Sudah
lebih setengah jam, Anton dan teman-temannya, masih menunggu di pelataran
ruang kelas. Mereka harus sabar menanti kedatangan dosen yang suka datang
seenak hatinya. Termasuk dosen Hukum Pidana Korupsi, Prof Gayus. Kontrak kuliah
pada pertemuan pertama, yang menetapkan bahwa siapa yang telat 15 menit, tak
boleh ikut kuliah, hanya berlaku untuk mahasiswa. Itu dikecualikan untuk dosen.
Anton
jelas gusar melihat perilaku dosen yang gemar berdandan serba-serbi itu. Bagaimana
tidak, kala ia begitu semangat berangkat ke kampus untuk menambah ilmu, sang
dosen malah tak datang. Itu sering terjadi. Alasannya, dosen kolektor batu
mulia itu, banyak urusan proyek. Kadang juga karena menjadi pembicara seminar, ataukah
menjadi saksi ahli di persidangan yang imbalannya tentu fantastis.
Bahkan
pernah suatu ketika, Anton sengaja tak masuk kelas. Ia yakin, sang dosen pasti keluar
kota lagi. Entah untuk menghadiri acara seremonial, atau sekadar jalan-jalan.
Ia pun memilih turun ke jalan untuk menuntut kasus korupsi segera dituntaskan, daripada
menunggu kedatangan dosen yang tak pasti. Tapi nyatanya, sang dosennya datang
di sepertiga jam kuliah. Sungguh.
Yang
paling membekas di benak Anton adalah, ketika ia memperoleh nilai E pada sebuah mata
kuliah yang diasuh sang professor. Itu bukan karena ia tak memenuhi syarat
kehadiran ataukah tak mengumpulkan tugasnya. Ia sial saja atas
kesewenang-wenangan sang dosen. Ia tak menandatangani daftar hadir ujian final
yang dibawa oleh sang dosen pada 15 menit sebelum jadwal final berakhir.
“Prof
datang,” sahut teman-temannya.
Benar
saja, si dosen stylish tampak di
ujung pelataran. Para mahasiswa pun berbondong-bondong memasuki kelas. Apalagi,
momen kali ini penting. Biasanya, di pertemuan terakhir, dosen yang jarang
hadir, seperti Prof Gayus, akan memberikan kisi-kisi. Mungkin sengaja ditujukan
sebagai penebus dosanya.
Sang
dosen pun lekas menuliskan pokok-pokok mata kuliah yang patut dipelajari dalam
menghadapi ujian. Kebanyakan, belum pernah dijelaskannya dalam perkuliahan.
Tapi, seperti sebelum-sebelumnya, ia tak pernah merasa salah. Alasannya, sistem
SCL (Student Center Learning), telah
berlaku. Mahasiswa harus belajar sendiri. Tak masalah jika dosen hanya
mengarahkan, memantau, atau tidak sama sekali.
Kisi-kisi
yang tampak jelas di papan tulis, tak menarik perhatian Anton. Matanya hanya terpaku
memandang ke arah luar, di balik jendela. Menyaksikan para pegawai alih daya
yang tengah membersihkan lingkungan kampus. Menatap haru anak kecil, pemulung,
yang telaten mengumpulkan sampah plastik para penduduk kampus yang berserakan. Baginya,
kisi-kisi tak ubahnya GBRP (Garis-garis Besar Rencana Pembelajaran) yang telah
dihianati sang dosen.
“Baiklah,
itu tadi kisi-kisinya. Kalau ada yang ingin ditanyakan tentang perkuliahan yang
melelahkan sepanjang semester ini, silahkan,” tutur Prof Gayus, sembari
bersiap-siap pulang, meski jam pekuliahan masih tersisa 40 menit lagi, sesuai
dengan bobot SKS (Satuan Kredit Semester) mata kuliah.
Kelas
senyap. Mahasiswa tak bersuara. Mereka sudah tak sabar lagi keluar kelas.
Bertebaran mencari sumber kesenangan. Bebas dari penjara kelas yang
menggerahkan. Meninggalkan ruang kuliah yang masih kental dengan pola
pembelajaran dosen yang monoton dan tak partisipatif.
Tiba-tiba
saja, Anton mengacungkan tangannya. Mahasiswa yang telah bersiap keluar kelas
pun, gusar.
“Apa
gunanya kita kuliah satu semester mengenai Hukum Pidana Korupsi, Pak? Apakah
korupsi akan terhapus dan anak-anak miskin dapat sekolah? Ataukah kita semua,
tanpa sadar, adalah calon-calon koruptor yang tengah belajar teori hukum,
sekadar untuk kebal hukum, mempermainkan hukum?” tuturnya dengan nada suara
yang tegas.
Kelas
menjadi sanyap.
“Pendidikan
apa yang kita dapatkan, jika senyatanya, kita tak membiasakan diri untuk
terdidik? Mengabaikan kewajiban, tapi menuntut dan mengambil hak yang berlebih.
Apa gunanya pendidikan hukum?” sambungnya. Meski menggebu-gebu, ia tetap
berusaha bertutur diplomatis.
“Ah,
sudah. Ini bukan panggung demonstrasi. Kau belajar teori saja dulu. Belum
saatnya kau banyak komentar,” jawab sang dosen, masih menenteng tasnya, bersiap
pergi. “Rambut gondrongmu juga, cukurlah yang rapi. Ini bukan kampung.”
Selekas
mungkin, sang dosen pun bergegas keluar. Ada pertemuan pejabat yang katanya
lebih penting.
Seisi
kelas pun, menertawanan Anton. Mencapnya terlalu sok.
Anton
tak mengiraukannya. Kali ini, ia merasa lega telah melampiaskan unek-uneknya.
Setelah
kelas kosong, Anton pun melangkah ke keluar ruang. Rencananya, ia akan menuju
ke perpustakaan. Bukan untuk membaca, tapi untuk mengembalikan pinjaman
bukunya. Sudah telat tiga bulan ia mengembalikannya. Waktu-waktu banyak ia
habiskan sebagai aktivis jalanan, sehingga tak intensif membaca. Jelas, dendanya
telah membengkak. Tapi ia punya cara. Ia akan melobi penjaga perpustakaan agar
mengerti keadaannya. Begitulah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar