Kisah
pilu terukir di Kota Makassar. Pada hari Sabtu (6/8/2016) kemarin, aparat
kepolisian dan satuan polisi pamong praja (Satpol PP) yang harusnya menjaga
ketertiban masyarakat, malah terlibat pertikaian. Awalnya, cuma ketersinggungan
oknum kepolisian yang berkunjung ke pantai losari, atas perlakuan oknum satpol
PP yang memang ditugaskan untuk menjaga ketertiban di ikon Kota Daeng tersebut.
Perkara
sepele yang kabarnya telah didamaikan di lokasi kejadian itu, malah berbuntut
pada penyerangan Kantor Walikota Makassar oleh oknum polisi. Dampaknya tidak
hanya kerusakan fisik perkantoran. Seorang oknum polisi, bahkan harus meregang
nyawa. Puluhan anggota dari kedua belah pihak, juga menderita luka-luka.
Pertikaian
antara aparat negara, bukan kali ini saja terjadi. Sudah sering diberitakan
peristiwa perkelahian antaraparat, termasuk antara oknum kepolisian dan TNI. Bahkan,
kerap terjadi pertikaian antara aparat dengan masyarakat yang notabene harus
mereka lindungi. Mirisnya, pemicu masalah itu selalunya hal sepele.
Jika
perlu secuil bukti persitegangan aparat dengan masyarakat dari sekian banyak
kasus yang menyita perhatian, lihatlah: Oknum TNI mengacungkan senjata kepada
pengguna jalan hanya karena keserempet; polisi menganiaya penjaga warnet dan
seorang siswa dengan dalih mendidik si siswa agar tak bolos; Satpol PP
membongkar lapak para pedagang secara tidak manusiawi atas nama perintah atasan
dan aturan.
Gambaran
ringkas di atas, jelas menunjukkan kalau pengendalian diri para aparat, masih
labil. Hanya karena masalah sepele yang sepatutnya diselesaikan secara
bijaksana, amarah mereka bisa tersulut dan berujung pada tindakan “premanis”. Demi
harga diri korps, hukum dan kemanusiaan tak dipedulikan. Main hakim sendiri, cenderung
menjadi pilihan. Ini tentu memalukan.
Sok!
Kewibawaan
aparat, jelas sangat dibutuhkan. Tanpa wibawa, penegak hukum akan dipandang
sebelah mata, sehingga hukum pun disepelekan. Untuk mencapai level berwibawa, tentu
butuh konsistensi para aparat untuk bertindak secara profesional demi menjaga integritasnya.
Integritaslah yang kemudian melahirkan wibawa.
Yang
terjadi selama ini, oknum aparat sering kali bertindak di luar batas, hingga
mendegradasi kewibawaan institusinya. Citra brutal masih melekat pada diri mereka
dalam melaksanakan tugasnya. Tak pelak, masyarakat bukan malah segan kepada
aparat karena wibawanya, tetapi takut karena arogansinya.
Citra
buruk aparat, akhirnya menimbulkan keengganan masyarakat untuk turut proaktif
dalam menyukseskan fungsi mereka. Masyarakat menjadi mudah berprasangka buruk, sehingga
menilai para aparat, tidak akan membela kepentingan mereka. Jadinya, aparat dan
masyarakat, selalu berada dalam kedudukan pro-kontra.
Karena
tak sehati, masyarakat pun menghormati aparat dengan setengah hati. Masyarakat
menganggukkan instruksi mereka kala berhadapan, tapi mencaci-maki mereka kala berbelakang.
Jadinya, masyarakat taat hukum karena takut, bukan atas kesadarannya sendiri.
Kalau dalam terori hukum, ketaatan masyarakat itu, masih bersifat compliance, bukan identification, apalagi internalization.
Sok!
Itulah kira-kira penyakit jiwa para aparat yang masih mendominasi. Gemar menyombongkan
diri dan mengelu-elukan korpsnya, sehingga cenderung bertindak arogan. Merasa
eksklusif dan bisa melakukan apa pun semaunya, termasuk melanggar aturan yang
seharusnya ditegakkannya. Kenyataan ini sejalan dengan kesimpulan bahwa senjata
selalu memancing hasrat untuk bertindak arogan.
Sikap
over acting para aparat, sedikit
banyak, merupakan turunan dari dokrin masa lalu yang menempatkan aparat hanya
sebagai alat untuk menakuti-nakuti dan membungkam masyarakat. Aparat masih
memosisikan diri sebagai penjaga tahta para penguasa, bukannya untuk melindungi
masyarakat, serta menjaga ketertiban dan keamanan sosial.
Jadilah Rendah Hati
Kasus
pertikaian antara oknum polisi dengan oknum satpol PP yang terjadi di Kota
Makassar kali ini, harusnya menjadi momentum untuk merefleksikan kembali
tentang jati diri para aparat. Karakter dan mental aparat, harus dibentuk dan diarahkan untuk newujudkan ketertiban dalam masyarakat.
Upaya
perbaikan, dapat dilakukan pada tahap pendidikan dan pelatihan. Tahapan tersebut
jangan hanya difungsikan untuk melahirkan calon aparat yang unggul secara fisik,
tetapi juga psikis. Untuk itu, proses penggemblengan harus menyasar aspek jasmani
dan rohani. Tujuannya untuk menyeimbangkan kekuatan intelektual, emosional, dan
spiritualnya. Apalagi, yang dibutuhkan bukan hanya aparat yang kuat dan pintar,
tetapi juga peduli.
Lebih
lanjut, solidaritas internal aparat secara institusional, harus diarahkan, agar
tidak menyinggung insitusi lain. Setiap oknum aparat kenegaraan, harus
menyadari pentingnya saling menghormati dan bahu-membahu antarinstitusi untuk
kepentingan masyarakat. Untuk itu, solidaritas aparat, tidak boleh terkurung dalam
institusinya semata, tetapi meluas sampai tingkat kemasyarakatan dan
kebangsaan.
Sudah
saatnya para aparat dari institusi manapun untuk terus berbenah. Sekat antaraparat
yang terbangun dari sikap saling memandang rendah, harus dilenyapkan. Begitu
juga pola pikir yang selalu menempatkan aparat dan masyarakat sebagai pihak
yang berlawanan, harus dihilangkan. Aparat negara dan masyarakat, harus bersatu
padu untuk mengatasi persoalan internal dan eksternal negara.
Bahu-Membahu
Petikaian antaraparat atau aparat dengan
masyarakat, tidak akan terjadi jika setiap pihak berpegangan pada aturan hukum.
Pasal 6 ayat (1) huruf a UU No. 34 Tahun
2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, tegas menyatakan TNI berfungsi sebagai
penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dari luar dan dari dalam
negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.
Pada pihak kepolisian, Pasal 2 UU No. 2
Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, jelas menyatakan bahwa
fungsi kepolisian adalah pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Di sisi lain,
Pasal 255 ayat (1)
UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah jelas menyatakan bahwa Satpol PP dibentuk untuk
menegakkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman,
serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat.
Berdasarkan
pada rumusan aturan hukum di atas, maka jelas bahwa aparat negara senantiasa diadakan
semata-mata untuk melindungi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Fungsi
yang berbeda untuk satu tujuan yang sama. Untuk itu, yang perlu dilakukan
adalah menyinergikan fungsi dari setiap institusi negara, yaitu dengan
mengefektifkan kembali forum komunikasi dan koordinasi antarinstitusi.
Di
tingkat pemerintahan daerah misalnya, berlandaskan pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah, ada Forum Komunikasi Pimpinan di Daerah (Forkopimda). Forum ini melibatkan
kepala daerah pimpinan DPRD, pimpinan kepolisian, pimpinan kejaksaan, dan pimpinan satuan teritorial TNI
di Daerah. Jika saja forum ini difungsikan dengan baik, pertikaian antaraparat,
maupun aparat dengan masyarakat, tentunya dapat dihindari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar