Dewasa
ini, hak asasi manusia kerap menimbulkan dilema. Ego individual didahulukan,
namun kepentingan sosial sering kali dikesampingkan. Kemerdekaan individu begitu
dijunjung tinggi, termasuk hak-hak anak. Apalagi, jaminannya ada dalam UUD NRI
Tahun 1945 dan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Tapi di samping
itu, timbul ancaman bagi hak dan kewajiban para pendidik.
Elaborasi
hak anak di Indonesia, lebih lanjut diatur dalam UU No. 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak beserta perubahannya dan UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Anak. Dalam UU tersebut, anak didefinisikan sebagai seseorang yang belum
berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Ketatnya
aturan positif mengatur hak anak, secara khusus, berdampak dalam dunia
pendidikan. Atas nama hak asasi, tindakan guru yang “tegas” kepada anak didik,
dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Tidak peduli, apakah perilaku
“tegas” itu, ditujukan untuk mendidik anak.
Tak
mengherankan jika muncul banyak kasus pemidanaan terhadap guru karena dinilai
telah melakukan kekerasan terhadap anak didik. Belum lama ini, terjadi beberapa
kasus pemidanaan guru: Mubasysyir, SMAN
2 Sinjai Selatan, hanya karena memotong rambut siswanya yang tak rapi; Nurmayani,
guru SMP Negeri 1 Bantaeng diperkarakan karena mencubit dua orang siswinya yang
bermain-main sisa air pel; Moh. Sambudi, guru SMP Raden Rahmat, Kecamatan
Balongbendo, Sidoarjo, diperkarakan atas dugaan mencubit siswanya karena tidak melaksanakan
salat duha.
Pemidanaan
terhadap guru, akhirnya menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Beberapa di
antaranya menilai pola pendidikan yang menggunakan pendekatan fisik, sudah
ketinggalan zaman. Tapi di sisi lain, masih ada juga yang berpandangan kalau
metode mendidik, tidak perlu dibatasi. Asalkan tujuannya untuk mendidik, maka
pendekatan fisik maupun psikis, bisa saja dilakukan dalam batasan yang
sepantasnya. Apalagi, anak didik memang memiliki karakter yang berbeda-beda.
Dilema Batas Kekerasan
Pada
Pasal 1 angka 15 a UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak, didefinisikan bahwa kekerasan adalah setiap
perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan
secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum.
Definisi
kekerasan yang sangat luas di atas, menimbulkan kerawanan terhadap pemidanaan
guru. Terlebih, tolok ukur untuk menentukan apakah seorang anak mengalami “kesengsaraan
atau penderitaan” atas perlakuan seorang guru, sangat tergantung dari
subjektivitas anak didik. Bisa jadi, tindakan seorang guru masih kualifikasi
“tegas” bagi pendidik, tapi telah dianggap “keras” bagi orang lain, sehingga
patut dipidana.
Abu-abu
batas kekerasan, menyebabkan kebimbangan di kalangan guru. Ancaman pidana,
akhirnya merongrong kemerdekaan dan kebebasan guru dalam menyelenggarakan
fungsi pendidikan. Ditambah lagi, UU Perlindungan Anak juga mewajibkan kepada
seluruh pihak untuk memantau dan melindungi anak didik dari tindak kekerasan.
Maka bisa jadi, pihak keluarga maupun masyarakat, turut juga dalam aksi
mempidanakan guru.
Kelonggaran
hukum menuju pemidanaan guru atas aktivitas pendidikan di sekolah, semakin
lebar jika mengacu pada perilaku yang diancam pidana. Yang dapat dipidana
berdasarkan Pasal 76C UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah setiap orang yang menempatkan,
membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan
terhadap anak.
Ancaman
pidana bagi guru atas terjadinya tindak kekerasan pada anak didik sebagimana
Pasal 76C di atas, paling lama 3 tahun 6 bulan berdasarkan Pasal 80 UU No. 35
Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak. Ancaman pidananya akan semakin berat jika tindak kekerasan tersebut
menimbulkan luka berat atau meninggal dunia bagi anak didik.
Merujuk
pada uraian di atas, maka guru jelas sangat rentan untuk dipidanakan terkait
pelaksanaan tugasnya sebagai pendidik. Arti kekerasan yang luas, persepsi
setiap orang yang berbeda tentang kekerasan, pelimpahan tanggung jawab kepada
guru untuk menjaga anak di lingkungan sekolah, menjadi serangkaian komponen yang
dapat menjebak dan menjerat guru dalam pasal pidana.
Lindungi Guru
Di
tengah UU Perlindungan Anak yang rawan memidanakan guru, kiranya perlu
diupayakan pemebrian perlindungan maksimal bagi guru dari melaksanakan tugasnya.
Apalagi, sebagai pendidik, profesi guru sangat membutuhkan lingkungan yang
bebas dari ancaman. Tanpa perlindungan, maka guru tak akan merasa merdeka dan
bebas berkreasi dalam mendidik, sehingga pencapaian fungsi pendidikan pun tidak
akan maksimal.
Pasal
14 ayat (1) c dan f UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, jelas menyatakan
bahwa guru berhak atas perlindungan dalam melaksanakan tugasnya, serta bebas
dalam menyelenggarakan pendidikan secara professional. Perlindungan itu lalu
dirinci pada Pasal 39 UU tersebut, yaitu mencakup perlindungan hukum, perlindungan
profesi, serta perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja.
Berpegang
pada UU Guru dan Dosen, maka jelas bahwa kemerdekaan dan kebebasan guru harus
dijamin dalam pelaksanaan aktivitas mendidik. Setiap guru berhak menilai
karakter anak didik, juga memilih dan melakukan pendekatan yang variatif kepada
setiap anak didik, demi kepentingan mendidik. Apalagi jika melihat bahwa sifat
dan jenis satuan pendidikan –SMA, MA, SMK, Pesantren- memiliki pola mendidik
yang berbeda-beda, yang tentu jadi acuan para guru.
Pemidanaan
terhadap guru terkait pelaksanaan tugasnya, sudah seharusnya dihindari. Hukum
pidana harus didudukkan sebagai pilihan terakhir (ultimum remedium). Masih
banyak jalur nonlitigasi yang seharusnya didahulukan. Itu penting untuk menjaga
martabat dan kehormatan profesi guru. Kalau pun ada indikasi kekerasan yang
dilakukan oleh pihak guru, maka sebaiknya diselesaikan menurut asas
kekeluargaan, melalui jalan mediasi.
Pasal
41-44 UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, jelas mengatur terkait
organisasi profesi dan kode etik guru. Instumen ini selayaknya dijadikan pintu
utama dalam menyelesaikan dugaaan kekerasan oleh guru terhadap anak didik.
Apalagi jika dugaan tindak kekerasan tersebut, terjadi dalam rangka pelaksanaan
tugas guru sebagai pendidik, maka selayaknyalah tolok ukur menilai tindakan
guru, dirujuk pada kode etik guru, dan ancaman sanksinya berdasarkan aturan dan
keputusan organisasi profesi.
Akhirnya,
garis abu-abu di antara fungsi pendidikan dan kekakuan aturan hukum, kiranya
perlu dicairkan. Berpegangan pada teks aturan hukum serta sanksi pidana, tidak selamanya
bermuara pada kebaikan bersama. Selayaknyalah, guru dan peserta didik
didudukkan sebagaimana orang tua dan anak. Karenanya, asas kekeluargaan harus
didahulukan, sehingga pemidanaan terhadap guru sebagai pendidik, tidak terjadi
lagi. Itu penting untuk melindungi kemuliaan dan kehormatan profesi guru.
Apalagi, di pundak para gurulah, kemajuan bangsa dipertaruhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar