Sukri
kelabakan. Di hari kemerdekaan ini, ia tak punya uang lebih. Upah hariannya
sebagai tukang batu, hanya cukup untuk kebutuhan primer. Apalagi, tak setiap
hari ada pekerjaan untuknya. Ia pun jadi bingung kala didatangi kepala lingkungan
kemarin. Ia diminta untuk segera mengibarkan bendera di depan rumahnya. Itu
adalah keharusan bagi setiap warga desa. Sebagai wujud nasionalisme, katanya.
Sebenarnya,
Sukri sangat berhasrat mengibarkan bendera. Meski hanya tamatan SD, penghayatannya
atas jasa para pahlawan, sangat mendalam. Tapi baginya, urusan perut lebih
penting ketimbang perayaan seremonial untuk beberapa hari. Siapa pun ingin hidup.
Kalaupun ada sisa upah yang tak dibelanjakan, ia lebih memilih menabungnya
untuk biaya sekolah anaknya, kelak.
Senyap-senyap,
sampai juga kabar di telinga Sukri. Warga di desa sebelah, katanya kebagian
bendera gratis. Padahal, bendera yang disediakan pemerintah desanya, harus dibeli.
Ia pun berupaya mencari tahu. Ia yakin, negara salah jika membebani masyarakat
kecil seperti dirinya. Siapa pun berhak bergembira atas kemerdekaan, termasuk
mendapatkan bendera secara cuma-cuma.
“Apa
benderanya tidak bisa gratis saja Pak?” tanya Sukri pada Dirman, kepala desa.
Ia memberanikan diri bertanya demi keadilan.
“Tidak
bisalah. Desa kita tak dapat jatah yang gratisan. Ketentuannya memang begitu. Kalau
mau, ya beli. Harganya Rp. 60.000. Yang pasti, bukan tanggung jawabku untuk menebus
harga bendera para warga,” balas Dirman. Raut wajahnya tampak tak bersahabat.
Setelah
yakin tak ada jalan keluar, Sukri pun pulang dengan tangan kosong. Harapnnya
untuk memiliki bendera, sepertinya tak akan terwujud. Tapi di hatinya, masih
banyak tanda tanya, tentang bagaimana bisa orang kecil sepertinya, tidak
didahulukan dalam pembagian bendera gratis. Sedangkan beberapa warga kaya di
desa seberang, malah mendapatkan bendera gratis.
Sukri
kini hanya termenung menatap tiang bambu yang ia tegakkan di depan rumahnya dua
hari lalu. Masih belum ada bendera yang berkibar di puncaknya. Mungkin tidak
akan pernah.
“Belum
ada bendera Pak Sukri?” tanya Dadang, tetangganya.
“Ya,
belum Pak. Masih pikir-pikir,” balas Sukri, lesu.
“Itu
harus diusahakan Pak. Aku dengar kabar, rombongan camat akan datang ke desa
kita besok. Bersama bupati lagi. Katanya untuk meresmikan lomba tujuh belasan
di lapangan. Kata Pak Desa sih, bahaya kalau pak bupati lihat tak ada bendera
di depan rumah warga. Bisa-bisa bantuan raskin untuk desa kita, ditarik Pak,”
jelas Dadang.
“Tapi,
saya tak punya uang lebih Pak,” keluh Sukri, sembari menggaruk-garuk rambutnya
yang aur-auran.
“Kan
benderanya gratis Pak,” tutur Dadang.
Sukri
tersentak. “Gratis? Bukannya harus beli? Pak desa sendiri yang bilang padaku.”
“Ya,
aku sih dapat gratis Pak,” kata Dadang, “Mungkin sih, gara-gara Bapak salah
coblos pada saat pemilihan kepala desa.”
Sukri
tersentak mendengar penuturan Dadang. Ia yakin sudah, memang tak ada harapan
baginya mendapatkan bendera gratis.
Satu
malam pun dilalui Sukri untuk berpikir keras mencari jalan keluar. Batinnya
masih tak menerima jika harkat dan martabatnya, diinjak-injak kaki penguasa
yang tak manusiawi. Sungguh.
Akhirnya,
ia pun menguatkan tekadnya untuk mengambil kembali haknya yang telah terampas.
Dan, semua berlangsung secara senyap, dalam gelap.
Tiba-tiba,
di pagi hari, bendera merah putih berkibar di depan rumah Sukri. Dadang yang
lagi-lagi melintas, jadi penasaran. Bagaimana bisa Sukri yang hidupnya melarat,
tiba-tiba memiliki bendera yang tampak baru?
“Dapat
dari mana benderanya Pak?” tanya Dadang.
“Dapat
dari kepala desa Pak,” balas Sukri sembari tersenyum simpul.
Dadang
kaget, “Kok bisa?”
“Bisalah
Pak, aku sudah jelaskan padanya, kalau tahun ini, suaraku juga untuknya,” jelas
Sukri yang tampak semringah memandangi bendera berkibar gagah di depan
rumahnya.
“Ya,
syukurlah dia bisa percaya,” pungkas Dadang, lalu melangkah pulang.
Tak
berselang lama, tersiar kabar di tengah warga kalau bendera di depan rumah kepala
desa, Dirman, telah raib semalam. Tak ada yang tahu bagaimana ceritanya,
apalagi menduga pelakunya.
Beruntung
bagi Sukri, tak ada warga yang mencurigainya. Bahkan sang kepala desa, juga tak
berani menuduhnya sebagai pelaku, apalagi melaporkannya ke polisi atas dugaaan
mencuri bendera.
Dan,
segera juga, bendera baru berkibar lagi di depan rumah kepala desa yang megah.
Sebuah bendera yang serupa dengan bendera para warga.
Sukri
tahu itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar