Rapat
redaksi untuk koran terbitan esok hari, sedang berlangsung. Ringgo dapat tugas
berat. Bukan juga liputan kriminalitas yang harus mewawancarai banyak orang,
serta mempertaruhkan nyawa. Tugasnya cuma mewawancarai seseorang. Temanya politik.
Tentang pesta demokrasi. Lebih mengarah pada kampanye pemilihan gubernur secara
terselubung. Memperalat media. Karena itulah, ia merasa berat.
Makmur
Sudi, adalah sosok yang harus diwawancarainya. Ia sendiri belum pernah bertutur
sapa dengan pengusaha media yang sekarang jadi pejabat negara itu. Tepatnya, Anggota
DPRD. Tapi ia tahu sepintas tentang sosoknya. Tempo hari, sang calon gubernur pernah
bertandang ke kantornya. Terlihat dekat dengan petinggi perusahaan pers
tempatnya bekerja. Wajar, sebab sosok tambun itu, memang pewaris sekaligus ayah
kandung sang direktur perusahaan, bos Ringgo.
Atas
semua kenyataan itu, jelas Ringgo tak suka. Ia merasa berdosa jika idealismenya
sebagai wartawan, dijual untuk kepentingan politik. Akan sangat memiriskan baginya
kala melihat lembar-lembar koran hasil jerih payahnya, cuma berisi buaian para
politisi. Sekadar jadi media pencitraan demi mendulang suara. Sungguh, berita
dapat dijadikan topeng untuk melancarkan propaganda pengejar kekuasaan.
“Bukankah
kita sudah melangkah terlalu jauh. Maksud saya, kita telah secara terang-terangan
melanggar prinsip independensi dan netralitas wartawan?” tutur Bimo, saat jadwal
rapat redaksi, telah di ujung waktu.
“Tidak
akan ada yang tahu. Asalkan, kalian memenuhi unsur berita. Masyarakat awan
tidak akan mengerti urusan redaksi, apalagi mempermasalahkannya. Media kita
masih dipercaya. Karena itu, kitalah tetap harus memegang kendali atas pola
pikir masyarakat, bukan sebaliknya,” balas Tia, sang pemimpin redaksi.
Sebagai
orang baru, Ringgo tak berani membalas, meski argumentasinya atas idealisme wartawan,
terkonsep baik di benaknya.
“Kalau
berhasil mendapatkan kepercayaan masyarakat, otomatis mereka juga mendukung
media kita, termasuk mengiyakan perspektif kita atas fakta. Kalau demikian,
kita akan memenangkan kebenaran. Tak akan ada yang meragukan kebenaran
informasi media kita,” sambung Tia. “Intinya, beritakanlah apa yang sebaiknya
bagi media kita, tak harus apa yang seharusnya bagi masyarakat. Kalian harus
tahu, keberpihakan kita di mana. Tanpa modal, kita akan tak bisa apa-apa.
Paham?”
Ringgo
mengangguk, meski di hatinya agak berat.
Mau
tak mau, Ringgo tak bisa berbuat apa-apa. Biaya hidup di kota begitu tinggi.
Belum lagi, ia punya istri dan seorang anak yang harus dihidupi. Ia hanya
merasa sial mendapatkan tugas tersebut.
Dan,
akhirnya, ia pun mewawancarai tokoh sasarannya, Makmur Sudi. Menanyainya dengan
daftar pertanyaan baku dari redaktur. Semua diarahkan untuk pencitraan.
Makmur
pun dengan berbangga diri menceritakan semua prestasinya. Menuturkan rencana
pembangunan yang akan dia lakukan jika berhasil memenangi pemilu.
Ringgo
tak berdaya menyanggah. Ia menganggukkan saja perkataan narasumbernya, tanpa berhasrat
meminta penjelasan rinci. Padahal, berdasarkan ilmu ekonomi yang dipelajarinya
di kampus dahulu, program Makmur banyak mengawang-awang.
“Anda punya
kartu nama?” tanya Makmur.
Ringgo
pun memberikannya.
“Baiklah.
Aku harap kau membuat hasil tulisan yang lebih baik daripada wawancaranya.
Kuharap kau paham maksudku,” kata Makmur. “Aku sudah tahu namamu.”
Ringgo
hanya mengangguk. Mengiyakannya. Ia paham maksud bahasa tersirat itu. Sebuah
ancaman.
Selepas
itu, ia segera melakukan pengetikan. Berusaha menghindari kalimat kabur dengan melakukan
pengeditan terhadap kata-kata si sosok yang sangat belepotan. Setelah rampung,
karyanya itu diberi judul: Makmur; Sosok Pembangun dan Antikorupsi.
“Bimo,
wawancara khususmu sungguh luar biasa. Mengesankan. Aku yakin, Bos pasti suka,”
tutur Tia. “Dan, pastinya, akhir bulan ini, kita akan kecipratan bonus yang
besar. Kau akan bersenang-senang Ringgo!”
Ringgo
hanya tersenyum sepintas. Tak merasa pujian itu sebagai sanjungan yang berarti.
Keesokan
harinya, koran diedarkan ke seluruh penjuru. Tapi bersamaan dengan itu, kabar menggemparkan,
sampai di ruang redaksi. Diberitakan sejumlah media, Makmur Sudi ditangkap KPK atas
dugaan menyelewengkan uang negara untuk kebutuhan kampanyenya.
Kabar
itu adalah anugerah bagi Ringgo. Ia merasa, kenyataan memang sudah seharusnya
begitu. Tapi kata hatinya, tetap mempersalahkan dirinya sendiri. Ia merasa
ternodai, sebab hari ini, dirinya terlanjur menjadi bagian dari agenda pembodohan
dan pembohongan publik oleh media.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar