Kamis, 11 Agustus 2016

Ibu Kedua

Pagi tadi, aku dapat kabar dari Ibuku. Katanya, Ibu Surti, guru Bahasa Indonesiaku sewaktu duduk di bangku SD, telah pergi untuk selamanya. Tanpa pikir panjang, aku pun segera pulang ke kampung. Menempuh perjalanan sekitar tiga jam, demi memberikan penghormatan terakhir untuknya.
 
Ibu Surti adalah sosok paling berarti bagiku setelah Ibu kandungku sendiri. Karena itu, meski tak disuruh pulang, kurasa itu wajib. Aku berdosa jika tak melakukannya. Apalagi, setamat SD, setelah beranjak ke kota melanjutkan pendidikan, cuma sesekali aku bertemu dengannya. Itu pun secara kebetulan saja. 

Sikapnya dahulu, membekas di memoriku. Pembawaannya yang tenang dan sabar, membuatku terkesan. Tak peduli seisi kelas rusuh dan tak menghargainya, ia tetap menasihati dengan sabar. Tak pernah sekali pun ia bertindak kasar, walaupun sering kali, teman sekelasku berlaku kurang ajar padanya. 

Tangan kanannya yang penuh luka bakar, memang kerap jadi bahan olok-olokan. Para siswa yang tak berperasaan, sering menjulukinya Ibu Tabis (tangan iblis). Itu karena bekas lepuhan api di punggung tangannya, tampak menyeramkan. Bentuknya beralur-alur, dengan warna coklat-putih berselang-seling. 

Aku tak tahu, bagaimana bekas luka itu bisa terbentuk.

Sungguh, darinyalah, aku belajar bersabar. Ia berpesan bahwa sekeras apa pun orang lain menertawakan dan menghina, abaikan dan jangan menyerah menggapai cita-cita! Ya, ia selalu menguatkanku tiap kali ada teman yang usil mengejek bentuk tubuhku yang kerdil serta seragamku yang seadanya. 

Suatu hari, kala duduk di kelas III SD, aku menghadapnya sambil menangis tersedu-sedu. Tak kuasa lagi aku mendengar hinaan teman-temanku. Dialah tempat terbaikku untuk mengadu.

“Kamu yang sabar ya Nak. Tak usah hiraukan keusilan mereka. Kalau mentalmu tak kuat, mana mungkin kau akan jadi orang polisi,” pesannya, sembari mengusap-usap rambutku dengan tangannya. Waktu itu, ia memang tahu cita-citaku jadi polisi.

“Aku ingin berhenti sekolah Bu,” tuturku.

“Jangan bilang begitu Nak. Aku kan pernah bilang, yang mengolok-olok itu, pasti tidak lebih hebat dari yang diolok-olok. Kau pasti lebih hebat dari mereka. Makanya, kau harus tetap sekolah untuk membuktikan kalau suatu saat, kau memang terhebat. Kau harus jadi polisi Nak,” nasihatnya.

Pesannya waktu itu, memberi semangat luar biasa bagiku. Aku jadi tak merisaukan lagi komentar miring siapa pun. Mengejar cita-cita menjadi fokusku. Sampai akhirnya, benar, aku kini telah jadi seorang polisi. 

Ibu Surti sungguh sosok berpengaruh dalam hidupku. Jika saja tak terlambat, aku ingin menemuinya secara terencana, lalu berterima kasih sepenuh hati.

Dan kali ini, bersama Ibuku, aku berjalan menuju ke rumah duka. Jelas, di sana, aku hanya akan menemui Ibu Surti tengah terbujur kaku.  

“Jika saja aku harus merelakan kau lahir di rahim wanita lain, maka aku ingin Tuhan menempatkanmu di rahim Ibu Surti, Nak. Aku tak tahu lagi bagimana cara membalas jasa-jasanya,” tutur Ibuku, sambil terus melangkah.

“Kenapa berkata begitu Bu?” tanyaku.

Ibuku terlihat tertunduk. Tampak berat untuk berucap. “Pengorbanan Ibu Surti untuk kesuksesanmu, sangat besar Nak. Sejujurnya, dahulu, Ibu tak kepikiran menyekolahkanmu. Tak pernah kuduga kalau pendidikan itu penting. Jika bukan karena Ibu Surti, mungkin kau akan seperti anak-anak yang lain, yang tak becus mengurus dirinya sendiri,” tuturnya.

“Tapi kalau tanpa pendidikan, kan kita tetap bisa hidup, menjadi orang baik, dan bahagia?” sanggahku.

“Entahlah Nak. Bersyukurlah karena kau sekolah tinggi-tinggi. Kita tak bisa kembali ke masa lalu untuk mengubah kenyataan,” balasnya, lalu menghentikan langkah kakinya. Ia kemudian menepuk-nepuk lenganku, sembari menatapku dalam-dalam. “Itu semua karena peran Ibu Surti, Nak. Kau tahu, dahulu, Ibu Surti kerap menyisihkan honornya untuk membiayai kebutuhan sekolahmu.”

Aku terenyak mendengar pernyataan Ibuku itu. Hanya terdiam.

“Dan kau tahu, luka bakar di tangan kanan Ibu Surti, juga ada hubungannya denganmu Nak,” tuturnya, dengan sikap yang masih sama. “Suatu hari, kala kau masih berumur dua tahun, aku meninggalkanmu sendiri di rumah. Entah bagaimana, kebakaran terjadi. Kau hampir saja mati dilalap api, andai Ibu Surti tak segera menolongmu, meski ia harus menderita luka bakar.”

Aku jelas tersentak. Sungguh. “Kenapa Ibu baru menceritakannya sekarang,” tuntutku.

“Ibu Surti sendiri yang memintaku untuk merahasiakannya Nak. Ia tak ingin kau menanggung beban dan rasa bersalah atas apa yang dilakukannya padamu,” jelas Ibu.

Tiba-tiba saja, denyut jantungku berdetak kencang. Seiring serpihan kenangan yang menyerangku begitu hebat, kupacu langkah kakiku secepat mungkin. Aku takut tak sempat melihat ia untuk terakhir kalinya. 

Tak berselang lama, aku pun sampai di rumah Ibu Surti, seorang janda yang tak dikaruniai anak, juga seorang guru honorer sepanjang pengabdiannya. 

Seketika juga, kuraih dan kucium tangan kanannya yang kaku.

Untuk pertama kali, aku menangis untuk orang lain selain Ibuku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar