Sabtu, 06 Agustus 2016

Tas Bekas

Sore ini, kubaca halaman demi halaman koran, selepas tidur untuk menghilangkan penat dari pekerjaan kantor. Aku belum sempat membacanya sedikit pun tadi pagi. Hanya judul di halaman utama, tentang korupsi, yang sempat kusorot. Ada upacara di kantor yang harus dihadiri tepat waktu.

Tiba-tiba, Riko menghampiriku, padahal sudah waktunya ia bermain kelerang bersama anak-anak tetangga. Dia adalah anak bungsuku yang baru berumur lima tahun lebih. Baru saja ia lulus dari taman kanak-kanak. Tahun ini, ia akan beranjak ke bangku sekolah dasar.

“Ayah, aku dapat tas,” serunya, lalu menyerahkan tas itu padaku.

“Kau dapat dari mana?” tanyaku.

Kubolak-balik dan kupandangi teliti tas itu. Sungguh jauh dari ketegori bagus. Terdapat bercak noda dan tambalan di sana-sini. Warna dasarnya, merah, juga terlihat kusam.

 “Aku dapat di samping jalan sana Ayah,” balasnya, sambil menunjuk ke titik yang mungkin berjarak 50 meter dari rumahku. “Bagus kan Ayah?” 

“Apanya yang bagus Nak. Lebih bagus tasmu yang sekarang,” balasku, kemudian menyorot kembali berita-berita di koran. 

“Tapi aku suka gambarnya Ayah. Ini kan tokoh kartun favoritku juga,” protesnya.

“Tapi itu tas bekas Nak. Kotor. Pasti banyak kumannya. Bisa-bisa kau sakit kalau pakai itu,” balasku. 

Mendengar penjelasan itu, ia manut saja. Aku tahu, anak seumurannya sangat phobia dengan kata kuman. Guru taman kanak-kanak, pasti sering menjelaskan tentang bahaya kuman bagi kesehatan. 

“Lebih baik kau bakar saja sana. Kebetulan api pembakaran sampah belum padam,” perintahku.

Tanpa berkata lagi, ia pun bergegas ke lokasi pembakaran.

Setelah letih memandangi huruf-huruf koran yang masih bercerita tentang kesenjangan ekonomi, aku menoleh ke segala arah. Mengistirahatkan mataku. Terlihat bunga warna-warni di taman rumahku yang sempit. Juga, kepulan asap yang membumbung dari hasil pembakaran tas bekas tadi. 

Di jalan depan rumahku, melintas lagi seorang perempuan paruh baya, pencari barang bekas. Bisa dibilang, setiap hari, aku menyaksikan orang bermatapencarian seperti itu. Rasa ibaku pun, jadi tawar. Kurasa pemerintahlah yang harus bertanggung jawab untuk memberdayakan mereka.

Aneh. Gerak-gerik si pengais barang bekas itu, tak lazim. Ia bolak-balik sedari tadi. Mungkin sekitar tiga kali aku melihatnya datang dan pergi di titik yang sama. Tapi aku tak ingin memusingkannya. Kurasa, ia hanya berusaha lebih teliti. Mungkin untuk mendapatkan potongan besi yang nilai jualnya lebih tinggi dari plastik.

Aku mengabaikannya.

Selepas mandi, aku pun menuju teras depan rumah untuk mengangin-anginkan handuk. Betapa kagetnya aku, dua puluh menit berlalu, sosok itu belum juga pergi. Sekarang, ia malah duduk di tepi jalan, sambil memandang-mandang ke segala arah. Aku curiga kalau ia kurang waras.

Kucoba mengabaikannya sekali lagi. Aku beranjak ke dalam rumah untuk menyaksikan berita sore yang biasanya menarik dan terbarui. Sekitar tiga puluh menit waktuku habis untuk menonton. 

Setelah hampir gelap, aku penasaran lagi, ingin memastikan apakah perempuan aneh itu, telah pergi. Dan, ternyata tidak. Malah, ia duduk tepat di depan pagar rumahku, sambil celingak-celinguk.

Rasa kesalku pun timbul. Aku ingin perempaun itu segera lenyap entah ke mana. Apalagi, ia jelas tak punya kepentingan denganku.

“Ibu ada urusan apa?” tanyaku dengan nada suara yang meninggi, dan tanpa senyum sedikit pun. Aku ingin ia tahu kalau aku tak suka ia duduk-duduk di depan rumahku.

“Anu Pak… Begini… “ tuturnya, terlihat gugup.

“Bicara yang jelas Bu,” tegasku.

“Aku mencari sesuatu Pak. Tas bekas,” tuturnya. “Aku yakin, tas itu jatuh dari gerobakku di jalan sekitar sini.”

Aku tersentak mendengarnya. “Tas bekas?” Kuulangi kata itu secara refleks. Jelas, anakku, Riko, baru saja membakar sebuah tas bekas. “Bentuknya bagaimana Bu?” tuturku dengan nada suara yang menurun drastis.

“Hanya tas bekas Pak. Warnanya merah, tapi sudah agak buram. Ada gambar kartunnya,” jelasnya. “Rencana, aku ingin memberikan tas itu untuk anakku Pak. Kebetulan, tahun ini, dia akan masuk sekolah dasar.”

Perasaanku kini campur aduk. Sulit digambarkan. Sungguh, aku sangat merasa kasihan padanya. Merasa berdosa.

“Ibu tunggu sebentar ya,” pintaku.

Aku pun bergegas ke dalam rumah. Kali ini bukan untuk mengabaikannya. 

Kuambil tas milik Riko. Kukeluarkan semua peralatan tulis di dalamnya. Aku hendak memberikan itu sebagai ganti tas bekasnya yang telah menjadi debu. Aku juga mengambil beberapa lembar uang dari gaji yang baru saja kuterima hari ini, untuknya.

Selekas mungkin, aku keluar, menghampirinya.

“Ambillah Bu. Aku mohon,” pintaku. 

Ia terheran. Tak menduga. Raut wajahnya menyiratkan keharuan. Matanya berair. Dengan agak sungkan, tangannya yang gemetaran, menyambut pemberianku.

“Terima kasih Pak. Terima kasih banyak,” tuturnya, sambil mencium tanganku. Berkas cair yang membasahi bola matanya, kini jatuh berupa butiran. Ia menangis.

“Iya Bu. Terima kasih juga,” balasku, sembari tersenyum padanya.

Ucapan terima kasih, terucap dari mulutnya sekali lagi. Setelah itu, ia pun beranjak pergi, menjauh dari rumahku. Belum terlalu jauh, ia tak tampak lagi, diselimuti gelap malam yang pekat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar