Seminggu
lagi, hari kemerdekaan, tiba. Umbul-umbul dan bendera merah-putih berkibar di
mana-mana. Di tepi jalan, di depan gedung pemerintahan, bahkan di depan rumah
warga. Tapi kali ini, Sumiati, janda beranak satu, tak turut. Di depan rumahnya,
tak ada bendera sebagaimana pada rumah tetangganya.
Apa
daya. Bukan berarti Sumiati tak bersyukur atas kemerdekaan bangsa yang direbut
dari penjajah. Keterbatasan ekonomilah yang membutanya berhitung setengah mati
untuk membeli bendera pada penjual di pasar. Uang hasil kerjanya sebagai buruh tani, terlalu berharga jika dikuras untuk sebuah perayaan.
Selama
ini, memang ada bendera pembagian dari pemerintah. Tapi itu tidak gratis. Harus
ditebus dengan sejumlah uang. Kata aparat desa, sudah begitulah ketentuannya.
Sumiati pun memutuskan untuk tak mengambil bagiannya. Tak peduli akan ditegur
pemerintah desa, atau dicibir tak nasionalis oleh warga sekitar.
Jadinya,
tengah hari, sepulang sekolah, Karno, anak Sumiati yang baru kelas IV SD, protes.
“Kok,
di depan rumah kita tak ada bendera Bu? Seminggu lagi kan hari kemerdekaan,” tegas
Karno, sambil meletakkan tasnya di atas meja.
“Iya
Nak. Ibu tahu. Meski tak sekolah, ibu juga tahu hari kemerdekaan,” balas
Sumiati, sambil tetap fokus membersihkan beras murah yang ditapisnya.
“Terus
kenapa tak ada Bu?” tanyanya lagi.
“Harga
bendera mahal Nak. Kalau beli bendera, uang untuk makan kita, jadi ludes,”
balasnya.
“Tapi
itu kan hari penting Bu. Kata guruku, kita harus mengibarkan bendera sebagai
tanda penghormatan terhadap jasa para pahlawan,” keluhnya, gusar. “Kalau tak
pasang bendera, nasionalisme kita bisa dipertanyakan Bu.”
“Ibu
juga tahu Nak. Itu memang penting. Tapi nyawa kita kan lebih penting daripada
hura-hura tentang kemerdekaan. Memangnya siapa yang akan peduli kalau kita tak
punya makanan lagi?” balasnya, sambil memandang tenang pada sang anak.
Raut
wajah Karno, masih tampak tak menerima.
“Ibu
ini, meski tak sekolah, tapi sangat menghargai pahlawan. Makanya Ibu dulu
menyarankan kepada almarhum Ayahmu agar kamu diberi nama Soekarno, tokoh yang
nasionalismenya tidak diragukan lagi,” sambung Sumiati.
“Justru
karena itulah Bu. Nanti aku bisa diejek-ejek sama temanku. Katanya, ‘eh, kok di
rumah Soekarno tak ada bendera’. Kan aku malu Bu,” keluhnya lagi.
“Ibu
paham Nak. Tapi bukti kalau kita bersyukur atas kemerdekaan kan tak mesti
bermegah-megahan. Tak harus pasang bendera yang harganya ratusan ribu. Syukur atas
kemerdekaan itu, harus diwujudkan dalam tindakan yang berguna, semisal bekerja
di kebun,” pesannya. “Makanya, cukup tak mengambil hak orang lain saja, sudah
jadi bukti kalau kita ini warga negara yang baik.”
Karno
hanya terdiam. Meski sebenarnya, ia belum bisa menerima kenyataan kalau di
depan rumahnya, tak ada bendera.
“Kau
tahu Nak, dulu juga, waktu pengibaran bendera di hari proklamasi, benderanya
sangat sederhana. Bendera kala itu dijahit Ibu Fatmawati, Istri Presiden
Soekarno, dari kain yang didapatkannya dengan susah payah. Nah, itu buktinya
kalau negara kita tidak dibentuk dengan cara hura-hura, tapi dengan kesederhanaan
dan perjuangan,” lanjutnya.
Setelah
mendengar ibunya berkisah, Karno tak menyanggah lagi. Ia merasa percuma saja
memaksakan kehandaknya pada sang Ibu. Tak mungkin akan terwujud.
Akhirnya,
pagi pun menjelang.
Sumiati terkejut melihat sejahit kain persegi, tergantung di tiang bambu, di depan rumahnya. Ada celah di antara dua kain serupa bendera itu. Potongan kainnya pun, terlihat kaku. Tak sehalus bendera milik tetangga. Warnanya juga tak benar-benar merah dan putih. Jelas tak elok dipandang.
Sumiati terkejut melihat sejahit kain persegi, tergantung di tiang bambu, di depan rumahnya. Ada celah di antara dua kain serupa bendera itu. Potongan kainnya pun, terlihat kaku. Tak sehalus bendera milik tetangga. Warnanya juga tak benar-benar merah dan putih. Jelas tak elok dipandang.
“Bagus
kan Bu?” tanya Karno, sambil menghampiri ibunya di gerbang pintu. “Ibu jangan
heran, aku yang membuatnya kok. Tidak beli.”
Ia
hanya tersenyum menyaksikan tindakan sang anak yang menggelitik. “Iya, bagus
kok Nak.”
Seketika
juga, Sumiati menoleh ke jendela rumahnya. Di sana, dua buah gorden yang
berwarna merah muda dan abu-abu, kini tak sepanjang sebelumnya.
Entah
kenapa, kali ini, ia tak berhasrat untuk memarahi sang anak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar