Minggu, 07 Agustus 2016

Ilusi

Sesekali, kala gairah mudaku memuncak, timbul inginku menggugat takdir. Jika saja aku bukanlah buah cinta orang tua yang berpikiran kolot, dan tak dilahirkan di zaman kuno, mungkin saja aku memiliki kenangan manis dengan beberapa sosok wanita. Karena tata krama jadul, adat istiadat, dan pemahaman agama merekalah, aku akhirnya dijodohkan dengan seorang gadis desa. Padahal, saat itu umurku baru 20 tahun. Sedangkan istriku masih 18 tahun.
 
Kadang kubayangkan, kalau saja dahulu, aku bebas memadu kasih dan memilih pendamping hidupku sendiri, mungkin tak pernah sekali pun aku berpikir mempermasalahkan takdir. Pastilah kupilih wanita yang lebih sempurna dari istriku. Lebih cantik, lebih segalanyalah. Tak akan salah pilih. Akan kuhabiskan banyak waktu untuk menyinggahi hati banyak wanita, agar bisa kutahu dan kutentukan yang paling cocok untukku. 

“Kenapa berpikir begitu?” Satu sisi jiwaku, menggugat angan-anganku sendiri. “Apalagi yang tak kau syukuri atasnya? Bukankah dia sosok istri yang baik untukmu, juga sosok ibu yang baik untuk anakmu. Tidak cukupkah itu?”

“Aku cuma mencoba realistis. Masih banyak perempuan yang lebih cantik darinya. Seharusnya aku memadu kasih dengan mereka. Bukankah itu lebih baik?” balas sisi jiwaku yang lain.

“Kau tidak bersyukur saja. Janganlah mata hatimu buta karena perbandingan: membandingkan istrimu dengan wanita lain, membandingkan masa lalumu dengan masa sekarang. Ia telah menjadi takdirmu.”

“Tidak bisakah aku berpaling? Kalaupun tidak, aku bisa menghianatinya diam-diam. Kala ia tengah mengurusi persoalan rumah tangga setiap hari, sesekali aku akan jalan dengan wanita lain. Ia tak akan tahu. Ia selalu percaya kata-kataku. Kalau pun ia tahu, kan aku bisa menceraikannya!”

“Tapi kalian sudah menikah! Tegakah kau mengingkari janjimu atas nama Tuhan? Tegakah kau menghianati kepercayaannya padamu! Apalagi, kau bukan tentang dirimu sendiri sekarang. Kau sudah punya anak. Tegakah kau melumpuhkan separuh jiwanya kalau kalian bercerai?”

“Aku tak peduli!”

“Sadarlah! Kau seharusnya bersyukur memperistri wanita yang setia padamu, yang sabar hidup bersamamu dalam suka dan duka. Apa yang lebih berharga dari kesetiaan? Lihatlah di luar sana, banyak orang yang telah memadu kasih begitu lama, lalu menikah karena rupa, harta, dan tahta yang tak ternilai, tapi mereka akhirnya bercerai. Jika saja kau bersyukur dan menerima ia apa adanya, kau akan melihatnya sempurna. Kau akan bahagia.”

“Sayang, kok bengong. Ayo makan. Masakanku kali ini, enak loh,” tutur istriku. “Ada masalah di kantor ya?”

Seketika juga, kecamuk jiwaku, berhenti.

“Tidak ada. Ya, semua baik-baik saja,” balasku, kemudian mengambil sepiring makanan yang disodorkannya.

Kali ini, ia terlihat begitu cantik.

Ketika sedang menyantap makan, lagi-lagi, siaran televisi menayangkan tentang perceraian public figure. Entah apa lagi masalah mereka. Bukankah rupa yang menawan, popularitas, dan harta, telah mereka miliki? Mungkin benar, penerimaanlah yang membuat semuanya terlihat sempurna.

 “Apa Ayah dan Ibu pernah pacaran?” Anita, anakku, tiba-tiba bersuara.

Aku bersetatap dengan istriku. Pertanyaan tentu tak terduga. Apalagi, umurnya baru sepuluh tahun. Ia masih duduk di bangku kelas IV SD.

“Memangnya kenapa kamu tanya begitu?” Aku balik bertanya.

“Anu Ayah. Tadi, Rian, teman sekelasku, nembak aku. Katanya, ia cinta kepadaku. Dia minta aku jadi pacarnya. Ya, jelas saja aku menolaknya. Dia bukan tipeku. Aku sih inginnya pacaran sama yang ganteng, romantis, dan kaya,” jelasnya, sambil celingak-celinguk.

“Sudah. Kau jangan pacaran-pacaran. Mending nikah, seperti Ayah dan Ibu. Tapi nanti, kalau kau sudah gede,” pesanku.

“Tapi, pacaran kan asyik ayah. Bisa punya mantan, kayak yang di film-film. Apa salah?” protesnya.

“Kamu jangan pikir begitu. Yang lebih penting, kau harus belajar, supaya jadi gadis yang baik. Nanti, kamu pasti ketemu jodoh yang baik juga. Seperti Ibu yang berjodoh dengan Ayah,” Istriku sekarang yang membalas. “Sudahlah. Ayo makan.”

Lagi-lagi, kali ini, aku melihatnya semakin cantik. Aku benar-benar beruntung memilikinya.

Apa yang kubayangkan tentang wanita lain, ternyata hanyalah buaian anganku. Zaman sudah berubah. Perkembangan teknologi, memproduksi tampilan-tampilan yang menipu jiwa. Tayangan televisi, telah berhasil menjungkirbalikkan nilai dan paradigma tentang relasi sosial, termasuk tentang relasi antarlawan jenis. Adegan para pelakon, lambat laun, akan menciptakan ilusi tentang “cinta”

Kupandangi lagi istriku. Betapa menentramkannya. Ia pun membalasku dengan tatapan yang aneh.

I love you,” sahutku senyap-senyap kepadanya.

Dia hanya tersipu. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar