Senin, 08 Agustus 2016

Dilema Hukuman Mati

Sekitar pukul 00.45 WIB, Jumat, 29 Juli 2016, dilaksanakan eksekusi mati tahap III di Lapangan Tembak Panaluan, Nusakambangan. Empat orang gembong narkoba pun, meregang nyawa di depan regu tembak. Sepuluh terpidana mati lain yang batal dieksekusi pada saat itu, kini masih menunggu nasibnya.
 
Tak pelak, eksekusi mati ditanggapi beragam sejumlah pihak. Ada yang protes atas dasar perlindungan hak asasi manusia. Mereka menilai hidup-matinya seseorang, merupakan hak mutlak Tuhan. Negara sama kali tak berhak. Di sisi lain, suara dukungan muncul atas alasan bahwa para pelaku telah melanggar hukum dengan melakukan kejahatan luar biasa.

Di luar sikap pro-kontra, suka atau tidak, hukuman mati masih dicantumkan sebagai pidana pokok menurut Pasal 10 KUHP, yang diancamkan untuk beberapa kejahatan, di antaranya makar, dan pembunuhan berencana. Di luar KUHP, terdapat juga sejumlah perbuatan yang diancaman dengan pidana mati, semisal terorisme, kejahatan terhadap hak asasi manusia, dan penyalahgunaan narkotika.

Terkait hal di atas, timbul pertanyaan, apakah hukuman mati tidak melanggar hak asasi manusiaa? Masihkah penerapan hukuman mati dibutuhkan di negara Indonesia?  

Melanggar Hak Asasi Manusia?

Konstitusi dan hukum Indonesia, jelas menjunjung tinggi hak asasi seseorang, terutama hak untuk hidup. Pasal 28I ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 secara tegas menyatakan bahwa hak hidup, termasuk hak asasi yang tak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. 

Walau demikian, penikmatan hak asasi, harus dibarengi dengan pemenuhan kewajiban untuk senantiasa mengormati hak-hak orang lain dan ketertiban umum. Untuk itulah, Pasal 28J UUD NRI Tahun 1945 membuka kemungkinan untuk mencabut hak asasi seseorang, termasuk hak untuk hidup.  

Secara terperinci, Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 mendelegasikan pembatasan hak asasi manusia untuk diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Pengaturan lebih lanjut itu, tidak lain, ditujukan untuk menjamin pengakuan pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain.

Terkait perdebatan apakah hak hidup pada Pasal 28I ayat (1) dapat didegradasi oleh Pasal 28J, kiranya bisa dicermati putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Perkara Nomor 2/PUU-V/2007 dan Perkara Nomor 3/PUU-V/2007 perihal Pengujian UU Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Para pemohon menilai hukuman mati dalam UU tersebut, inkonstitusional. 

Dalam putusannya yang dibacakan pada 30 Oktober 2007, MK menyatakan bahwa ancaman pidana mati dalam UU No. 22 Tahun 1997 tidak bertentangan dengan Pasal 28A dan Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Keberadaan Pasal 28J, menurut MK, memang ditujukan untuk memberikan batasan terhadap hak asasi dengan berlandaskan pada aturan hukum dan putusan pengadilan.

Konstruksi serupa di atas, juga mengilhami UU No. 39 tentang Hak Asasi Manusia. Secara tegas, UU tersebut menggariskan bahwa bersamaan dengan hak asasi manusia, juga ada kewajiban dasar manusia untuk menghormati hak orang lain dan ketertiban sosial. Larangan hukuman mati, hanya ditujukan untuk anak, yang berusia di bawah 18 tahun. 

Akhirnya, bisa disimpulkan bahwa menghukum seseorang karena melanggar kewajiban dasarnya menurut hukum, dibenar. Termasuk juga bahwa hukuman mati dapat dijatuhkan berdasarkan hukum, melalui putusan pengadilan.

Alasan Menerima

Menerima atau tidak hukuman mati sebagai salah satu bentuk pemidanaan, selayaknya didasarkan pada kepentingan negara untuk melindungi kepentingan umum. Untuk itu, jika telah nyata bahwa kejahatan luar biasa sedemikian merebak dan butuh pendekatan hukum yang luar biasa pula, maka pengadaan hukuman mati, jelas diperlukan. Politik hukum Indonesia, saat ini, masih menempatkan hukuman mati sebagai kebutuhan.

Pengadaan dan penegakan pidana mati dalam hukum positif terhadap kejahatan tertentu, akan menimbulkan efek psikologis dalam lingkup sosial. Orang-orang akan berpikir beribu kali untuk melakukan tindakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati. Hal itu jelas efektif dalam mencegah tindak pidana serupa, terulang kembali. Sebaliknya, jika hukuman mati ditiadakan, niat dan kesempatan berbuat jahat, akan terasa enteng diwujudkan.

Lalu, muncul pertanyaan, bukankah sebaiknya seorang penjahat untuk diberi kesempatan hidup dan memperbaiki dirinya? Pantaskah negara memutuskan hidup-matinya seseorang? 

Pada dasarnya, sanksi yang pantas dijatuhkan kepada seseorang, harus sesuai dengan perbuatan dan tanggung jawabnya. Jika kualitas kejahatan seseorang, saking luar biasanya, dinilai setimpal kalau diganjar pidana mati berdasarkan aturan hukum, maka sanksi yang dijatuhkan melalui putusan pengadilan, harus ditegakkan. Itu demi menjaga kewibawaan hukum.

Mempersalahkan negara karena mencabut nyawa seseorang yang divonis mati, juga tidaklah berdasar. Alasannya karena pelaku kejahatan, dengan sadar, telah melanggar ketentuan hukum yang memuat sanksi pidana mati. Ini berarti bahwa secara pribadi, si pelaku pun telah bersedia menerima konsekuensi dari tindakannya. 

Asas legalitas dan fiksi hukum menjadi sangat penting digunakan sebagai acuan menjawab permasalah di atas. Apabila menurut hukum sebuah perbuatan dianggap pidana dan diancaman hukuman mati, kemudian seseorang bertindak dan memenuhi unsur pidananya, maka sanksi harus dijatuhkan kepadanya. Itu karena ada keyakinan bahwa ia tahu hukum dan sadar akan dampak atas perbuatannya.

Yang lebih penting lagi, bahwa hukuman mati, pada dasarnya, ditujukan untuk melindungi hidup dan kehidupan orang lain. Kalau seseorang telah sadar dan sengaja melakukan tindakan yang merenggut nyawa orang lain, maka seharusnya dibuka kemungkinan untuk memberikan hukuman setimpal kepada pelaku. Ringkasnya, jika hak hidup adalah asasi dan tak boleh dicabut oleh siapa pun, lalu apa hukuman yang setimpal untuk orang yang sengaja merenggut hak hidup orang lain?

Sekali lagi, hukuman mati harus ditempatkan sebagai instrumen untuk menjaga hak asasi manusia dan kemanusiaan. Maka dari itu, penerapan hukuman mati, harus dilakukan secara cermat dan hati-hati, melalui proses peradilan yang seadil-adilnya. Jangan sampailah sanksi hukuman mati diterapkan secara serampangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar