Tak
peduli tusukan dingin di subuh hari, Nasir tetap semangat mencari sampah plastik
yang dibuang serampangan para penghuni kota. Demi anaknya, ia ikhlas banting
tulang siang dan malam. Memulung kala masih gelap, lalu berangkat ke pelabuhan pagi-pagi
sekali, untuk menjadi seorang kuli panggul.
Asri,
anak semata wayangnya, kini telah duduk di bangku kelas II SMA. Di usianya itu,
harga diri adalah segalanya. Tak ingin terlihat rendah dan hina di mata orang
lain. Hanya ada dua pilihan: menggembar-gemborkan strata sosial dan ekonomi
keluarga, atau bungkam seribu bahasa untuk menutupi identitas diri. Asri terpaksa
memilih membungkam.
Nasir
memahami, ia bukanlah kebanggaan bagi Asri. Pantaslah dicap sebagai ayah tak
berharga. Kekayaan dan kekuasaan, tak ia miliki. Hanya kasih sayang kepada sang
anak yang terus dijaganya. Sebab itulah, ia menyekolahkan anak semata wayangnya
itu, bagaimana pun caranya. Jika berhasil, kelak, cucunya pasti bangga memiliki
sosok ayah yang terpandang.
Demi
anak jugalah, Nasir harus mengondisikan waktu dan tempatnya mengais rezeki. Ia
sengaja memulung subuh-subuh atas desakan Asri. Juga memilih bekerja di
pelabuhan yang berjarak jauh dari tempat tinggalnya. Jika tidak begitu, sang
anak mengancam akan berhenti sekolah. Keadaan Ayahnya adalah aib yang harus
disembunyikan dari teman-teman sekolahnya.
Kisah
Pak Nasir itu, aku tahu dari penuturannya sendiri. Ia mencurahkan unek-uneknya
padaku hari ini, selepas aku mewawancarainya untuk penelitian tugas akhirku
yang membahas tentang kemiskinan dan kaum urban.
“Nak
Ridwan, apa yang harus saya lakukan?” tanyanya.
Aku
bingung bagaimana menjawabnya. Kutahu betul gelora ego kala hidup seusia Asri. Tapi
kurasa, kelugasannya menunjukkan ketidaksenangan pada sang Ayah, sudah
keterlaluan. “Bapak sabar saja. Anak-anak seusia dia memang gengsian. Aku yakin
suatu saat, di kala sukses, ia akan pulang kepada Bapak, berterima kasih atas kehadirian
Bapak dalam kehidupannya,” balasku.
Ia
takzim. Seakan sepenuhnya sepakat denganku.”Kau benar Nak. Apalagi, jika bukan
dia, siapa lagi yang harus kubahagiakan. Tapi andai saja ia berbudi pekerti
seperti Nak Ridwan, tentulah aku sangat bangga dan bersyukur,” harapnya.
Sungguh,
telah lama aku tahu kisah semacam Pak Nasir dan anaknya ini. Benar-benar kupahami.
Sebagai anak yang hidup di zaman modern nan serba pamer, aku tahu bagaimana
rasanya mengalah dan menyepi di pojokan harga diri. Membiarkan dunia
menertawakan dan menistakan takdir hidup dan kehidupan yang tak bisa kita ubah.
Aku tahu itu.
Bahkan
kini, aku menyadari, ada seorang anak yang diam-diam mendurhakai orang tuanya. Lupa
diri tentang asal-usulnya. Memaksakan diri hidup mewah, meski untuk kebutuhan
dasar saja pas-pasan. Pamit sesopan mungkin kepada orang tuanya di kampung atas
alasan untuk menuntut ilmu di kota sebagai mahasiswa. Tapi apa yang dilakukannya?
Dia tak lebih baik daripada Asri.
Sudah
lebih delapan semester ia menjalani kuliah. Gelar sarjana tak kunjung ia persembahkan
untuk kedua orang tuanya. Tak ada alasan yang berarti, kecuali bahwa ia lebih
suka menghabiskan waktu berfoya-foya, daripada tekun mengurusi kuliah. Membeli barang
mewah, menraktir teman-teman, atau setidaknya nongkrong di restoran super
mahal, adalah sedikit dari kebiasaannya.
Orang
tuanya yang hanya bekerja sebagai buruh tani dan penjual kayu bakar di kampung,
sama sekali tak akan tahu tentang kelakuannya itu. Apalagi mereka hanya tamatan
SD yang tak mengerti tentang sistem perkuliahan, termasuk tentang biaya dan
waktu kuliah. Jika ia telah memberi penjelasan kalau kebutuhannya di kota semata-mata
untuk kepentingan kuliah, kedua orang tuanya hanya bisa manut-manut.
Sungguh,
mereka tak tahu.
Dan,
dalam kesadaran ini, entah kenapa, aku menjadi sangat rindu kepada kedua orang
tuaku.
Tiba-tiba,
ponselku bergetar. Entah siapa yang menelepon sore-sore begini. Kulihat
layarnya. Di sana tertera nama Ayahku.
“Halo
Nak, bagaimana kabarmu?” tanya Ibuku di ujung telepon. Suaranya tetap
lemah-lembut seperti biasa.
Setiap
kali mereka rindu, ibuku memang lebih banyak bicara.
“Baik
Bu. Ibu dan Bapak apa kabar?” tanyaku balik. Untuk kali ini, aku benar-benar
tulus menanyainya tentang kabar.
“Syukurah.
Kami di sini baik-baik saja Nak,” tuturnya dengan suara yang terdengar tertahan-tahan.
“Kamu kapan balik ke kampung. Kami di sini merindukanmu Nak?”
Batinku
bergetar. Sulit menggambarkannya. “Untuk waktu dekat ini, aku tak bisa pulang
Bu. Urusan kuliahku padat. Tidak lama lagi, aku akan sarjana Bu,” balasku.
Seiring ucapan itu, aku bertekad tidak akan menyia-nyiakan waktuku lagi. Aku
ingin secepatnya sarjana. “Maafkan aku Bu.”
“Tak
mengapa Nak. Asalkan kau bisa belajar dengan baik, kami di sini turut senang. Semoga
kelak, kau jadi orang yang berguna Nak,” harapnya, seperti selalu.
Mendengar
ucapannya, lidahku tiba-tiba saja kaku untuk bertutur.
“Kalau
urusanmu telah selesai, jangan lupa pulang
segera Nak. Kami merindukanmu,” pintanya.
“Iya
Bu. Aku juga merindukan Ibu dan Ayah,” balasku. Dan sekali lagi, untuk saat
ini, aku benar-benar merindukan mereka.
Tak
lama berselang, obrolan kami pun berakhir. Seiring itu, tanpa kusadari, air
mataku menetes. Baru kali ini, aku merasa sangat merindukan mereka. Menyadari
sedalam-dalamnya betapa perjuangan meraka begitu berat demi kebahagiaanku.
“Kenapa
menangis Nak Ridwan?” tanya Pak Nasir.
“Aku
merindukan orang tuaku Pak. Mereka barusan meneleponku,” balasku.
“Hatimu
sungguh mulia Nak. Entah bisakah, suatu saat Asri menangis kerena merindukan
aku juga,” tuturnya.
“Aku yakin, suatu saat, ia akan menyadari
semua pengorbanan Bapak,” pungkasku.
Terus
terang, aku merasa terhina dengan pujian Pak Nasir. Aku bukanlah seperti apa
yang ia duga. Sungguh! Akulah anak yang diam-diam mendurhakai orang tua. Hidup
berfoya-foya di kota. Menghianati pengorbanan mereka yang hanya bekerja sebagai
buruh tani dan penjual kayu bakar di kampung. Ya, itu adalah aku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar