Sekitar
pukul 00.45 WIB, Jumat, 29 Juli 2016, dilaksanakan eksekusi mati tahap III di
Lapangan Tembak Panaluan, Nusakambangan. Empat orang gembong narkoba pun,
meregang nyawa di depan regu tembak. Sepuluh terpidana mati lain yang batal
dieksekusi pada saat itu, kini masih menunggu nasibnya.
Tak
pelak, eksekusi mati ditanggapi beragam sejumlah pihak. Ada yang protes atas
dasar perlindungan hak asasi manusia. Mereka menilai hidup-matinya seseorang,
merupakan hak mutlak Tuhan. Negara sama kali tak berhak. Di sisi lain, suara
dukungan muncul atas alasan bahwa para pelaku telah melanggar hukum dengan melakukan
kejahatan luar biasa.
Di
luar sikap pro-kontra, suka atau tidak, hukuman mati masih dicantumkan sebagai pidana
pokok menurut Pasal 10 KUHP, yang diancamkan untuk beberapa kejahatan, di
antaranya makar, dan pembunuhan berencana. Di luar KUHP, terdapat juga sejumlah
perbuatan yang diancaman dengan pidana mati, semisal terorisme, kejahatan terhadap
hak asasi manusia, dan penyalahgunaan narkotika.
Terkait hal di atas, timbul pertanyaan, apakah hukuman mati tidak melanggar
hak asasi manusiaa? Masihkah penerapan hukuman mati dibutuhkan di negara
Indonesia?
Melanggar Hak Asasi Manusia?
Konstitusi
dan hukum Indonesia, jelas menjunjung tinggi hak asasi seseorang, terutama hak
untuk hidup. Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 secara tegas menyatakan
bahwa hak hidup, termasuk hak asasi yang tak dapat dikurangi dalam keadaan
apa pun.
Walau
demikian, penikmatan hak asasi, harus dibarengi dengan pemenuhan kewajiban untuk
senantiasa mengormati hak-hak orang lain dan ketertiban umum. Untuk itulah, Pasal
28J UUD NRI Tahun 1945 membuka kemungkinan untuk mencabut hak asasi seseorang,
termasuk hak untuk hidup.
Secara terperinci, Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mendelegasikan pembatasan hak asasi manusia untuk diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Pengaturan lebih lanjut itu, tidak lain, ditujukan untuk menjamin pengakuan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.
Terkait
perdebatan apakah hak hidup pada Pasal 28I ayat (1) dapat didegradasi oleh
Pasal 28J, kiranya bisa dicermati putusan Mahkamah Konstitusi terhadap
Perkara Nomor 2/PUU-V/2007 dan Perkara Nomor 3/PUU-V/2007 perihal Pengujian UU
Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Para
pemohon menilai hukuman mati dalam UU tersebut, inkonstitusional.
Dalam
putusannya yang dibacakan pada 30 Oktober 2007, MK menyatakan bahwa ancaman
pidana mati dalam UU No. 22 Tahun 1997 tidak bertentangan dengan Pasal 28A dan
Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Keberadaan Pasal 28J, menurut MK, memang ditujukan
untuk memberikan batasan terhadap hak asasi dengan berlandaskan pada aturan
hukum dan putusan pengadilan.
Konstruksi
serupa di atas, juga mengilhami UU No. 39 tentang Hak Asasi Manusia. Secara
tegas, UU tersebut menggariskan bahwa bersamaan dengan hak asasi manusia, juga
ada kewajiban dasar manusia untuk menghormati hak orang lain dan ketertiban
sosial. Larangan hukuman mati, hanya ditujukan untuk anak, yang berusia di
bawah 18 tahun.
Akhirnya,
bisa disimpulkan bahwa menghukum seseorang karena melanggar kewajiban dasarnya
menurut hukum, dibenar. Termasuk juga bahwa hukuman mati dapat dijatuhkan berdasarkan
hukum, melalui putusan pengadilan.
Alasan Menerima
Menerima
atau tidak hukuman mati sebagai salah satu bentuk pemidanaan, selayaknya
didasarkan pada kepentingan negara untuk melindungi kepentingan umum. Untuk
itu, jika telah nyata bahwa kejahatan luar biasa sedemikian merebak dan butuh
pendekatan hukum yang luar biasa pula, maka pengadaan hukuman mati, jelas diperlukan.
Politik hukum Indonesia, saat ini, masih menempatkan hukuman mati sebagai
kebutuhan.
Pengadaan
dan penegakan pidana mati dalam hukum positif terhadap kejahatan tertentu, akan
menimbulkan efek psikologis dalam lingkup sosial. Orang-orang akan berpikir beribu kali
untuk melakukan tindakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati. Hal itu
jelas efektif dalam mencegah tindak pidana serupa, terulang kembali. Sebaliknya, jika hukuman
mati ditiadakan, niat dan kesempatan berbuat jahat, akan terasa enteng diwujudkan.
Lalu,
muncul pertanyaan, bukankah sebaiknya seorang penjahat untuk diberi kesempatan hidup
dan memperbaiki dirinya? Pantaskah negara memutuskan hidup-matinya seseorang?
Pada
dasarnya, sanksi yang pantas dijatuhkan kepada seseorang, harus sesuai dengan
perbuatan dan tanggung jawabnya. Jika kualitas kejahatan seseorang, saking luar
biasanya, dinilai setimpal kalau diganjar pidana mati berdasarkan aturan hukum, maka sanksi yang dijatuhkan melalui
putusan pengadilan, harus ditegakkan. Itu demi
menjaga kewibawaan hukum.
Mempersalahkan
negara karena mencabut nyawa seseorang yang divonis mati, juga tidaklah
berdasar. Alasannya karena pelaku kejahatan, dengan sadar, telah melanggar ketentuan
hukum yang memuat sanksi pidana mati. Ini berarti bahwa secara pribadi, si
pelaku pun telah bersedia menerima konsekuensi dari tindakannya.
Asas
legalitas dan fiksi hukum menjadi sangat penting digunakan sebagai acuan menjawab
permasalah di atas. Apabila menurut hukum sebuah perbuatan dianggap pidana dan diancaman
hukuman mati, kemudian seseorang bertindak dan memenuhi unsur pidananya, maka
sanksi harus dijatuhkan kepadanya. Itu karena ada keyakinan bahwa ia tahu hukum
dan sadar akan dampak atas perbuatannya.
Yang
lebih penting lagi, bahwa hukuman mati, pada dasarnya, ditujukan untuk
melindungi hidup dan kehidupan orang lain. Kalau seseorang telah sadar dan
sengaja melakukan tindakan yang merenggut nyawa orang lain, maka seharusnya
dibuka kemungkinan untuk memberikan hukuman setimpal kepada pelaku. Ringkasnya,
jika hak hidup adalah asasi dan tak boleh dicabut oleh siapa pun, lalu apa
hukuman yang setimpal untuk orang yang sengaja merenggut hak hidup orang lain?
Sekali
lagi, hukuman mati harus ditempatkan sebagai instrumen untuk menjaga hak asasi
manusia dan kemanusiaan. Maka dari itu, penerapan hukuman mati, harus dilakukan
secara cermat dan hati-hati, melalui proses peradilan yang seadil-adilnya. Jangan sampailah sanksi hukuman mati diterapkan secara serampangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar