Lebih
sepuluh tahun lalu, toko milik Wati berada di puncak kejayaan. Anak-anak, orang
dewasa, bapak-ibu, senantiasa berbelanja di toko itu. Apalagi, segala macam
kebutuhan tersedia. Makanan ringan, beragam jenis sembako, hingga kebutuhan khusus
orang dewasa, semua ada di sana.
Tak
sekadar menjual barang kelontong, di sebelah kiri tokonya, Wati juga membuka sebuah
warung. Di situ ia menyediakan kue tradisional dan kopi beragam rasa yang ia
racik sendiri. Dahulu, kala ia masih terhitung janda muda, para pekerja
kantoran, buruh, hingga pekerja serabutan, senang melewati pagi di warung itu.
Kini,
kejayaan Wati telah berlalu. Toko dan warungnya jadi sepi. Para pembeli tampak
enggan berbelanja di tempat usahanya. Padahal tak sedikit pun yang berubah dari
caranya berdagang. Ia tetap melayani dengan ramah, serta jujur dalam mematok
harga. Bahkan untuk sayur-mayur hasil bercocok tanamnya sendiri, acap kali terjual
dengan harga yang rendah setelah tawar-menawar.
Barang
jualan Wati, kini banyak yang terbuang percuma. Entah kedaluwarsa atau basi.
Kalaupun ada yang laku, hasilnya cuma cukup menutupi ongkos usaha. Nyaris rugi.
Karena itu, ia tak lagi berharap banyak dari keuntungan berdagang. Aktivitas
jual-belinya pun, sekadar untuk mengisi kekosongan. Apalagi, di usia tuanya, dengan
hanya berbekal ijazah sekolah dasar, hanya itu yang bisa ia lakukan.
Perubahan
memang tak bisa dihindari. Di desanya yang telah berubah jadi kawasan perkotaan,
Wati pasrah pada kemajuan. Segala sumber pernghidupannya dahulu, telah menjadi
lahan persaingan bagi warga metropolitan yang berbasis konsumsi. Tak jauh dari
rumahnya, bertebaran warung modern yang menyajikan kue rasa impor, kafe dengan
kerlip lampu dan ingar-bingar, juga toko bagi hasil alam yang dipasok dari luar
negeri.
Kalah
dalam persaingan, Wati pun pasrah jadi konsumen. Membeli jenis kebutuhan yang
dulu ia perdagangkan. Sekadar hidup dengan berbekal laba jual-beli seadanya.
Bayangannya tentang rumah megah, pendidikan anak sampai setinggi-tingginya, dan
bersedekah untuk sesama, sirna sudah. Ia malah masuk golongan orang yang patut
disantuni: seorang janda tua beranak satu dengan penghasilan yang tak menentu.
Kala
Wati tengah menunggu pembeli sambil meratapi dagangannya yang tak selaku dahulu,
pintu terdengar berderik. “Ibu,” sapa Rusmi, anak semata wayangnya. Tak lama
kemudian, gadis itu pun berdiri di depannya dengan wajah semringah. “Aku bawa
sesuatu untuk ibu,” kata Rusmi sembari menyodorkan sekotak makanan cepat saji,
dua botol minuman, kue donat, dan ayam krispi, yang semuanya bermerek asing.
“Hari ini Ibu kan ulang tahun. Harus dirayakan.”
Sontak
saja, raut gembira terukir di wajah Wati. Dengan penuh keharuan, ia pun
menyambut seperangkat kado itu. “Terima kasih, Nak,” balasnya.
Wati
jelas merasa beruntung punya Rusmi yang sekolahnya lumayan tinggi. Seorang gadis
berparas ayu, tamatan sekolah menengah pertama. Pada anaknya itulah, Wati
menggantungkan ketenangan hidupnya di masa depan. Apalagi Rusmi telah bekerja
sebagai pramuniaga di sebuah supermarket.
Tiba-tiba,
Wati teringat lagi keputusannya menjual sepetak tanah warisan orang tuanya
dahulu. Di tanah itulah, berdiri sebuah pasar modern, tempat Rusmi bekerja. Dan
meskipun Rusmi tak menempuh jenjang pendidikan yang memadai, ia tetap diterima
sebagai karyawan. Semua itu karena Wati punya kesepakatan dengan
pengusaha-pembeli tanahnya dahulu, bahwa anaknya akan dipekerjakan tanpa syarat
apa pun.
Kini,
Wati merasa, menjual tanah warisan orang tuanya itu dahulu, adalah keputusan
yang tepat.
“Kau harusnya tak perlu repot-repot, Nak,”
sambung Wati setelah memeriksa setiap sisi bingkisan pemberian anaknya.
“Tak
apa-apa, Bu. Gajiku juga sudah banyak sekarang. Apalagi, bulan ini aku dapat
banyak bonus dari kantor karena penjualan di tempat kerjaku meningkat,” tangkis
Rusmi, berusaha menunjukkan ketulusannya. “Andai saja sekolahku lebih tinggi
lagi, mungkin jabatanku lebih tinggi juga, gajiku akan lebih banyak, dan
pastilah aku akan membelikan kado yang lebih mewah lagi untuk Ibu.”
Wati
tersentuh mendengar harapan anaknya. “Maafkan aku yang tak bisa meyekolahkanmu
tinggi-tinggi, Nak,” aku Wati. “Tapi kita bersyukur, meski pun kau cuma tamatan
SMP, kau masih diterima bekerja di supermarket itu. Ya, kalau nanti kau punya
rezeki yang banyak, sekolahkanlah anakmu tinggi-tinggi, agar bisa jadi bos di
tempat kerjamu kelak.”
Rusmi
hanya tersenyum, sembari membayangkan keadaannya kini, juga masa depannya.
Pelan-pelan,
Wati pun menyibak sekotak donat warna-warni itu. “Lidahku sepertinya tak akan cocok
dengan makanan seperti ini, Nak.”
“Ah,
Ibu harus makan. Sekali cicipi, pasti Ibu suka. Ini makanan mahal, Bu,” tutur
Rusmi dengan sikap sebagaimana biasanya ia menawarkan produk pada konsumen di
supermarket. “Makanan di tempat kerjaku enak-enak, Bu. Kalau saja Ibu bisa buat
kopi dan kue seenak ini, aku yakin warung kita pasti laku keras. Setiap hari, aku
selalu sibuk melayani pembeli kue ini di tempat kerja.”
Wati
pun melahap sebuah donat berbalut cokelat pekat. Rusmi turut mengecap dengan
memilih rasa keju.
“Mana
bisa aku jualan makanan beginian. Membaca saja aku tak lancar. Apalagi kue
mahal begini kan pakai bahasa bule,” kata Wati.
Mereka
berdua hanya tertawa lepas. Seakan tak ada hubungan antara masalah kehidupan
mereka dengan apa yang mereka makan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar