Keputusan
Ahok untuk maju di pilkada DKI Jakarta tahun depan melalui jalur partai politik,
mengejutkan sejumlah pihak. Pasalnya, sejak dulu, ia selalu
menggembar-gemborkan diri akan maju melalui jalur independen. Komunitas Teman
Ahok yang telah berhasil mengumpulkan lebih dari sejuta KTP sebagai syarat
dukungan pun, terpaksa legowo menerima.
Tak
pelak, alih jalur Ahok mengecewakan pihak yang selama ini menginginkan
penyehatan partai politik. Kelahiran calon independen yang diharapkan jadi momentum
dan "cambukan" bagi partai politik untuk berbenah diri, ternyata tak terwujud. Akhirnya,
upaya untuk melepaskan cengkraman dan penjarahan oleh partai politik terhadap
perangkat negara pun, kandas.
Kehidupan
perpolitikan kini, memang banyak menunjukkan laku tirani yang dimotori oleh
partai politik. Banyak cabang kekuasaan negara yang dicaplok dan dijadikan aset
partai. Untuk mengamankan lahan kekuasaannya itu, partai politik pun melakukan
usaha untuk menjegal calon indepanden. Caranya dengan menerbitkan syarat-syarat
yang memberatkan bagi calon independen dengan memanfaatkan kader-kader partai
politik di cabang kekuasaan.
Upaya
penjegalan calon independen yang terbaca selama ini, di antaranya dengan menaikkan
jumlah syarat dukungan, yaitu berupa KTP. Termasuk juga dipersyaratannya
formulir dukungan harus disertai materai, serta verifikasi faktual dengan
teknik sensus. Kesemua itu jelas memberatkan dan dapat disalahgunakan untuk mempersulit atau
merintangi majunya calon independen dalam pilkada.
Berangkat
dari problematika di atas, maka pertanyaan besar yang muncul adalah, bagaimana
peran partai politik dalam kehidupan berdemokrasi?
Menyucikan Hakikat
Hakikat
keberadaan partai politik, tidak lain ditujukan untuk mengakomodasi kepentingan
masyarakat. Untuk itu, partai politik harus dibentuk di atas landasan ideologi
yang jelas, sesuai dengan konstitusi dan aturan hukum. Ideologi itu kemudian
harus dijabarkan dalam visi dan misi. Lalu, diuraikan lagi dalam aturan-aturan
internal partai yang dirumuskan secara demokratis.
Kejelasan
identitas partai politik penting sebagai landasan utama dalam menjalankan roda
organisasi. Relasi dan pendekatan terhadap persoalan internal maupun eksternal pun,
harus didasarkan pada identitas partai. Di samping itu, identitas juga berfungsi
sebagai pedoman bagi setiap orang memilih labuhan semangat dan cita-cita politiknya,
baik sebagai kader maupun partisipan.
Kehadiran
partai politik untuk mewadahi dan menjembatani kepentingan yang berbeda-beda, mau tak mau, akan memunculkan beragam friksi dan fraksi politik. Tidak hanya pada tataran kader antarpartai,
tetapi juga mencakup masyarakat umum. “Pengotak-ngotakan” itu, memang keniscayaan
dalam kehidupan perpartaian, sebab kepentingan masyarakat memang berbeda-beda.
Maka, tugas partai politiklah untuk menjamin bahwa semua kepentingan yang
berbeda-beda, terakomodasi secara adil.
Partai
politik harus dididukkan sebagai wadah yang mampu mengembangkan kehidupan
demokrasi bangsa. Partai politik harus mampu mengartikulasikan dan menjembatani
aspirasi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan pemerintah. Ringkasnya,
partai politik harus menjadi corong suara rakyat yang kukuh malaksanakan
fungsinya berdasarkan konstitusi dan aturan hukum.
Secara
tersurat, Pasal 11 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik telah menggariskan
fungsi partai politik, yaitu sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan
masyarakat luas agar sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara; penciptaan
iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa; mengakomodasi dan
menindaklanjuti aspirasi politik masyarakat; meningkatkan partisipasi politik
warga negara Indonesia; rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan
politik.
Jika
diselisik, implementasi fungsi partai politik, ternyata jauh panggang dari api.
Pendidikan politik nyatanya tak dijalankan. Fungsi ini, hanya diselengarakan menjelang
“pesta demokrasi”. Tujuannya utama pun bukan untuk mencerdaskan bangsa secara
politik, tetapi sekadar untuk mendulang suara. Tidak mengherankan kalau
akhirnya partisipasi politik masyarakat pun, hanya sampai para tahap pemilihan,
tanpa berlanjut pada upaya mengawal kebijakan pemerintahan.
Masalah
juga terjadi pada perwujudan fungsi partai sebagai wadah dan corong aspirasi
masyarakat. Kini, partai politik seakan dikendalikan golongan elit yang tuli
terhadap suara rakyat. Keputusan partai politik, hanya konklusi suara-suara dan
kepentingan pengurusnya. Bahkan secara internal, pengambilan keputusan itu pun,
sering kali tak demokratis. Tak heran jika akhirnya keputusan partai, sering
kali bertentangan dengan kehendak masyarakat.
Dalam
pelaksanaan fungsi rekrutmen calon pejabat pun, masih banyak masalah di
sana-sini. Pemilihan figur yang diusung partai politik, sering kali tidak mempertimbangkan
suara rakyat ataupun kader secara demokratis, tetapi ditujukan demi menambah “lahan
kekuasaan”. Tak heran jika calon pejabat usulan partai politik, sering kali
bukan sosok yang memiliki kapasitas dan intergritas, tapi tetap diusulkan hanya
karena memiliki popularitas dan kemampuan finansial.
Lumpuh Melawan
Kehidupan
partai politik yang telah melupakan hakikat dan mengabaikan fungsinya,
menjadi pemicu lahirnya gerakan masyarakat sipil. Mereka gencar menyuarakan kekecewaan
serta melakukan aksi nyata untuk melawan tirani partai. Salah satunya adalah gerakan
pengusung calon independen dalam pemilihan kepala daerah.
Tapi
nahas, gerakan masyarakat, dengan mudah saja dilumpuhkan oleh partai politik dengan
memanfaatkan kekuatannya pada perangkat-perangkat negara. Kekuasaan negara yang
hampir keseluruhan dependen dengan partai politik, digerakkan untuk menjegal calon
independen yang akan mengikis “kue kekuasaan” partai politik.
Keputusan
tertinggi negara yang berada di genggaman kekuasaan eksekutif dan legislatif,
didorong selalu untuk menjaga tirani partai politik. Kuatnya cengkeraman partai
politik pada cabang kekuasaan itu, berimbas pada pengaturan perangkat negara
dan sistem pemerintahan secara keseluruhan, termasuk dalam pemilihan kepala
daerah. Aturan pun dengan mudah dimodifikasi untuk membuat calon independen
menjadi tak berdaya.
Tirani
partai politik, sulit diruntuhkan kala melihat kenyataan bahwa di internal
partai politik pun, prinsip demokrasi diabaikan. Keputusan partai, seringkali
hanya merupakan kehendak oknum partai politik yang dianggap sesepuh. Partai kehilangan
jati dirinya sebagai ruang demokratis dalam mengartikulasikan dan
mengaktualisasikan kepentingan masyarakat. Partai poltik tak lain dari alat
para pecandu kekuasaan untuk membangun oligarkinya.
Dikuasainya
negara oleh kacung-kacung partai politik, membuat pengaturan negara, tidak lagi
ditujukan untuk kepentingan rakyat, tapi untuk kepentingan partai semata. Kala partai
politik disibukkan dengan kehidupan intrik koalisi ataupun oposisi demi
menjatah-jatah kekuasaan, masyarakat malah tak mendapatkan apa-apa. Ini tentu
menjadi masalah besar, bukti bahwa partai politik butuh disadarkan dari amnesia
yang membuatnya lupa diri.
Demokratisasi Partai
Karut-marut
partai politik, tak lebih dari dampak matinya demokrasi di internal partai
politik sendiri. Padahal, partai adalah pilar demokrasi yang seyogianya menjunjung
tinggi prinsip demokrasi, sehingga kepentingan kader dan kepentingan masyarakat
secara umum, bisa terakomodir. Tanpa demokrasi, berarti partai politik tak
lebih dari alat kekuasaan bagi segelintir orang, bahkan seseorang.
Membangun
kehidupan yang demokratis di dalam tubuh partai politik, sangatlah penting.
Apalagi, partai politik adalah organisasi yang secara khusus dibentuk untuk mewadahi
dan menjembatani aspirasi masyarakat dalam setiap perumusan kebijakan
pemerintahan. Maka, partai politik tak boleh dijadikan ruang privat seseorang
atau sekelompok orang saja, melainkan ruang aspirasi masyarakat secara umum.
Upaya
demokratisasi partai politik, harus dilakukan secara menyeluruh, yaitu mencakup
perbaikan sistem demokrasi pada tahap artikulasi kepentingan masyarakat,
pengembilan keputusan internal, sampai pada pengambilan keputusan pemerintahan.
Partai politik harus membuka diri terhadap aspirasi masyarakat. Pun, memberikan
kebebasan kepada setiap pengurusnya untuk berpendapat, serta memilih dan dipilih.
Tak
kalah pentingnya adalah membentuk sistem untuk melindungi hak demokrasi setiap
kader ataupun usungan partai politik yang menjabat sebagai pejabat publik. Partai
politik tidak boleh menyandera pejabat publik, baik di badan eksekutif, maupun
legislatif. Sebagai pejabat publik, maka tidak bisa tidak, seseorang harus
mengutamakan kepentingan masyarakat ketimbang kepentingan partainya.
Demokratisasi
partai politik, harus dilakukan segera melalui pembenahan hukum kepartaian.
Hukum harus menjamin tegaknya prinsip demokrasi di tubuh partai politik. Ke
depan, diharapkan partai politik benar-benar menjadi wadah yang demokratis.
Jika tidak, maka janji-janji politik akan tetap jadi bualan semata untuk mencuri
kekuasaan, serta tirani partai akan tetap berdiri kokoh untuk menjarah bangsa
dan negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar