Didi adalah seorang kakak yang bertanggung
jawab. Ia menyadari kedudukannya sebagai anak sulung dari seorang adik bungsu. Apalagi
setelah ibunya meninggal enam tahun lalu, dan ayahnya pergi merantau ke negeri
seberang, ia terpaksa menjadi pemimpin rumah tangga. Meski begitu, ia tak
pernah bersikap otoriter terhadap adiknya.
Seperti hari-hari sebelumnya, Didi telah
terbiasa bangun pagi lebih awal. Ia harus berangkat ke kios milik pamannya.
Menjadi pramuniaga bahan bangunan demi memenuhi kebutuhan hidup. Dalam
seminggu, ia menjaga toko pamannya selama tiga hari, Senin, Rabu, dan Sabtu. Sang
adik, kebagian tugas di hari minggu, kala libur sekolah.
Didi memang telah berstatus
mahasiswa dengan waktu yang longgar, sedangkan sang adik masih kelas tiga SMA
dan tengah sibuk-sibuknya les sore untuk mengadapi ujian nasional. Padahal,
dalam hitungan tahun, umur mereka sebenarnya sama. Dahulu, masalah biaya
perlengkapan sekolahlah yang membuat sang adik menganggur setahun sebelum masuk
sekolah.
Kesamaan umur tak membuat Didi
menuntut tanggung jawab dan hak yang sama dengan adiknya. Ia tetap merasa wajib
mengayomi, termasuk berupaya memperoleh pasokan dana lebih dengan tekun menjaga
toko sang paman. Apalagi, ada sesuatu yang membuat Didi semakin bersemangat
berada di toko. Baru seminggu yang lalu, ia menyadari ada sosok wanita cantik
yang kerap menunggu bus di depan toko pamannya. Wanita itu tampaknya mahasiswa,
sama sepertinya.
Sosok wanita itu dirasa Didi sangat
memikatnya. Selain cantik, ia juga tak pelit melempar senyuman. Tapi jalan
buntu tetap membentang luas. Sejak dulu, Didi tak berani tampil gagah di
hadapan lawan jenis. Si wanita pun, sepertinya pendiam. Akhirnya, mereka hanya memendam
kesan masing-masing. Imbasnya, selama dua minggu, enam hari sudah mereka
berpapasan. Tapi, tak sekali pun mereka berbalas kata.
Cerita hari ini berbeda. Tepat di
Senin pagi, hujan deras disertai angin kencang, turun. Suasana pun berubah menjadi
dingin, sedingin perasaan Didi. Ia hanya bisa memandangi idamannya di balik
kaca jendela toko yang berembun. Wanita itu sedari tadi berdiri mematung,
menunggu bus datang.
Dalam hatinya, Didi berdoa agar bus
segera muncul dan melenyapakan sosok wanita itu segera. Ia takut dicap sebagai
lelaki yang tak berperasaan. Tak perhatian terhadap seorang wanita yang tengah
terjebak hujan dan kedinginan. Tapi doanya seperti lebur ditindih butiran
hujan. Terpaksa, kelaki-lakiannya menyeruat. Mau tak mau, ia harus berani
menawarkan perhatian, demi harga diri sebagai lelaki.
Didi berdeham. Mencoba memberi
tanda pada si wanita bahwa ia akan memulai percakapan. Si wanita hanya menoleh
sejenak, tersenyum sebisanya, lalu berpaling darinya.
“Langit sangat gelap. Dingin sekali.
Ayo masuk ke dalam,” tutur Didi. Ia berusaha tampak percaya diri. Ia menyembunyikan
kedua tangannya yang gemetaran di balik saku jaket. “Angin juga kencang. Lama-lama,
kau kebasahan jika di sini terus.”
Si wanita menoleh ke langit. Ia
mencoba memastikan apa benar keganasan hujan masih lama, dan masuk ke ruangan
adalah tawaran yang patut dipertimbangkan. Tapi ia menolaknya, meski kata-kata
Didi memang benar. “Iya, terima kasih. Aku di sini saja. Jika jam segini,
biasanya bus akan segera datang. Aku takut ketinggalan,” balasnya.
“Tapi kan menunggunya bisa di dalam
saja. Nanti pas lewat, biar aku yang menahannya,” tawar Didi.
Si wanita manis itu, tampak
tersipu. Jelas ia tersanjung. “Tak usah. Aku buru-buru. Tidak lama lagi, jam
delapan. Ujian tengah semesterku akan dimulai. Aku tak boleh lengah memerhatikan
bus,” tolaknya lagi.
Didi melihat jam tangannya. “Sekarang
sudah hampir jam delapan. Oh iya, aku dengar-dengar, bus jurusan ke kampusmu tak
beroperasi hari ini. Katanya sih, para sopir berunjuk rasa. Mereka meminta
kenaikan upah. Bagaimana kalau aku mengantarmu saja ke kampus?” tawar Didi,
sambil menunjuk dan menoleh ke arah motor miliknya. Sebenarnya, ia hanya
mengarang cerita tentang demontrasi itu.
“Tapi…. Tak usah,” balas Rina.
“Ah, sudah. Jangan sungkan. Katanya
kamu ada ujian. Aku orang baik-baik kok. Kamu percaya kan?” tutur Didi, sambil
menatap si pujaan. Ia berusaha menampakkan mimik sebersahabat mungkin. Saat
ini, ia masih segan-segan melemparkan senyuman.
Wanita itu tak bisa menahan tawa
kecilnya.
Kedua insan itu pun akhirnya pergi di
bawah guyuran hujan. Berlindung di balik jas hujan yang menghangatkan, sehangat
perasaan mereka yang mendalam. Dalam diam, mereka berbicara dari hati ke hati.
Bertanya-tanya tentang tanggapan yang lain terhadap diri sendiri. Didi berharap
pengorbanannya akan teringat abadi di benak si pujaan. Sedangkan si wanita
berharap pengorbanan itu bukan hanya karena rasa kasihan. Mereka saling berharap
lebih.
Di tengah hujan, mereka hanya
terdiam. Hujan deras membuat suasana tak nyaman untuk mengobrol. Sekeras apa pun
suara, pasti teredam nyanyian hujan yang menderu. Apalagi, dengan segala
rintangan, Didi memang harusnya fokus mengendarai motor. Tanggung jawabnya
tinggi untuk menjaga keselamatan wanita yang baru dikenalnya. Apalagi, ia yang
menawarkan bantuan. Akhirnya, waktu berlalu tanpa saling bertanya, termasuk
tentang nama.
Dan, sesi perkenalan, tak akan pernah
terjadi. Perpisahan yang berkesan juga, tak mungkin. Ban motor Didi selip. Motornya
terjatuh. Ia pun terhempas jauh. Di balik butiran hujan, mata sang pujaan, menatapnya sayup-sayup tergolek tak berdaya di samping jalan. Sampai akhirnya, Didi
lenyap di balik kerumunan orang-orang. Dan, itulah akhir pertemuan mereka.
Peristiwa itu adalah perpisahan
yang tak diinginkan. Tapi pertemuan mereka masih mungkin terjadi. Keduanya
ditakdirkan masih bernyawa. Wanita pujaan Didi lebih beruntung. Lututnya hanya
lebam, serta sikunya tergores aspal dan berdarah. Sedangkan Didi mengalami luka
yang cukup berat. Kepalanya terbentur di trotoar jalan. Keras.
***
Seminggu setelah kejadian kecelakaan,
Wanita pujaan Didi, kembali memulai harinya sebagai seorang mahasiswa. Namanya
Rina. Hari ini, ia berangkat ke kampus. Seperti biasa, ia akan menunggu bus di
depan toko yang dijaga Didi dahulu. Tapi kali ini, ia sadar Didi tak mungkin di
sana. Namun setidaknya, ia masih bisa mengingat kesan menegangkan kala mereka
saling melempar senyuman.
Seperti biasa, Rina akan
menghabiaskan lama waktunya untuk menunggu bus. Selain karena bus sering datang
tak tepat waktu, tentu juga untuk mencuri pandangan si lelaki pemalu, Didi. Dan
ternyata, hari ini, sepertinya ia masih bisa melakukannya. Ada sosok seperti
Didi di balik kaca jendela toko. Ia pun mencoba mengerjap-ngerjapkan matanya.
Berusaha meyakinkan diri kalau itu bukanlah tipuan matanya sendiri.
Rina pun menghampiri sosok yang
tengah merapikan barang jualan itu.
“Hai, bagaimana kabarmu?” tanya
Rina segera. Raut wajahnya berat untuk tersenyum lepas. Perasaannya masih
campur aduk, antara yakin ini kenyataan atau tidak.
“Maksudmu?” lelaki itu balik
bertanya. Mimiknya jelas agak berbeda dengan Didi.
Wajah Rina balik tanpa ekspresi. Ia
merasa ada yang ganjil. Didi dikiranya, tak lagi mengenal dirinya. Ia menduga,
ada sesuatu yang terjadi dengan ingatan Didi pasca kecelakaan.
“Namaku Rina. Kita belum sempat
berkenalan,” tuturnya.
Lelaki itu hanya melongo. Lupa
memperkenalkan dirinya kembali. Ia masih heran, bagaimana bisa, ada seorang
wanita begitu lancang pada lawan jenis, dan sok akrab.
Suasana menjadi lengang. Kaku.
Mereka terdiam beberapa detik.
“Terima kasih atas kebaikanmu di
hari kemarin. Kamu masih ingat kan?” tutur Rina. Ia mencoba mengingatkan
tentang peristiwa kecelakaan itu.
“Maaf. Aku tak tahu maksudmu.”
Lelaki itu membalas dengan sikap yang polos, tanpa ekspresi.
Rina menjadi semakin bingung.
Dugaan menakutkan di benaknya, diyanininya benar-benar terjadi. Didi amnesia.
“Tak mengapa. Maaf memaksamu untuk
mengingat-ingat peristiwa itu. Aku harap kau baik-baik saja,” balasnya.
Segera, Rina pun berpamitan. Pergi
meninggalkan toko kenangannya. Ia berlalu di balik kesedihan. Butiran hujan jatuh
hampir bersamaan dengan tetesan air matanya. Akhirnya, ia lenyap di balik bus
yang kali ini datang tepat waktu.
Lama-lama emosi Rina kembali
stabil. Ia tak lagi mempermasalahkan jika sosok yang diyakininya sebagai Didi,
telah melupakan awal cerita mereka. Kalau pun sosok pujaannya melupakan semua
kenangannya, bisa jadi sebuah keuntungan. Itu berarti, tak ada sesosok wanita pun
di benak lelaki itu. Hanya dirinya. Ia hanya perlu menggoreskan kesan-kesan
baru di memori sang pujaan.
***
Waktu cepat berlalu. Didit kini semakin
dewasa, sama seperti kakaknya, Didi. Ia pun mulai berhasrat untuk memiliki
hubungan special dengan seorang lawan jenis. Belakangan, ia pun semakin dekat dengan
seorang wanita. Namanya Rina. Wanita itu dirasa aneh oleh Didit. Tapi ia
menyukainya. Mereka berkenalan di toko milik pamannya lebih sebulan yang lalu
Sampailah waktunya, Didit hendak
memperkenalkan Rina kepada kakaknya sendiri, Didi. Sang kakak, memang selalu
suka mempertanyakan perihal keseharian Didit, termasuk bagaimana keadaan toko
paman mereka. Sebagai saudara kembar, mereka memang dekat secara emosional.
Apalagi setelah mata Didi tak mampu lagi melihat setelah kecelakaan yang dialaminya. Hanya Diditlah tempat Didi
memperoleh gambaran tentang dunia luar.
Saat mereka tengah bersantai di
ruang keluarga selepas makan malam, Didit memulai percakapan.
“Kak, aku lagi dekat dengan seorang
wanita. Aku kagum padanya. Dia wanita yang cantik, baik pula,” tutur Didit,
sambil senyum-senyum sendiri. “Kalau kakak tahu bagaimana menariknya dia, pasti
kakak juga mendambakannya. Bisa-bisa, kita bertengkar gara-gara dia.”
Didi hanya tersenyum mendengarkan
gelitikan adiknya yang kasmaran. “Kamu bisa saja. Tapi jika saja aku bisa
melihatnya, mungkin dugaanmu benar. Dan kau pasti celaka. Sebagai adik, kau
harus mengalah padaku,” candanya.
Mereka berdua pun tertawa lepas
beberapa saat.
“Semoga ayah segera pulang. Aku
ingin menjalin hubungan yang serius dengan wanita itu. Kakak tak keberatan kan
kalau aku…?” Didit tak kuasa melanjutkan ucapannya.
“Iya. Tak mengapa. Tak ada larangan
seorang adik mendahului kakaknya menikah. Entah kapanlah kau akan menikah jika
aku harus mendahuluimu. Kau tahu sendiri keadaanku sekarang,” tutur Didi.
Didit jadi terharu. Ia merasa
bersalah mengarahkan pembahasan pada keadaan diri sang kakak. Ia jadi tak kuasa
menahan keharuannya. Tapi ia berusaha tak membuat suasana menjadi penuh kesedihan.
“Kakak tak usah khawatir, jodoh kan
di tangan Tuhan. Kakak sendiri yang pernah meyakinkanku bahwa orang seperti
kita, yang hidup serba sederhana, berhak juga atas cinta yang luar biasa. Itu
karena tuhan yang Maha Adil, telah menetapkannya,” tutur Didit..
Lengang lagi. Hujan di luar semakin
deras sejak tadi pagi. Keadaan itu menimbulkan kesan yang berbeda bagi Didi. Ia
merenungkan, andai saja hujan waktu itu tak menjadi sebuah perpisahan, wajar
jika ia berharap memiliki wanita pujaannya, sama seperti sang adik.
Keheningan pun menyelimuti beranda
rumah mereka yang sederhana. Angan-angan tentang masa depan mereka, membuat
suasana menjadi semakin dingin.
Berselang beberapa detik, mata
Didit terpaku pada keranjang plastik yang dibawa sang kakak dari toko. Isinya
memang masih seperti biasa. Di dalamnya ada makanan siap saji dan bahan makanan
lain yang siap diracik Didit. Tapi jas hujan yang tergeletak di atas bahan itu,
menimbulkan tanya di benak Didit. Itulah jas miliknya yang kata sang kakak,
telah hilang. Lenyap bersama wanita yang dibonceng Didi saat kecelakaan terjadi.
Wanita itulah yang mengenakannya. Wanita yang entah siapa dan di mana saat ini,
Didi tak tahu..
“Kakak dapat jas hujanku dari mana?
Bukankah ini jas yang kata kakak telah hilang dipakai wanita yang kakak bonceng
dulu?” tanya Didit segera.
“Apa?” tanya Didit, setengah kaget.
“Kamu pasti salah lihat. Itukan jas punyaku. Punyamu kan sudah kubilang hilang.
Aku sudah minta maaf untuk itu”
“Tidak kak. Jas punya kakak digantung
di teras. Ini memang punyaku. Warna punya kita kan beda,” tegas Didit. Ia lalu
membalik-balik jas itu. “Ini, ada namaku. Jelas ini punyaku kak.”
Didit jadi berpikir berat. Ia
mencoba mengingat-ingat kejadian saat berada di toko pamannya siang tadi. Ada
banyak tanda-tanda ganjil di tengah hujan saat itu. Ada tapakan kaki yang
mendekatinya, juga tangisan kecil yang didengarnya sejenak, lalu menghilang. Itu
diyakininya punya hubungan dengan kembalinya jas hujan milik Didit. Bisa jadi
itu adalah wanita pujaannya dahulu. Ia jadi menyesal telah menampakkan diri di
toko penuh kenangan itu.
“Kakak kok diam saja?” tanya Didit.
“Kau tahu keadaanku kan?” balas
Didi. Suaranya meninggi. Ia terdiam sejenak, menenangkan dirinya, lalu
melanjutkan perkataannya. “Aku tak tahu datangnya dari mana. Mungkin saja
wanita yang dahulu kumaksud, memasukkannya ke keranjang tanpa kutahu.
Entahlah.”
Untuk kesekian kalinya, Didit
menyalahkan dirinya, telah bertanya sesuatu yang menjurus pada peristiwa kelam
yang dialami sang kakak. Kini, ia tak ingin bertanya lagi.
***
Hari berganti, Rina pun menghilang
entah ke mana. Didit tak mengetahui keberadaannya. Wanita itu menghilang
bertepatan dengan hari kembalinya jas hujan miliknya. Tapi tak ada yang
mengerti hubungannya. Tidak juga Didit, tidak juga Didi.
Musim hujan pun telah berlalu.
Mereka berdua mencoba melupakan kenangan pahitnya masing-masing. Sebuah cerita
masa lalu yang saling berhubungan. Mereka berharap, butiran hujan akan berjatuhan
kembali saat luka tentang kenangan itu, benar-benar telah mengering.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar