Kamis, 11 Agustus 2016

Karno

Seminggu lagi, hari kemerdekaan, tiba. Umbul-umbul dan bendera merah-putih berkibar di mana-mana. Di tepi jalan, di depan gedung pemerintahan, bahkan di depan rumah warga. Tapi kali ini, Sumiati, janda beranak satu, tak turut. Di depan rumahnya, tak ada bendera sebagaimana pada rumah tetangganya.  
 
Apa daya. Bukan berarti Sumiati tak bersyukur atas kemerdekaan bangsa yang direbut dari penjajah. Keterbatasan ekonomilah yang membutanya berhitung setengah mati untuk membeli bendera pada penjual di pasar. Uang hasil kerjanya sebagai buruh tani, terlalu berharga jika dikuras untuk sebuah perayaan.

Selama ini, memang ada bendera pembagian dari pemerintah. Tapi itu tidak gratis. Harus ditebus dengan sejumlah uang. Kata aparat desa, sudah begitulah ketentuannya. Sumiati pun memutuskan untuk tak mengambil bagiannya. Tak peduli akan ditegur pemerintah desa, atau dicibir tak nasionalis oleh warga sekitar.

Jadinya, tengah hari, sepulang sekolah, Karno, anak Sumiati yang baru kelas IV SD, protes. 

“Kok, di depan rumah kita tak ada bendera Bu? Seminggu lagi kan hari kemerdekaan,” tegas Karno, sambil meletakkan tasnya di atas meja.

“Iya Nak. Ibu tahu. Meski tak sekolah, ibu juga tahu hari kemerdekaan,” balas Sumiati, sambil tetap fokus membersihkan beras murah yang ditapisnya. 

“Terus kenapa tak ada Bu?” tanyanya lagi.

“Harga bendera mahal Nak. Kalau beli bendera, uang untuk makan kita, jadi ludes,” balasnya.

“Tapi itu kan hari penting Bu. Kata guruku, kita harus mengibarkan bendera sebagai tanda penghormatan terhadap jasa para pahlawan,” keluhnya, gusar. “Kalau tak pasang bendera, nasionalisme kita bisa dipertanyakan Bu.”

“Ibu juga tahu Nak. Itu memang penting. Tapi nyawa kita kan lebih penting daripada hura-hura tentang kemerdekaan. Memangnya siapa yang akan peduli kalau kita tak punya makanan lagi?” balasnya, sambil memandang tenang pada sang anak.

Raut wajah Karno, masih tampak tak menerima.

“Ibu ini, meski tak sekolah, tapi sangat menghargai pahlawan. Makanya Ibu dulu menyarankan kepada almarhum Ayahmu agar kamu diberi nama Soekarno, tokoh yang nasionalismenya tidak diragukan lagi,” sambung Sumiati.

“Justru karena itulah Bu. Nanti aku bisa diejek-ejek sama temanku. Katanya, ‘eh, kok di rumah Soekarno tak ada bendera’. Kan aku malu Bu,” keluhnya lagi.

“Ibu paham Nak. Tapi bukti kalau kita bersyukur atas kemerdekaan kan tak mesti bermegah-megahan. Tak harus pasang bendera yang harganya ratusan ribu. Syukur atas kemerdekaan itu, harus diwujudkan dalam tindakan yang berguna, semisal bekerja di kebun,” pesannya. “Makanya, cukup tak mengambil hak orang lain saja, sudah jadi bukti kalau kita ini warga negara yang baik.”

Karno hanya terdiam. Meski sebenarnya, ia belum bisa menerima kenyataan kalau di depan rumahnya, tak ada bendera.

“Kau tahu Nak, dulu juga, waktu pengibaran bendera di hari proklamasi, benderanya sangat sederhana. Bendera kala itu dijahit Ibu Fatmawati, Istri Presiden Soekarno, dari kain yang didapatkannya dengan susah payah. Nah, itu buktinya kalau negara kita tidak dibentuk dengan cara hura-hura, tapi dengan kesederhanaan dan perjuangan,” lanjutnya.

Setelah mendengar ibunya berkisah, Karno tak menyanggah lagi. Ia merasa percuma saja memaksakan kehandaknya pada sang Ibu. Tak mungkin akan terwujud.

Akhirnya, pagi pun menjelang.

Sumiati terkejut melihat sejahit kain persegi, tergantung di tiang bambu, di depan rumahnya. Ada celah di antara dua kain serupa bendera itu. Potongan kainnya pun, terlihat kaku. Tak sehalus bendera milik tetangga. Warnanya juga tak benar-benar merah dan putih. Jelas tak elok dipandang.

“Bagus kan Bu?” tanya Karno, sambil menghampiri ibunya di gerbang pintu. “Ibu jangan heran, aku yang membuatnya kok. Tidak beli.” 

Ia hanya tersenyum menyaksikan tindakan sang anak yang menggelitik. “Iya, bagus kok Nak.” 

Seketika juga, Sumiati menoleh ke jendela rumahnya. Di sana, dua buah gorden yang berwarna merah muda dan abu-abu, kini tak sepanjang sebelumnya.

Entah kenapa, kali ini, ia tak berhasrat untuk memarahi sang anak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar