua orang siswinya yang bermain-main sisa air pel; Moh. Sambudi, guru SMP Raden Rahmat, Kecamatan Balongbendo, Sidoarjo, diperkarakan atas dugaan mencubit siswanya karena tidak melaksanakan salat duha.  

Pemidanaan terhadap guru, akhirnya menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Beberapa di antaranya menilai pola pendidikan yang menggunakan pendekatan fisik, sudah ketinggalan zaman. Tapi di sisi lain, masih ada juga yang berpandangan kalau metode mendidik, tidak perlu dibatasi. Asalkan tujuannya untuk mendidik, maka pendekatan fisik maupun psikis, bisa saja dilakukan dalam batasan yang sepantasnya. Apalagi, anak didik memang memiliki karakter yang berbeda-beda.

Dilema Batas Kekerasan

Pada Pasal 1 angka 15 a UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, didefinisikan bahwa kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. 

Definisi kekerasan yang sangat luas di atas, menimbulkan kerawanan terhadap pemidanaan guru. Terlebih, tolok ukur untuk menentukan apakah seorang anak mengalami “kesengsaraan atau penderitaan” atas perlakuan seorang guru, sangat tergantung dari subjektivitas anak didik. Bisa jadi, tindakan seorang guru masih kualifikasi “tegas” bagi pendidik, tapi telah dianggap “keras” bagi orang lain, sehingga patut dipidana.

Abu-abu batas kekerasan, menyebabkan kebimbangan di kalangan guru. Ancaman pidana, akhirnya merongrong kemerdekaan dan kebebasan guru dalam menyelenggarakan fungsi pendidikan. Ditambah lagi, UU Perlindungan Anak juga mewajibkan kepada seluruh pihak untuk memantau dan melindungi anak didik dari tindak kekerasan. Maka bisa jadi, pihak keluarga maupun masyarakat, turut juga dalam aksi mempidanakan guru. 

Kelonggaran hukum menuju pemidanaan guru atas aktivitas pendidikan di sekolah, semakin lebar jika mengacu pada perilaku yang diancam pidana. Yang dapat dipidana berdasarkan Pasal 76C UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah setiap orang yang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. 

Ancaman pidana bagi guru atas terjadinya tindak kekerasan pada anak didik sebagimana Pasal 76C di atas, paling lama 3 tahun 6 bulan berdasarkan Pasal 80 UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Ancaman pidananya akan semakin berat jika tindak kekerasan tersebut menimbulkan luka berat atau meninggal dunia bagi anak didik.

Merujuk pada uraian di atas, maka guru jelas sangat rentan untuk dipidanakan terkait pelaksanaan tugasnya sebagai pendidik. Arti kekerasan yang luas, persepsi setiap orang yang berbeda tentang kekerasan, pelimpahan tanggung jawab kepada guru untuk menjaga anak di lingkungan sekolah, menjadi serangkaian komponen yang dapat menjebak dan menjerat guru dalam pasal pidana. 
 
Lindungi Guru

Di tengah UU Perlindungan Anak yang rawan memidanakan guru, kiranya perlu diupayakan pemebrian perlindungan maksimal bagi guru dari melaksanakan tugasnya. Apalagi, sebagai pendidik, profesi guru sangat membutuhkan lingkungan yang bebas dari ancaman. Tanpa perlindungan, maka guru tak akan merasa merdeka dan bebas berkreasi dalam mendidik, sehingga pencapaian fungsi pendidikan pun tidak akan maksimal.

Pasal 14 ayat (1) c dan f UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, jelas menyatakan bahwa guru berhak atas perlindungan dalam melaksanakan tugasnya, serta bebas dalam menyelenggarakan pendidikan secara professional. Perlindungan itu lalu dirinci pada Pasal 39 UU tersebut, yaitu mencakup perlindungan hukum, perlindungan profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. 

Berpegang pada UU Guru dan Dosen, maka jelas bahwa kemerdekaan dan kebebasan guru harus dijamin dalam pelaksanaan aktivitas mendidik. Setiap guru berhak menilai karakter anak didik, juga memilih dan melakukan pendekatan yang variatif kepada setiap anak didik, demi kepentingan mendidik. Apalagi jika melihat bahwa sifat dan jenis satuan pendidikan –SMA, MA, SMK, Pesantren- memiliki pola mendidik yang berbeda-beda, yang tentu jadi acuan para guru.

Pemidanaan terhadap guru terkait pelaksanaan tugasnya, sudah seharusnya dihindari. Hukum pidana harus didudukkan sebagai pilihan terakhir (ultimum remedium). Masih banyak jalur nonlitigasi yang seharusnya didahulukan. Itu penting untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi guru. Kalau pun ada indikasi kekerasan yang dilakukan oleh pihak guru, maka sebaiknya diselesaikan menurut asas kekeluargaan, melalui jalan mediasi. 

Pasal 41-44 UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, jelas mengatur terkait organisasi profesi dan kode etik guru. Instumen ini selayaknya dijadikan pintu utama dalam menyelesaikan dugaaan kekerasan oleh guru terhadap anak didik. Apalagi jika dugaan tindak kekerasan tersebut, terjadi dalam rangka pelaksanaan tugas guru sebagai pendidik, maka selayaknyalah tolok ukur menilai tindakan guru, dirujuk pada kode etik guru, dan ancaman sanksinya berdasarkan aturan dan keputusan organisasi profesi.

Akhirnya, garis abu-abu di antara fungsi pendidikan dan kekakuan aturan hukum, kiranya perlu dicairkan. Berpegangan pada teks aturan hukum serta sanksi pidana, tidak selamanya bermuara pada kebaikan bersama. Selayaknyalah, guru dan peserta didik didudukkan sebagaimana orang tua dan anak. Karenanya, asas kekeluargaan harus didahulukan, sehingga pemidanaan terhadap guru sebagai pendidik, tidak terjadi lagi. Itu penting untuk melindungi kemuliaan dan kehormatan profesi guru. Apalagi, di pundak para gurulah, kemajuan bangsa dipertaruhkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar