Sore
ini, kubaca halaman demi halaman koran, selepas tidur untuk menghilangkan penat
dari pekerjaan kantor. Aku belum sempat membacanya sedikit pun tadi pagi. Hanya
judul di halaman utama, tentang korupsi, yang sempat kusorot. Ada upacara di
kantor yang harus dihadiri tepat waktu.
Tiba-tiba,
Riko menghampiriku, padahal sudah waktunya ia bermain kelerang bersama
anak-anak tetangga. Dia adalah anak bungsuku yang baru berumur lima tahun lebih.
Baru saja ia lulus dari taman kanak-kanak. Tahun ini, ia akan beranjak ke
bangku sekolah dasar.
“Ayah,
aku dapat tas,” serunya, lalu menyerahkan tas itu padaku.
“Kau
dapat dari mana?” tanyaku.
Kubolak-balik
dan kupandangi teliti tas itu. Sungguh jauh dari ketegori bagus. Terdapat
bercak noda dan tambalan di sana-sini. Warna dasarnya, merah, juga terlihat
kusam.
“Aku dapat di samping jalan sana Ayah,”
balasnya, sambil menunjuk ke titik yang mungkin berjarak 50 meter dari rumahku.
“Bagus kan Ayah?”
“Apanya
yang bagus Nak. Lebih bagus tasmu yang sekarang,” balasku, kemudian menyorot
kembali berita-berita di koran.
“Tapi
aku suka gambarnya Ayah. Ini kan tokoh kartun favoritku juga,” protesnya.
“Tapi
itu tas bekas Nak. Kotor. Pasti banyak kumannya. Bisa-bisa kau sakit kalau
pakai itu,” balasku.
Mendengar
penjelasan itu, ia manut saja. Aku tahu, anak seumurannya sangat phobia dengan
kata kuman. Guru taman kanak-kanak, pasti sering menjelaskan tentang bahaya
kuman bagi kesehatan.
“Lebih baik
kau bakar saja sana. Kebetulan api pembakaran sampah belum padam,” perintahku.
Tanpa
berkata lagi, ia pun bergegas ke lokasi pembakaran.
Setelah
letih memandangi huruf-huruf koran yang masih bercerita tentang kesenjangan
ekonomi, aku menoleh ke segala arah. Mengistirahatkan mataku. Terlihat bunga warna-warni
di taman rumahku yang sempit. Juga, kepulan asap yang membumbung dari hasil
pembakaran tas bekas tadi.
Di
jalan depan rumahku, melintas lagi seorang perempuan paruh baya, pencari barang
bekas. Bisa dibilang, setiap hari, aku menyaksikan orang bermatapencarian seperti
itu. Rasa ibaku pun, jadi tawar. Kurasa pemerintahlah yang harus bertanggung
jawab untuk memberdayakan mereka.
Aneh.
Gerak-gerik si pengais barang bekas itu, tak lazim. Ia bolak-balik sedari tadi.
Mungkin sekitar tiga kali aku melihatnya datang dan pergi di titik yang sama. Tapi
aku tak ingin memusingkannya. Kurasa, ia hanya berusaha lebih teliti. Mungkin
untuk mendapatkan potongan besi yang nilai jualnya lebih tinggi dari plastik.
Aku
mengabaikannya.
Selepas
mandi, aku pun menuju teras depan rumah untuk mengangin-anginkan handuk. Betapa
kagetnya aku, dua puluh menit berlalu, sosok itu belum juga pergi. Sekarang, ia
malah duduk di tepi jalan, sambil memandang-mandang ke segala arah. Aku curiga
kalau ia kurang waras.
Kucoba
mengabaikannya sekali lagi. Aku beranjak ke dalam rumah untuk menyaksikan
berita sore yang biasanya menarik dan terbarui. Sekitar tiga puluh menit
waktuku habis untuk menonton.
Setelah
hampir gelap, aku penasaran lagi, ingin memastikan apakah perempuan aneh itu,
telah pergi. Dan, ternyata tidak. Malah, ia duduk tepat di depan pagar rumahku,
sambil celingak-celinguk.
Rasa
kesalku pun timbul. Aku ingin perempaun itu segera lenyap entah ke mana. Apalagi,
ia jelas tak punya kepentingan denganku.
“Ibu
ada urusan apa?” tanyaku dengan nada suara yang meninggi, dan tanpa senyum sedikit
pun. Aku ingin ia tahu kalau aku tak suka ia duduk-duduk di depan rumahku.
“Anu
Pak… Begini… “ tuturnya, terlihat gugup.
“Bicara
yang jelas Bu,” tegasku.
“Aku
mencari sesuatu Pak. Tas bekas,” tuturnya. “Aku yakin, tas itu jatuh dari
gerobakku di jalan sekitar sini.”
Aku
tersentak mendengarnya. “Tas bekas?” Kuulangi kata itu secara refleks. Jelas, anakku,
Riko, baru saja membakar sebuah tas bekas. “Bentuknya bagaimana Bu?” tuturku
dengan nada suara yang menurun drastis.
“Hanya
tas bekas Pak. Warnanya merah, tapi sudah agak buram. Ada gambar kartunnya,” jelasnya.
“Rencana, aku ingin memberikan tas itu untuk anakku Pak. Kebetulan, tahun
ini, dia akan masuk sekolah dasar.”
Perasaanku
kini campur aduk. Sulit digambarkan. Sungguh, aku sangat merasa kasihan
padanya. Merasa berdosa.
“Ibu
tunggu sebentar ya,” pintaku.
Aku
pun bergegas ke dalam rumah. Kali ini bukan untuk mengabaikannya.
Kuambil
tas milik Riko. Kukeluarkan semua peralatan tulis di dalamnya. Aku hendak
memberikan itu sebagai ganti tas bekasnya yang telah menjadi debu. Aku juga
mengambil beberapa lembar uang dari gaji yang baru saja kuterima hari ini, untuknya.
Selekas
mungkin, aku keluar, menghampirinya.
“Ambillah
Bu. Aku mohon,” pintaku.
Ia
terheran. Tak menduga. Raut wajahnya menyiratkan keharuan. Matanya berair.
Dengan agak sungkan, tangannya yang gemetaran, menyambut pemberianku.
“Terima
kasih Pak. Terima kasih banyak,” tuturnya, sambil mencium tanganku. Berkas cair
yang membasahi bola matanya, kini jatuh berupa butiran. Ia menangis.
“Iya
Bu. Terima kasih juga,” balasku, sembari tersenyum padanya.
Ucapan
terima kasih, terucap dari mulutnya sekali lagi. Setelah itu, ia pun beranjak
pergi, menjauh dari rumahku. Belum terlalu jauh, ia tak tampak lagi, diselimuti
gelap malam yang pekat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar