Sebuah
rumah berdiri megah di tengah perkampungan, di pinggiran kota. Arsitekturnya
bergaya eropa, dengan taman yang terbentang luas. Bangunan berlantai tiga itu,
menjulang tinggi. Terlihat kokoh. Bak raja di antara rumah-rumah yang lain. Beda.
Rumah semi permanen di sekitarnya, rata-rata cuma berlantai satu, tanpa nilai artistik
apa-apa.
Rumah
menawan itu, milik Suhendra, seorang pengusaha tambang. Di sana, ia tinggal
bersama sang istri, Airin, serta dua orang anaknya, Bima dan Dion. Mereka aslinya
pendatang dari pulau seberang. Kaum urban yang sukses. Dari hasil tambang yang
melimpah ruahlah, istananya terbangun.
Dibangun dengan tetesan keringat penduduk kampung pinggiran kota, yang ia upah
per hari.
Keluarga
Suhendra, jadi begitu betah berdiam-diam diri di dalam rumah mewahnya. Segala
fasilitas hiburan, tersedia. Kalau tak ada urusan penting, mereka akan mengurung
diri di balik tembok. Tak tertarik bergaul bersama warga, apalagi bertamu ke
rumah tetangga. Kalau pun sesekali Dion melapor hendak bergaul dengan anak warga
sekitar, Ayah-Ibunya selalu melarang. Takut ia terjerumus ke dalam pergaulan
yang salah.
Suhendra
dan istrinya, memang paranoia dengan perilaku warga di sekitar rumahnya. Apalagi,
sebagian besar tetangganya bukanlah kaum berpendidikan dan berpenghasilan baik.
Bahkan banyak anak-anak yang tak mengenyam pendidikan formal, karena tak punya
biaya. Pekerjaan mereka hanya sebagai buruh kasar dengan penghasilan yang tidak
menentu. Keadaan itulah yang diwanti-wanti Suhendra dan istrinya, bila mana,
mereka berubah menjadi penjarah harta benda orang lain.
Demi
menangkal tindak kriminal khas perkampungan pinggiran kota, Suhendra telah
melakukan antisipasi. Pagar beton telah ia bangun mengelilingi lingkungan rumahnya.
Tingginya sekitar empat meter. Di puncaknya, ditancapkan pecah beling atau paku.
Ditambah lagi kabel beraliran listrik sebagai pengaman ganda. Tak akan ada
maling yang kuasa melewatinya.
“Dion, Bima, ayo cepat berkemas. Kalau tidak,
bisa-bisa kita ketinggalan pesawat,” perintah Suhendra kepada anak-anaknya.
Pagi
ini, mereka akan berangkat ke sebuah kota untuk urusan bisnis, sekaligus
berlibur.
“Nih,
aku sudah siap Pak. Kak Bima juga sudah siap,” tutur Dion.
“Oke.
Kalau begitu, pergilah pastikan semua pintu dan jendela terkunci dengan baik.
Kalian tahu kan, di lingkungan seperti ini, banyak maling berkeliaran,” tutur
sang Ayah.
Kedua
anak itu pun bergegas melaksanakan perintah.
“Bapak
sebaiknya sarapan dulu,” tutur Airin, sambil memasangkan dasi sang suami. “Tapi,
harus tunggu sebentar. Rotinya baru dipanaskan. Air buat kopi juga sebentar
lagi mendidih. Jadwal penerbangan kan masih lama.”
Suhendra
menggeleng. Untuk pagi ini, tawaran itu tak menarik baginya. Ia tak berselera. Hasrat
dan pikirannya melayang jauh, membayangkan pundi-pundi uang dari anak
perusahaan miliknya di pulau seberang, yang akan diresmikan besok.
“Tak
usah Bu. Mending kita berangkat sekarang. Jangan sampai kita kena macet, terus ketinggalan
pesawat. Bisa-bisa acara peresmian dibatalkan karena aku tak hadir. Kan rugi
Bu,” balasnya.
Airin
pun tak memaksakan tawarannya.
Segera,
keluarga kecil itu keluar rumah. Selekas mungkin mengemas barang dan
merapikannya ke dalam mobil.
“Bu,
aku ingin pamitan dulu pada Rinto, yang teman sepermainku itu. Siapa tahu ia
mau titip oleh-oleh,” tutur Dion.
“Tak
usah Nak. Kita harus cepat-cepat supaya tak ketinggalan pesawat,” kata Ibunya. “Lagian,
kalau ia tahu kita sedang keluar kota selama seminggu, kan bahaya. Bisa-bisa, dia
sampaikan lagi ke orang-orang. Itu kan bisa jadi kesempatan para maling untuk
merampok barang di rumah kita. Kamu mau sepedamu dicuri?”
Dion
menggeleng.
Tanpa
lama kemudian, mobil keluarga kecil itu, menyusuri lorong sempit di
perkampungan pinggiran kota. Para warga sekitar rumahnya, cuma bisa menerawang
dan menebak-nebak isi mobil, sebab seluruh kaca jendela, tertutup rapat.
Akhirnya,
mobil mewah itu, pergi menjauh.
Seiring
itu, asap pun mulai keluar di celah-celah ventilasi rumah megah kelaurga Suhendra.
Asap itu berasal dari kukusan roti dan masakan air di atas kompor yang lupa
dimatikan.
Panas
menjadi-jadi. Mata api lalu muncul. Seketika juga, kebakaran bermula. Semakin berkobar
dari waktu ke waktu. Cepat.
Warga
sekitar pun dibuat keget melihat api yang menyala-nyala. Mereka kalang-kabut
mencari cara untuk memadamkan api. Tak ada jalan menyelinap untuk mematikan
sumber api. Rumah itu tertutup rapat. Pagarnya menjulang tinggi dengan instrumen
pengamanan yang berlipat ganda.
Setelah
lebih sejam berlalu, pemadam kebakaran pun datang, tepat di waktu rumah dan seisinya,
telah diselimuti api.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar