Sesekali,
kala gairah mudaku memuncak, timbul inginku menggugat takdir. Jika saja aku
bukanlah buah cinta orang tua yang berpikiran kolot, dan tak dilahirkan di zaman
kuno, mungkin saja aku memiliki kenangan manis dengan beberapa sosok wanita.
Karena tata krama jadul, adat istiadat, dan pemahaman agama merekalah, aku
akhirnya dijodohkan dengan seorang gadis desa. Padahal, saat itu umurku baru 20
tahun. Sedangkan istriku masih 18 tahun.
Kadang
kubayangkan, kalau saja dahulu, aku bebas memadu kasih dan memilih pendamping
hidupku sendiri, mungkin tak pernah sekali pun aku berpikir mempermasalahkan
takdir. Pastilah kupilih wanita yang lebih sempurna dari istriku. Lebih cantik,
lebih segalanyalah. Tak akan salah pilih. Akan kuhabiskan banyak waktu untuk
menyinggahi hati banyak wanita, agar bisa kutahu dan kutentukan yang paling
cocok untukku.
“Kenapa
berpikir begitu?” Satu sisi jiwaku, menggugat angan-anganku sendiri. “Apalagi
yang tak kau syukuri atasnya? Bukankah dia sosok istri yang baik untukmu, juga
sosok ibu yang baik untuk anakmu. Tidak cukupkah itu?”
“Aku
cuma mencoba realistis. Masih banyak perempuan yang lebih cantik darinya. Seharusnya
aku memadu kasih dengan mereka. Bukankah itu lebih baik?” balas sisi jiwaku
yang lain.
“Kau
tidak bersyukur saja. Janganlah mata hatimu buta karena perbandingan: membandingkan
istrimu dengan wanita lain, membandingkan masa lalumu dengan masa sekarang. Ia telah
menjadi takdirmu.”
“Tidak
bisakah aku berpaling? Kalaupun tidak, aku bisa menghianatinya diam-diam. Kala
ia tengah mengurusi persoalan rumah tangga setiap hari, sesekali aku akan jalan
dengan wanita lain. Ia tak akan tahu. Ia selalu percaya kata-kataku. Kalau pun
ia tahu, kan aku bisa menceraikannya!”
“Tapi
kalian sudah menikah! Tegakah kau mengingkari janjimu atas nama Tuhan? Tegakah
kau menghianati kepercayaannya padamu! Apalagi, kau bukan tentang dirimu
sendiri sekarang. Kau sudah punya anak. Tegakah kau melumpuhkan separuh jiwanya
kalau kalian bercerai?”
“Aku
tak peduli!”
“Sadarlah! Kau seharusnya bersyukur
memperistri wanita yang setia padamu, yang sabar hidup bersamamu dalam suka dan
duka. Apa yang lebih berharga dari kesetiaan? Lihatlah di luar sana, banyak
orang yang telah memadu kasih begitu lama, lalu menikah karena rupa, harta, dan tahta yang tak ternilai, tapi mereka
akhirnya bercerai. Jika saja kau bersyukur dan menerima ia apa adanya, kau akan
melihatnya sempurna. Kau akan bahagia.”
“Sayang,
kok bengong. Ayo makan. Masakanku kali ini, enak loh,” tutur istriku. “Ada masalah
di kantor ya?”
Seketika
juga, kecamuk jiwaku, berhenti.
“Tidak
ada. Ya, semua baik-baik saja,” balasku, kemudian mengambil sepiring makanan
yang disodorkannya.
Kali
ini, ia terlihat begitu cantik.
Ketika
sedang menyantap makan, lagi-lagi, siaran televisi menayangkan tentang
perceraian public figure. Entah apa
lagi masalah mereka. Bukankah rupa yang menawan, popularitas, dan harta, telah
mereka miliki? Mungkin benar, penerimaanlah yang membuat semuanya terlihat
sempurna.
“Apa Ayah dan Ibu pernah pacaran?” Anita,
anakku, tiba-tiba bersuara.
Aku
bersetatap dengan istriku. Pertanyaan tentu tak terduga. Apalagi, umurnya baru sepuluh
tahun. Ia masih duduk di bangku kelas IV SD.
“Memangnya
kenapa kamu tanya begitu?” Aku balik bertanya.
“Anu
Ayah. Tadi, Rian, teman sekelasku, nembak
aku. Katanya, ia cinta kepadaku. Dia minta aku jadi pacarnya. Ya, jelas saja
aku menolaknya. Dia bukan tipeku. Aku sih inginnya pacaran sama yang ganteng, romantis,
dan kaya,” jelasnya, sambil celingak-celinguk.
“Sudah.
Kau jangan pacaran-pacaran. Mending nikah, seperti Ayah dan Ibu. Tapi nanti,
kalau kau sudah gede,” pesanku.
“Tapi,
pacaran kan asyik ayah. Bisa punya mantan, kayak yang di film-film. Apa salah?”
protesnya.
“Kamu
jangan pikir begitu. Yang lebih penting, kau harus belajar, supaya jadi gadis
yang baik. Nanti, kamu pasti ketemu jodoh yang baik juga. Seperti Ibu yang
berjodoh dengan Ayah,” Istriku sekarang yang membalas. “Sudahlah. Ayo makan.”
Lagi-lagi,
kali ini, aku melihatnya semakin cantik. Aku benar-benar beruntung memilikinya.
Apa
yang kubayangkan tentang wanita lain, ternyata hanyalah buaian anganku. Zaman sudah
berubah. Perkembangan teknologi, memproduksi tampilan-tampilan yang menipu jiwa.
Tayangan televisi, telah berhasil menjungkirbalikkan nilai dan paradigma tentang
relasi sosial, termasuk tentang relasi antarlawan jenis. Adegan para pelakon, lambat
laun, akan menciptakan ilusi tentang “cinta”
Kupandangi
lagi istriku. Betapa menentramkannya. Ia pun membalasku dengan tatapan yang
aneh.
“I
love you,” sahutku senyap-senyap kepadanya.
Dia
hanya tersipu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar