Jumat, 05 Agustus 2016

Tirani Partai Politik

Keputusan Ahok untuk maju di pilkada DKI Jakarta tahun depan melalui jalur partai politik, mengejutkan sejumlah pihak. Pasalnya, sejak dulu, ia selalu menggembar-gemborkan diri akan maju melalui jalur independen. Komunitas Teman Ahok yang telah berhasil mengumpulkan lebih dari sejuta KTP sebagai syarat dukungan pun, terpaksa legowo menerima.
 
Tak pelak, alih jalur Ahok mengecewakan pihak yang selama ini menginginkan penyehatan partai politik. Kelahiran calon independen yang diharapkan jadi momentum dan "cambukan" bagi partai politik untuk berbenah diri, ternyata tak terwujud. Akhirnya, upaya untuk melepaskan cengkraman dan penjarahan oleh partai politik terhadap perangkat negara pun, kandas.

Kehidupan perpolitikan kini, memang banyak menunjukkan laku tirani yang dimotori oleh partai politik. Banyak cabang kekuasaan negara yang dicaplok dan dijadikan aset partai. Untuk mengamankan lahan kekuasaannya itu, partai politik pun melakukan usaha untuk menjegal calon indepanden. Caranya dengan menerbitkan syarat-syarat yang memberatkan bagi calon independen dengan memanfaatkan kader-kader partai politik di cabang kekuasaan.

Upaya penjegalan calon independen yang terbaca selama ini, di antaranya dengan menaikkan jumlah syarat dukungan, yaitu berupa KTP. Termasuk juga dipersyaratannya formulir dukungan harus disertai materai, serta verifikasi faktual dengan teknik sensus. Kesemua itu jelas memberatkan dan dapat disalahgunakan untuk mempersulit atau merintangi majunya calon independen dalam pilkada.

Berangkat dari problematika di atas, maka pertanyaan besar yang muncul adalah, bagaimana peran partai politik dalam kehidupan berdemokrasi?

Menyucikan Hakikat
 
Hakikat keberadaan partai politik, tidak lain ditujukan untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat. Untuk itu, partai politik harus dibentuk di atas landasan ideologi yang jelas, sesuai dengan konstitusi dan aturan hukum. Ideologi itu kemudian harus dijabarkan dalam visi dan misi. Lalu, diuraikan lagi dalam aturan-aturan internal partai yang dirumuskan secara demokratis. 

Kejelasan identitas partai politik penting sebagai landasan utama dalam menjalankan roda organisasi. Relasi dan pendekatan terhadap persoalan internal maupun eksternal pun, harus didasarkan pada identitas partai. Di samping itu, identitas juga berfungsi sebagai pedoman bagi setiap orang memilih labuhan semangat dan cita-cita politiknya, baik sebagai kader maupun partisipan. 

Kehadiran partai politik untuk mewadahi dan menjembatani kepentingan yang berbeda-beda, mau tak mau, akan memunculkan beragam friksi dan fraksi politik. Tidak hanya pada tataran kader antarpartai, tetapi juga mencakup masyarakat umum. “Pengotak-ngotakan” itu, memang keniscayaan dalam kehidupan perpartaian, sebab kepentingan masyarakat memang berbeda-beda. Maka, tugas partai politiklah untuk menjamin bahwa semua kepentingan yang berbeda-beda, terakomodasi secara adil.

Partai politik harus dididukkan sebagai wadah yang mampu mengembangkan kehidupan demokrasi bangsa. Partai politik harus mampu mengartikulasikan dan menjembatani aspirasi masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan pemerintah. Ringkasnya, partai politik harus menjadi corong suara rakyat yang kukuh malaksanakan fungsinya berdasarkan konstitusi dan aturan hukum.

Secara tersurat, Pasal 11 ayat (1) UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik telah menggariskan fungsi partai politik, yaitu sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara; penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa; mengakomodasi dan menindaklanjuti aspirasi politik masyarakat; meningkatkan partisipasi politik warga negara Indonesia; rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik.

Jika diselisik, implementasi fungsi partai politik, ternyata jauh panggang dari api. Pendidikan politik nyatanya tak dijalankan. Fungsi ini, hanya diselengarakan menjelang “pesta demokrasi”. Tujuannya utama pun bukan untuk mencerdaskan bangsa secara politik, tetapi sekadar untuk mendulang suara. Tidak mengherankan kalau akhirnya partisipasi politik masyarakat pun, hanya sampai para tahap pemilihan, tanpa berlanjut pada upaya mengawal kebijakan pemerintahan.

Masalah juga terjadi pada perwujudan fungsi partai sebagai wadah dan corong aspirasi masyarakat. Kini, partai politik seakan dikendalikan golongan elit yang tuli terhadap suara rakyat. Keputusan partai politik, hanya konklusi suara-suara dan kepentingan pengurusnya. Bahkan secara internal, pengambilan keputusan itu pun, sering kali tak demokratis. Tak heran jika akhirnya keputusan partai, sering kali bertentangan dengan kehendak masyarakat.

Dalam pelaksanaan fungsi rekrutmen calon pejabat pun, masih banyak masalah di sana-sini. Pemilihan figur yang diusung partai politik, sering kali tidak mempertimbangkan suara rakyat ataupun kader secara demokratis, tetapi ditujukan demi menambah “lahan kekuasaan”. Tak heran jika calon pejabat usulan partai politik, sering kali bukan sosok yang memiliki kapasitas dan intergritas, tapi tetap diusulkan hanya karena memiliki popularitas dan kemampuan finansial. 

Lumpuh Melawan

Kehidupan partai politik yang telah melupakan hakikat dan mengabaikan fungsinya, menjadi pemicu lahirnya gerakan masyarakat sipil. Mereka gencar menyuarakan kekecewaan serta melakukan aksi nyata untuk melawan tirani partai. Salah satunya adalah gerakan pengusung calon independen dalam pemilihan kepala daerah. 

Tapi nahas, gerakan masyarakat, dengan mudah saja dilumpuhkan oleh partai politik dengan memanfaatkan kekuatannya pada perangkat-perangkat negara. Kekuasaan negara yang hampir keseluruhan dependen dengan partai politik, digerakkan untuk menjegal calon independen yang akan mengikis “kue kekuasaan” partai politik. 

Keputusan tertinggi negara yang berada di genggaman kekuasaan eksekutif dan legislatif, didorong selalu untuk menjaga tirani partai politik. Kuatnya cengkeraman partai politik pada cabang kekuasaan itu, berimbas pada pengaturan perangkat negara dan sistem pemerintahan secara keseluruhan, termasuk dalam pemilihan kepala daerah. Aturan pun dengan mudah dimodifikasi untuk membuat calon independen menjadi tak berdaya.

Tirani partai politik, sulit diruntuhkan kala melihat kenyataan bahwa di internal partai politik pun, prinsip demokrasi diabaikan. Keputusan partai, seringkali hanya merupakan kehendak oknum partai politik yang dianggap sesepuh. Partai kehilangan jati dirinya sebagai ruang demokratis dalam mengartikulasikan dan mengaktualisasikan kepentingan masyarakat. Partai poltik tak lain dari alat para pecandu kekuasaan untuk membangun oligarkinya. 

Dikuasainya negara oleh kacung-kacung partai politik, membuat pengaturan negara, tidak lagi ditujukan untuk kepentingan rakyat, tapi untuk kepentingan partai semata. Kala partai politik disibukkan dengan kehidupan intrik koalisi ataupun oposisi demi menjatah-jatah kekuasaan, masyarakat malah tak mendapatkan apa-apa. Ini tentu menjadi masalah besar, bukti bahwa partai politik butuh disadarkan dari amnesia yang membuatnya lupa diri.

Demokratisasi Partai

Karut-marut partai politik, tak lebih dari dampak matinya demokrasi di internal partai politik sendiri. Padahal, partai adalah pilar demokrasi yang seyogianya menjunjung tinggi prinsip demokrasi, sehingga kepentingan kader dan kepentingan masyarakat secara umum, bisa terakomodir. Tanpa demokrasi, berarti partai politik tak lebih dari alat kekuasaan bagi segelintir orang, bahkan seseorang.

Membangun kehidupan yang demokratis di dalam tubuh partai politik, sangatlah penting. Apalagi, partai politik adalah organisasi yang secara khusus dibentuk untuk mewadahi dan menjembatani aspirasi masyarakat dalam setiap perumusan kebijakan pemerintahan. Maka, partai politik tak boleh dijadikan ruang privat seseorang atau sekelompok orang saja, melainkan ruang aspirasi masyarakat secara umum. 

Upaya demokratisasi partai politik, harus dilakukan secara menyeluruh, yaitu mencakup perbaikan sistem demokrasi pada tahap artikulasi kepentingan masyarakat, pengembilan keputusan internal, sampai pada pengambilan keputusan pemerintahan. Partai politik harus membuka diri terhadap aspirasi masyarakat. Pun, memberikan kebebasan kepada setiap pengurusnya untuk berpendapat, serta memilih dan dipilih.

Tak kalah pentingnya adalah membentuk sistem untuk melindungi hak demokrasi setiap kader ataupun usungan partai politik yang menjabat sebagai pejabat publik. Partai politik tidak boleh menyandera pejabat publik, baik di badan eksekutif, maupun legislatif. Sebagai pejabat publik, maka tidak bisa tidak, seseorang harus mengutamakan kepentingan masyarakat ketimbang kepentingan partainya. 

Demokratisasi partai politik, harus dilakukan segera melalui pembenahan hukum kepartaian. Hukum harus menjamin tegaknya prinsip demokrasi di tubuh partai politik. Ke depan, diharapkan partai politik benar-benar menjadi wadah yang demokratis. Jika tidak, maka janji-janji politik akan tetap jadi bualan semata untuk mencuri kekuasaan, serta tirani partai akan tetap berdiri kokoh untuk menjarah bangsa dan negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar