Pagi
tadi, aku dapat kabar dari Ibuku. Katanya, Ibu Surti, guru Bahasa Indonesiaku
sewaktu duduk di bangku SD, telah pergi untuk selamanya. Tanpa pikir panjang,
aku pun segera pulang ke kampung. Menempuh perjalanan sekitar tiga jam, demi
memberikan penghormatan terakhir untuknya.
Ibu
Surti adalah sosok paling berarti bagiku setelah Ibu kandungku sendiri. Karena
itu, meski tak disuruh pulang, kurasa itu wajib. Aku berdosa jika tak melakukannya.
Apalagi, setamat SD, setelah beranjak ke kota melanjutkan pendidikan, cuma sesekali
aku bertemu dengannya. Itu pun secara kebetulan saja.
Sikapnya
dahulu, membekas di memoriku. Pembawaannya yang tenang dan sabar, membuatku
terkesan. Tak peduli seisi kelas rusuh dan tak menghargainya, ia tetap
menasihati dengan sabar. Tak pernah sekali pun ia bertindak kasar, walaupun
sering kali, teman sekelasku berlaku kurang ajar padanya.
Tangan
kanannya yang penuh luka bakar, memang kerap jadi bahan olok-olokan. Para siswa
yang tak berperasaan, sering menjulukinya Ibu Tabis (tangan iblis). Itu karena
bekas lepuhan api di punggung tangannya, tampak menyeramkan. Bentuknya beralur-alur,
dengan warna coklat-putih berselang-seling.
Aku
tak tahu, bagaimana bekas luka itu bisa terbentuk.
Sungguh,
darinyalah, aku belajar bersabar. Ia berpesan bahwa sekeras apa pun orang lain
menertawakan dan menghina, abaikan dan jangan menyerah menggapai cita-cita! Ya,
ia selalu menguatkanku tiap kali ada teman yang usil mengejek bentuk tubuhku
yang kerdil serta seragamku yang seadanya.
Suatu
hari, kala duduk di kelas III SD, aku menghadapnya sambil menangis tersedu-sedu.
Tak kuasa lagi aku mendengar hinaan teman-temanku. Dialah tempat terbaikku
untuk mengadu.
“Kamu
yang sabar ya Nak. Tak usah hiraukan keusilan mereka. Kalau mentalmu tak kuat,
mana mungkin kau akan jadi orang polisi,” pesannya, sembari mengusap-usap
rambutku dengan tangannya. Waktu itu, ia memang tahu cita-citaku jadi polisi.
“Aku
ingin berhenti sekolah Bu,” tuturku.
“Jangan
bilang begitu Nak. Aku kan pernah bilang, yang mengolok-olok itu, pasti tidak
lebih hebat dari yang diolok-olok. Kau pasti lebih hebat dari mereka. Makanya,
kau harus tetap sekolah untuk membuktikan kalau suatu saat, kau memang terhebat.
Kau harus jadi polisi Nak,” nasihatnya.
Pesannya
waktu itu, memberi semangat luar biasa bagiku. Aku jadi tak merisaukan lagi
komentar miring siapa pun. Mengejar cita-cita menjadi fokusku. Sampai akhirnya,
benar, aku kini telah jadi seorang polisi.
Ibu
Surti sungguh sosok berpengaruh dalam hidupku. Jika saja tak terlambat, aku
ingin menemuinya secara terencana, lalu berterima kasih sepenuh hati.
Dan
kali ini, bersama Ibuku, aku berjalan menuju ke rumah duka. Jelas, di sana, aku
hanya akan menemui Ibu Surti tengah terbujur kaku.
“Jika
saja aku harus merelakan kau lahir di rahim wanita lain, maka aku ingin Tuhan
menempatkanmu di rahim Ibu Surti, Nak. Aku tak tahu lagi bagimana cara membalas
jasa-jasanya,” tutur Ibuku, sambil terus melangkah.
“Kenapa
berkata begitu Bu?” tanyaku.
Ibuku
terlihat tertunduk. Tampak berat untuk berucap. “Pengorbanan Ibu Surti untuk
kesuksesanmu, sangat besar Nak. Sejujurnya, dahulu, Ibu tak kepikiran menyekolahkanmu.
Tak pernah kuduga kalau pendidikan itu penting. Jika bukan karena Ibu Surti,
mungkin kau akan seperti anak-anak yang lain, yang tak becus mengurus dirinya
sendiri,” tuturnya.
“Tapi
kalau tanpa pendidikan, kan kita tetap bisa hidup, menjadi orang baik, dan
bahagia?” sanggahku.
“Entahlah
Nak. Bersyukurlah karena kau sekolah tinggi-tinggi. Kita tak bisa kembali ke
masa lalu untuk mengubah kenyataan,” balasnya, lalu menghentikan langkah
kakinya. Ia kemudian menepuk-nepuk lenganku, sembari menatapku dalam-dalam. “Itu
semua karena peran Ibu Surti, Nak. Kau tahu, dahulu, Ibu Surti kerap menyisihkan honornya untuk membiayai kebutuhan sekolahmu.”
Aku
terenyak mendengar pernyataan Ibuku itu. Hanya terdiam.
“Dan
kau tahu, luka bakar di tangan kanan Ibu Surti, juga ada hubungannya denganmu
Nak,” tuturnya, dengan sikap yang masih sama. “Suatu hari, kala kau masih
berumur dua tahun, aku meninggalkanmu sendiri di rumah. Entah bagaimana,
kebakaran terjadi. Kau hampir saja mati dilalap api, andai Ibu Surti tak segera
menolongmu, meski ia harus menderita luka bakar.”
Aku
jelas tersentak. Sungguh. “Kenapa Ibu baru menceritakannya sekarang,” tuntutku.
“Ibu
Surti sendiri yang memintaku untuk merahasiakannya Nak. Ia tak ingin kau
menanggung beban dan rasa bersalah atas apa yang dilakukannya padamu,” jelas
Ibu.
Tiba-tiba
saja, denyut jantungku berdetak kencang. Seiring serpihan kenangan yang
menyerangku begitu hebat, kupacu langkah kakiku secepat mungkin. Aku takut tak
sempat melihat ia untuk terakhir kalinya.
Tak
berselang lama, aku pun sampai di rumah Ibu Surti, seorang janda yang tak
dikaruniai anak, juga seorang guru honorer sepanjang pengabdiannya.
Seketika
juga, kuraih dan kucium tangan kanannya yang kaku.
Untuk
pertama kali, aku menangis untuk orang lain selain Ibuku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar