Minggu, 14 Agustus 2016

Pagar Hidup

Sebuah rumah berdiri megah di tengah perkampungan, di pinggiran kota. Arsitekturnya bergaya eropa, dengan taman yang terbentang luas. Bangunan berlantai tiga itu, menjulang tinggi. Terlihat kokoh. Bak raja di antara rumah-rumah yang lain. Beda. Rumah semi permanen di sekitarnya, rata-rata cuma berlantai satu, tanpa nilai artistik apa-apa. 

Rumah menawan itu, milik Suhendra, seorang pengusaha tambang. Di sana, ia tinggal bersama sang istri, Airin, serta dua orang anaknya, Bima dan Dion. Mereka aslinya pendatang dari pulau seberang. Kaum urban yang sukses. Dari hasil tambang yang melimpah ruahlah, istananya  terbangun. Dibangun dengan tetesan keringat penduduk kampung pinggiran kota, yang ia upah per hari. 

Keluarga Suhendra, jadi begitu betah berdiam-diam diri di dalam rumah mewahnya. Segala fasilitas hiburan, tersedia. Kalau tak ada urusan penting, mereka akan mengurung diri di balik tembok. Tak tertarik bergaul bersama warga, apalagi bertamu ke rumah tetangga. Kalau pun sesekali Dion melapor hendak bergaul dengan anak warga sekitar, Ayah-Ibunya selalu melarang. Takut ia terjerumus ke dalam pergaulan yang salah.

Suhendra dan istrinya, memang paranoia dengan perilaku warga di sekitar rumahnya. Apalagi, sebagian besar tetangganya bukanlah kaum berpendidikan dan berpenghasilan baik. Bahkan banyak anak-anak yang tak mengenyam pendidikan formal, karena tak punya biaya. Pekerjaan mereka hanya sebagai buruh kasar dengan penghasilan yang tidak menentu. Keadaan itulah yang diwanti-wanti Suhendra dan istrinya, bila mana, mereka berubah menjadi penjarah harta benda orang lain. 

Demi menangkal tindak kriminal khas perkampungan pinggiran kota, Suhendra telah melakukan antisipasi. Pagar beton telah ia bangun mengelilingi lingkungan rumahnya. Tingginya sekitar empat meter. Di puncaknya, ditancapkan pecah beling atau paku. Ditambah lagi kabel beraliran listrik sebagai pengaman ganda. Tak akan ada maling yang kuasa melewatinya.

 “Dion, Bima, ayo cepat berkemas. Kalau tidak, bisa-bisa kita ketinggalan pesawat,” perintah Suhendra kepada anak-anaknya.

Pagi ini, mereka akan berangkat ke sebuah kota untuk urusan bisnis, sekaligus berlibur.

“Nih, aku sudah siap Pak. Kak Bima juga sudah siap,” tutur Dion.

“Oke. Kalau begitu, pergilah pastikan semua pintu dan jendela terkunci dengan baik. Kalian tahu kan, di lingkungan seperti ini, banyak maling berkeliaran,” tutur sang Ayah.

Kedua anak itu pun bergegas melaksanakan perintah.

“Bapak sebaiknya sarapan dulu,” tutur Airin, sambil memasangkan dasi sang suami. “Tapi, harus tunggu sebentar. Rotinya baru dipanaskan. Air buat kopi juga sebentar lagi mendidih. Jadwal penerbangan kan masih lama.”

Suhendra menggeleng. Untuk pagi ini, tawaran itu tak menarik baginya. Ia tak berselera. Hasrat dan pikirannya melayang jauh, membayangkan pundi-pundi uang dari anak perusahaan miliknya di pulau seberang, yang akan diresmikan besok. 

“Tak usah Bu. Mending kita berangkat sekarang. Jangan sampai kita kena macet, terus ketinggalan pesawat. Bisa-bisa acara peresmian dibatalkan karena aku tak hadir. Kan rugi Bu,” balasnya.

Airin pun tak memaksakan tawarannya.

Segera, keluarga kecil itu keluar rumah. Selekas mungkin mengemas barang dan merapikannya ke dalam mobil.

“Bu, aku ingin pamitan dulu pada Rinto, yang teman sepermainku itu. Siapa tahu ia mau titip oleh-oleh,” tutur Dion.

“Tak usah Nak. Kita harus cepat-cepat supaya tak ketinggalan pesawat,” kata Ibunya. “Lagian, kalau ia tahu kita sedang keluar kota selama seminggu, kan bahaya. Bisa-bisa, dia sampaikan lagi ke orang-orang. Itu kan bisa jadi kesempatan para maling untuk merampok barang di rumah kita. Kamu mau sepedamu dicuri?”

Dion menggeleng. 

Tanpa lama kemudian, mobil keluarga kecil itu, menyusuri lorong sempit di perkampungan pinggiran kota. Para warga sekitar rumahnya, cuma bisa menerawang dan menebak-nebak isi mobil, sebab seluruh kaca jendela, tertutup rapat. 

Akhirnya, mobil mewah itu, pergi menjauh.

Seiring itu, asap pun mulai keluar di celah-celah ventilasi rumah megah kelaurga Suhendra. Asap itu berasal dari kukusan roti dan masakan air di atas kompor yang lupa dimatikan. 

Panas menjadi-jadi. Mata api lalu muncul. Seketika juga, kebakaran bermula. Semakin berkobar dari waktu ke waktu. Cepat. 

Warga sekitar pun dibuat keget melihat api yang menyala-nyala. Mereka kalang-kabut mencari cara untuk memadamkan api. Tak ada jalan menyelinap untuk mematikan sumber api. Rumah itu tertutup rapat. Pagarnya menjulang tinggi dengan instrumen pengamanan yang berlipat ganda. 

Setelah lebih sejam berlalu, pemadam kebakaran pun datang, tepat di waktu rumah dan seisinya, telah diselimuti api.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar