Masih
terngiang-ngiang di kepalaku, ketika dahulu, ayahku sering menakut-nakutiku
tentang keangkeran sebuah pohon beringin di balakang rumah. Katanya, pohon tua
itu punya penunggu. Jadinya, aku merasa takut bermain di sekitarnya, apalagi
menjelang malam.
Penggambaran ayahku tentang penunggu pohon waktu itu, sangat menyeramkan. Membuatku bergidik
tiap kali membayangkannya. Apalagi, ia sehebat dalang kalau bercerita. Maka,
terbentuklah imajiku tentang makhluk gaib itu: rambutnya gondrong,
matanya kemerah-merahan, berjubah putih, dan suka menculik anak-anak.
Kala
itu, aku pun terus dibayang-bayangi hantu imajinasiku sendiri, penunggu pohon yang menakutkan.
Seakan terus mengikutiku ke mana pun aku memandang. Apalagi aku tinggal di
perkampungan. Banyak pohon di mana-mana. Kata ayahku, setiap pohon besar
memiliki penunggu. Kalau dirusak atau diganggu, akan memancing amarah
penunggunya.
Sepanjang
kepolosanku sebagai anak-anak, aku pun jadi sosok yang takut kepada pohon. Aku
betul-betul percaya pada apa yang digambarkan ayahku. Tapi kini, setelah
dewasa, atas daya rasionalitas, aku sama sekali tak memercayainya lagi.
Buktinya:
pohon-pohon yang dulunya lebat dan menjulang tinggi di kaki bukit, telah
menghilang sedikit demi sedikit. Tapi sama sekali, tak pernah ada kabar seorang
anak diculik penunggu pohon.
Jelas,
semua tentang penunggu pohon, hanyalah akal-akalan ayahku saja. Mungkin agar
aku tak main terlalu jauh ke hutan, dan segera pulang ke rumah sebelum gelap.
“Ayah,
apa benar, pohon besar itu ada penunggunya,” tanya Diza, anakku yang baru
berumur tujuh tahun.
“Siapa
yang bilang Nak? Pohon itu tak ada penunggunya. Pohon, ya pohon,” jelasku. Aku tak
ingin mewariskan mitos tentang penunggu pohon.
“Tapi,
guru biologiku di sekolah bilang ada. Katanya banyak makhluk di sebatang pohon,”
keluhnya. “Katanya, karena itulah, pohon-pohon harus dihargai dan dijaga. Tak
boleh ditebang.”
“Jangan
percaya yang tidak-tidak Nak. Penunggu pohon itu tak ada. Kalau pohon ditebang,
ya tidak ada ada masalah. Pohon kan memang untuk kebutuhan manusia. Bagaimana
kita bisa buat rumah kalau tak pakai kayu. Masa tanam pohon untuk jadi rumah
para dedemit,” tuturku, tegas.
Penjelasanku
mulai masuk di akalnya. “Jadi, tak mengapa kalau pohon ditebang? Hantu-hantu
tak akan marah?”
“Iya
Nak. Kau percaya saja sama Ayah,” pungkasku.
Aku
harap, penjelasan akan menghapus sosok penunggu pohon yang menyeramkan di
benaknya. Sudah cukup aku yang dibodohi dengan mitos-mitos tak masuk akal. Aku
tak ingin itu terjadi pada anakku.
Malam
pun tiba. Desaku kembali diguyur hujan deras. Sejak tengah hari, hujan tak
pernah berhenti. Menyerang bumi bersama embusan angin yang kencang. Sungai pun
banjir. Berderu. Tapi itu sudah sering terjadi.
Pagi-pagi,
aku pun terbangun. Aku terkejut melihat jejak banjir semalam. Ternyata,
meluap sangat tinggi. Menyapu bersih tanaman kebun warga di sepanjang pesisir sungai,
termasuk kebun jagungku.
Alam
mengamuk.
“Ayah,
bukankah ini gara-gara penunggu pohon?” tanya Diza yang berdiri di sampingku
sembari memandangi air sungai yang masih keruh. “Guruku bilang, kalau penjaga
pohon murka, katanya bisa jadi bencana alam, seperti banjir ini.”
Aku
kaget. Ternyata penunggu pohon masih terbayang di benaknya. “Iya Nak. Kalau
pohon ditebang, ya bisa terjadi bencana alam. Tapi itu bukan murka penunggu
pohon. Kita tak boleh takut sama hantu, apalagi menyembahnya,” balasku,
berupaya menjaga wibawa sebagai sosok ayah. “Itu peringatan dari Tuhan Nak.”
Ia
takzim. Mengangguk.
Kini,
aku sadar, mitos tentang penunggu pohon, bukanlah semata-mata untuk menakut-nakuti
anak-anak. Lebih dari itu. Demi alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar