Kamis, 11 Agustus 2016

Melunturkan Arogansi Aparat

Kisah pilu terukir di Kota Makassar. Pada hari Sabtu (6/8/2016) kemarin, aparat kepolisian dan satuan polisi pamong praja (Satpol PP) yang harusnya menjaga ketertiban masyarakat, malah terlibat pertikaian. Awalnya, cuma ketersinggungan oknum kepolisian yang berkunjung ke pantai losari, atas perlakuan oknum satpol PP yang memang ditugaskan untuk menjaga ketertiban di ikon Kota Daeng tersebut.

Perkara sepele yang kabarnya telah didamaikan di lokasi kejadian itu, malah berbuntut pada penyerangan Kantor Walikota Makassar oleh oknum polisi. Dampaknya tidak hanya kerusakan fisik perkantoran. Seorang oknum polisi, bahkan harus meregang nyawa. Puluhan anggota dari kedua belah pihak, juga menderita luka-luka. 

Pertikaian antara aparat negara, bukan kali ini saja terjadi. Sudah sering diberitakan peristiwa perkelahian antaraparat, termasuk antara oknum kepolisian dan TNI. Bahkan, kerap terjadi pertikaian antara aparat dengan masyarakat yang notabene harus mereka lindungi. Mirisnya, pemicu masalah itu selalunya hal sepele. 

Jika perlu secuil bukti persitegangan aparat dengan masyarakat dari sekian banyak kasus yang menyita perhatian, lihatlah: Oknum TNI mengacungkan senjata kepada pengguna jalan hanya karena keserempet; polisi menganiaya penjaga warnet dan seorang siswa dengan dalih mendidik si siswa agar tak bolos; Satpol PP membongkar lapak para pedagang secara tidak manusiawi atas nama perintah atasan dan aturan.

Gambaran ringkas di atas, jelas menunjukkan kalau pengendalian diri para aparat, masih labil. Hanya karena masalah sepele yang sepatutnya diselesaikan secara bijaksana, amarah mereka bisa tersulut dan berujung pada tindakan “premanis”. Demi harga diri korps, hukum dan kemanusiaan tak dipedulikan. Main hakim sendiri, cenderung menjadi pilihan. Ini tentu memalukan.

Sok!

Kewibawaan aparat, jelas sangat dibutuhkan. Tanpa wibawa, penegak hukum akan dipandang sebelah mata, sehingga hukum pun disepelekan. Untuk mencapai level berwibawa, tentu butuh konsistensi para aparat untuk bertindak secara profesional demi menjaga integritasnya. Integritaslah yang kemudian melahirkan wibawa. 

Yang terjadi selama ini, oknum aparat sering kali bertindak di luar batas, hingga mendegradasi kewibawaan institusinya. Citra brutal masih melekat pada diri mereka dalam melaksanakan tugasnya. Tak pelak, masyarakat bukan malah segan kepada aparat karena wibawanya, tetapi takut karena arogansinya.

Citra buruk aparat, akhirnya menimbulkan keengganan masyarakat untuk turut proaktif dalam menyukseskan fungsi mereka. Masyarakat menjadi mudah berprasangka buruk, sehingga menilai para aparat, tidak akan membela kepentingan mereka. Jadinya, aparat dan masyarakat, selalu berada dalam kedudukan pro-kontra.

Karena tak sehati, masyarakat pun menghormati aparat dengan setengah hati. Masyarakat menganggukkan instruksi mereka kala berhadapan, tapi mencaci-maki mereka kala berbelakang. Jadinya, masyarakat taat hukum karena takut, bukan atas kesadarannya sendiri. Kalau dalam terori hukum, ketaatan masyarakat itu, masih bersifat compliance, bukan identification, apalagi internalization.

Sok! Itulah kira-kira penyakit jiwa para aparat yang masih mendominasi. Gemar menyombongkan diri dan mengelu-elukan korpsnya, sehingga cenderung bertindak arogan. Merasa eksklusif dan bisa melakukan apa pun semaunya, termasuk melanggar aturan yang seharusnya ditegakkannya. Kenyataan ini sejalan dengan kesimpulan bahwa senjata selalu memancing hasrat untuk bertindak arogan.

Sikap over acting para aparat, sedikit banyak, merupakan turunan dari dokrin masa lalu yang menempatkan aparat hanya sebagai alat untuk menakuti-nakuti dan membungkam masyarakat. Aparat masih memosisikan diri sebagai penjaga tahta para penguasa, bukannya untuk melindungi masyarakat, serta menjaga ketertiban dan keamanan sosial.

Jadilah Rendah Hati

Kasus pertikaian antara oknum polisi dengan oknum satpol PP yang terjadi di Kota Makassar kali ini, harusnya menjadi momentum untuk merefleksikan kembali tentang jati diri para aparat. Karakter dan mental aparat, harus dibentuk dan diarahkan untuk newujudkan ketertiban dalam masyarakat. 

Upaya perbaikan, dapat dilakukan pada tahap pendidikan dan pelatihan. Tahapan tersebut jangan hanya difungsikan untuk melahirkan calon aparat yang unggul secara fisik, tetapi juga psikis. Untuk itu, proses penggemblengan harus menyasar aspek jasmani dan rohani. Tujuannya untuk menyeimbangkan kekuatan intelektual, emosional, dan spiritualnya. Apalagi, yang dibutuhkan bukan hanya aparat yang kuat dan pintar, tetapi juga peduli.

Lebih lanjut, solidaritas internal aparat secara institusional, harus diarahkan, agar tidak menyinggung insitusi lain. Setiap oknum aparat kenegaraan, harus menyadari pentingnya saling menghormati dan bahu-membahu antarinstitusi untuk kepentingan masyarakat. Untuk itu, solidaritas aparat, tidak boleh terkurung dalam institusinya semata, tetapi meluas sampai tingkat kemasyarakatan dan kebangsaan.

Sudah saatnya para aparat dari institusi manapun untuk terus berbenah. Sekat antaraparat yang terbangun dari sikap saling memandang rendah, harus dilenyapkan. Begitu juga pola pikir yang selalu menempatkan aparat dan masyarakat sebagai pihak yang berlawanan, harus dihilangkan. Aparat negara dan masyarakat, harus bersatu padu untuk mengatasi persoalan internal dan eksternal negara.

Bahu-Membahu
Petikaian antaraparat atau aparat dengan masyarakat, tidak akan terjadi jika setiap pihak berpegangan pada aturan hukum. Pasal 6 ayat (1)  huruf a UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, tegas menyatakan TNI berfungsi sebagai penangkal terhadap setiap bentuk ancaman militer dari luar dan dari dalam negeri terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, dan keselamatan bangsa.

Pada pihak kepolisian, Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, jelas menyatakan bahwa fungsi kepolisian adalah pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Di sisi lain, Pasal 255 ayat (1)  UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah jelas menyatakan bahwa Satpol PP dibentuk untuk menegakkan peraturan daerah dan peraturan kepala daerah, menyelenggarakan ketertiban umum dan ketenteraman, serta menyelenggarakan pelindungan masyarakat.

Berdasarkan pada rumusan aturan hukum di atas, maka jelas bahwa aparat negara senantiasa diadakan semata-mata untuk melindungi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Fungsi yang berbeda untuk satu tujuan yang sama. Untuk itu, yang perlu dilakukan adalah menyinergikan fungsi dari setiap institusi negara, yaitu dengan mengefektifkan kembali forum komunikasi dan koordinasi antarinstitusi. 

Di tingkat pemerintahan daerah misalnya, berlandaskan pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, ada Forum Komunikasi Pimpinan di Daerah (Forkopimda). Forum ini melibatkan kepala daerah pimpinan DPRD, pimpinan kepolisian, pimpinan kejaksaan, dan pimpinan satuan teritorial TNI di Daerah. Jika saja forum ini difungsikan dengan baik, pertikaian antaraparat, maupun aparat dengan masyarakat, tentunya dapat dihindari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar