Minggu, 04 September 2016

Di Balik Bendera

Sukri kelabakan. Di hari kemerdekaan ini, ia tak punya uang lebih. Upah hariannya sebagai tukang batu, hanya cukup untuk kebutuhan primer. Apalagi, tak setiap hari ada pekerjaan untuknya. Ia pun jadi bingung kala didatangi kepala lingkungan kemarin. Ia diminta untuk segera mengibarkan bendera di depan rumahnya. Itu adalah keharusan bagi setiap warga desa. Sebagai wujud nasionalisme, katanya.
 
Sebenarnya, Sukri sangat berhasrat mengibarkan bendera. Meski hanya tamatan SD, penghayatannya atas jasa para pahlawan, sangat mendalam. Tapi baginya, urusan perut lebih penting ketimbang perayaan seremonial untuk beberapa hari. Siapa pun ingin hidup. Kalaupun ada sisa upah yang tak dibelanjakan, ia lebih memilih menabungnya untuk biaya sekolah anaknya, kelak.

Senyap-senyap, sampai juga kabar di telinga Sukri. Warga di desa sebelah, katanya kebagian bendera gratis. Padahal, bendera yang disediakan pemerintah desanya, harus dibeli. Ia pun berupaya mencari tahu. Ia yakin, negara salah jika membebani masyarakat kecil seperti dirinya. Siapa pun berhak bergembira atas kemerdekaan, termasuk mendapatkan bendera secara cuma-cuma.

“Apa benderanya tidak bisa gratis saja Pak?” tanya Sukri pada Dirman, kepala desa. Ia memberanikan diri bertanya demi keadilan.

“Tidak bisalah. Desa kita tak dapat jatah yang gratisan. Ketentuannya memang begitu. Kalau mau, ya beli. Harganya Rp. 60.000. Yang pasti, bukan tanggung jawabku untuk menebus harga bendera para warga,” balas Dirman. Raut wajahnya tampak tak bersahabat.

Setelah yakin tak ada jalan keluar, Sukri pun pulang dengan tangan kosong. Harapnnya untuk memiliki bendera, sepertinya tak akan terwujud. Tapi di hatinya, masih banyak tanda tanya, tentang bagaimana bisa orang kecil sepertinya, tidak didahulukan dalam pembagian bendera gratis. Sedangkan beberapa warga kaya di desa seberang, malah mendapatkan bendera gratis. 

Sukri kini hanya termenung menatap tiang bambu yang ia tegakkan di depan rumahnya dua hari lalu. Masih belum ada bendera yang berkibar di puncaknya. Mungkin tidak akan pernah.

“Belum ada bendera Pak Sukri?” tanya Dadang, tetangganya.

“Ya, belum Pak. Masih pikir-pikir,” balas Sukri, lesu.

“Itu harus diusahakan Pak. Aku dengar kabar, rombongan camat akan datang ke desa kita besok. Bersama bupati lagi. Katanya untuk meresmikan lomba tujuh belasan di lapangan. Kata Pak Desa sih, bahaya kalau pak bupati lihat tak ada bendera di depan rumah warga. Bisa-bisa bantuan raskin untuk desa kita, ditarik Pak,” jelas Dadang.

“Tapi, saya tak punya uang lebih Pak,” keluh Sukri, sembari menggaruk-garuk rambutnya yang aur-auran.

“Kan benderanya gratis Pak,” tutur Dadang. 

Sukri tersentak. “Gratis? Bukannya harus beli? Pak desa sendiri yang bilang padaku.”

“Ya, aku sih dapat gratis Pak,” kata Dadang, “Mungkin sih, gara-gara Bapak salah coblos pada saat pemilihan kepala desa.”

Sukri tersentak mendengar penuturan Dadang. Ia yakin sudah, memang tak ada harapan baginya mendapatkan bendera gratis.

Satu malam pun dilalui Sukri untuk berpikir keras mencari jalan keluar. Batinnya masih tak menerima jika harkat dan martabatnya, diinjak-injak kaki penguasa yang tak manusiawi. Sungguh. 

Akhirnya, ia pun menguatkan tekadnya untuk mengambil kembali haknya yang telah terampas. Dan, semua berlangsung secara senyap, dalam gelap.

Tiba-tiba, di pagi hari, bendera merah putih berkibar di depan rumah Sukri. Dadang yang lagi-lagi melintas, jadi penasaran. Bagaimana bisa Sukri yang hidupnya melarat, tiba-tiba memiliki bendera yang tampak baru?

“Dapat dari mana benderanya Pak?” tanya Dadang.

“Dapat dari kepala desa Pak,” balas Sukri sembari tersenyum simpul.

Dadang kaget, “Kok bisa?” 

“Bisalah Pak, aku sudah jelaskan padanya, kalau tahun ini, suaraku juga untuknya,” jelas Sukri yang tampak semringah memandangi bendera berkibar gagah di depan rumahnya.

“Ya, syukurlah dia bisa percaya,” pungkas Dadang, lalu melangkah pulang.

Tak berselang lama, tersiar kabar di tengah warga kalau bendera di depan rumah kepala desa, Dirman, telah raib semalam. Tak ada yang tahu bagaimana ceritanya, apalagi menduga pelakunya.

Beruntung bagi Sukri, tak ada warga yang mencurigainya. Bahkan sang kepala desa, juga tak berani menuduhnya sebagai pelaku, apalagi melaporkannya ke polisi atas dugaaan mencuri bendera.

Dan, segera juga, bendera baru berkibar lagi di depan rumah kepala desa yang megah. Sebuah bendera yang serupa dengan bendera para warga. 

Sukri tahu itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar