Sabtu, 28 Mei 2016

Hujan Terakhir

Didi adalah seorang kakak yang bertanggung jawab. Ia menyadari kedudukannya sebagai anak sulung dari seorang adik bungsu. Apalagi setelah ibunya meninggal enam tahun lalu, dan ayahnya pergi merantau ke negeri seberang, ia terpaksa menjadi pemimpin rumah tangga. Meski begitu, ia tak pernah bersikap otoriter terhadap adiknya. 


Seperti hari-hari sebelumnya, Didi telah terbiasa bangun pagi lebih awal. Ia harus berangkat ke kios milik pamannya. Menjadi pramuniaga bahan bangunan demi memenuhi kebutuhan hidup. Dalam seminggu, ia menjaga toko pamannya selama tiga hari, Senin, Rabu, dan Sabtu. Sang adik, kebagian tugas di hari minggu, kala libur sekolah.
Didi memang telah berstatus mahasiswa dengan waktu yang longgar, sedangkan sang adik masih kelas tiga SMA dan tengah sibuk-sibuknya les sore untuk mengadapi ujian nasional. Padahal, dalam hitungan tahun, umur mereka sebenarnya sama. Dahulu, masalah biaya perlengkapan sekolahlah yang membuat sang adik menganggur setahun sebelum masuk sekolah.
Kesamaan umur tak membuat Didi menuntut tanggung jawab dan hak yang sama dengan adiknya. Ia tetap merasa wajib mengayomi, termasuk berupaya memperoleh pasokan dana lebih dengan tekun menjaga toko sang paman. Apalagi, ada sesuatu yang membuat Didi semakin bersemangat berada di toko. Baru seminggu yang lalu, ia menyadari ada sosok wanita cantik yang kerap menunggu bus di depan toko pamannya. Wanita itu tampaknya mahasiswa, sama sepertinya.
Sosok wanita itu dirasa Didi sangat memikatnya. Selain cantik, ia juga tak pelit melempar senyuman. Tapi jalan buntu tetap membentang luas. Sejak dulu, Didi tak berani tampil gagah di hadapan lawan jenis. Si wanita pun, sepertinya pendiam. Akhirnya, mereka hanya memendam kesan masing-masing. Imbasnya, selama dua minggu, enam hari sudah mereka berpapasan. Tapi, tak sekali pun mereka berbalas kata.
Cerita hari ini berbeda. Tepat di Senin pagi, hujan deras disertai angin kencang, turun. Suasana pun berubah menjadi dingin, sedingin perasaan Didi. Ia hanya bisa memandangi idamannya di balik kaca jendela toko yang berembun. Wanita itu sedari tadi berdiri mematung, menunggu bus datang.
Dalam hatinya, Didi berdoa agar bus segera muncul dan melenyapakan sosok wanita itu segera. Ia takut dicap sebagai lelaki yang tak berperasaan. Tak perhatian terhadap seorang wanita yang tengah terjebak hujan dan kedinginan. Tapi doanya seperti lebur ditindih butiran hujan. Terpaksa, kelaki-lakiannya menyeruat. Mau tak mau, ia harus berani menawarkan perhatian, demi harga diri sebagai lelaki.
Didi berdeham. Mencoba memberi tanda pada si wanita bahwa ia akan memulai percakapan. Si wanita hanya menoleh sejenak, tersenyum sebisanya, lalu berpaling darinya.
“Langit sangat gelap. Dingin sekali. Ayo masuk ke dalam,” tutur Didi. Ia berusaha tampak percaya diri. Ia menyembunyikan kedua tangannya yang gemetaran di balik saku jaket. “Angin juga kencang. Lama-lama, kau kebasahan jika di sini terus.”
Si wanita menoleh ke langit. Ia mencoba memastikan apa benar keganasan hujan masih lama, dan masuk ke ruangan adalah tawaran yang patut dipertimbangkan. Tapi ia menolaknya, meski kata-kata Didi memang benar. “Iya, terima kasih. Aku di sini saja. Jika jam segini, biasanya bus akan segera datang. Aku takut ketinggalan,” balasnya.
“Tapi kan menunggunya bisa di dalam saja. Nanti pas lewat, biar aku yang menahannya,” tawar Didi.
Si wanita manis itu, tampak tersipu. Jelas ia tersanjung. “Tak usah. Aku buru-buru. Tidak lama lagi, jam delapan. Ujian tengah semesterku akan dimulai. Aku tak boleh lengah memerhatikan bus,” tolaknya lagi.
Didi melihat jam tangannya. “Sekarang sudah hampir jam delapan. Oh iya, aku dengar-dengar, bus jurusan ke kampusmu tak beroperasi hari ini. Katanya sih, para sopir berunjuk rasa. Mereka meminta kenaikan upah. Bagaimana kalau aku mengantarmu saja ke kampus?” tawar Didi, sambil menunjuk dan menoleh ke arah motor miliknya. Sebenarnya, ia hanya mengarang cerita tentang demontrasi itu.
“Tapi…. Tak usah,” balas Rina.
“Ah, sudah. Jangan sungkan. Katanya kamu ada ujian. Aku orang baik-baik kok. Kamu percaya kan?” tutur Didi, sambil menatap si pujaan. Ia berusaha menampakkan mimik sebersahabat mungkin. Saat ini, ia masih segan-segan melemparkan senyuman.
Wanita itu tak bisa menahan tawa kecilnya.
Kedua insan itu pun akhirnya pergi di bawah guyuran hujan. Berlindung di balik jas hujan yang menghangatkan, sehangat perasaan mereka yang mendalam. Dalam diam, mereka berbicara dari hati ke hati. Bertanya-tanya tentang tanggapan yang lain terhadap diri sendiri. Didi berharap pengorbanannya akan teringat abadi di benak si pujaan. Sedangkan si wanita berharap pengorbanan itu bukan hanya karena rasa kasihan. Mereka saling berharap lebih.
Di tengah hujan, mereka hanya terdiam. Hujan deras membuat suasana tak nyaman untuk mengobrol. Sekeras apa pun suara, pasti teredam nyanyian hujan yang menderu. Apalagi, dengan segala rintangan, Didi memang harusnya fokus mengendarai motor. Tanggung jawabnya tinggi untuk menjaga keselamatan wanita yang baru dikenalnya. Apalagi, ia yang menawarkan bantuan. Akhirnya, waktu berlalu tanpa saling bertanya, termasuk tentang nama.
Dan, sesi perkenalan, tak akan pernah terjadi. Perpisahan yang berkesan juga, tak mungkin. Ban motor Didi selip. Motornya terjatuh. Ia pun terhempas jauh. Di balik butiran hujan, mata sang pujaan, menatapnya sayup-sayup tergolek tak berdaya di samping jalan. Sampai akhirnya, Didi lenyap di balik kerumunan orang-orang. Dan, itulah akhir pertemuan mereka.
Peristiwa itu adalah perpisahan yang tak diinginkan. Tapi pertemuan mereka masih mungkin terjadi. Keduanya ditakdirkan masih bernyawa. Wanita pujaan Didi lebih beruntung. Lututnya hanya lebam, serta sikunya tergores aspal dan berdarah. Sedangkan Didi mengalami luka yang cukup berat. Kepalanya terbentur di trotoar jalan. Keras.
***
Seminggu setelah kejadian kecelakaan, Wanita pujaan Didi, kembali memulai harinya sebagai seorang mahasiswa. Namanya Rina. Hari ini, ia berangkat ke kampus. Seperti biasa, ia akan menunggu bus di depan toko yang dijaga Didi dahulu. Tapi kali ini, ia sadar Didi tak mungkin di sana. Namun setidaknya, ia masih bisa mengingat kesan menegangkan kala mereka saling melempar senyuman.
Seperti biasa, Rina akan menghabiaskan lama waktunya untuk menunggu bus. Selain karena bus sering datang tak tepat waktu, tentu juga untuk mencuri pandangan si lelaki pemalu, Didi. Dan ternyata, hari ini, sepertinya ia masih bisa melakukannya. Ada sosok seperti Didi di balik kaca jendela toko. Ia pun mencoba mengerjap-ngerjapkan matanya. Berusaha meyakinkan diri kalau itu bukanlah tipuan matanya sendiri.
Rina pun menghampiri sosok yang tengah merapikan barang jualan itu.
“Hai, bagaimana kabarmu?” tanya Rina segera. Raut wajahnya berat untuk tersenyum lepas. Perasaannya masih campur aduk, antara yakin ini kenyataan atau tidak.
“Maksudmu?” lelaki itu balik bertanya. Mimiknya jelas agak berbeda dengan Didi.
Wajah Rina balik tanpa ekspresi. Ia merasa ada yang ganjil. Didi dikiranya, tak lagi mengenal dirinya. Ia menduga, ada sesuatu yang terjadi dengan ingatan Didi pasca kecelakaan.
“Namaku Rina. Kita belum sempat berkenalan,” tuturnya.
Lelaki itu hanya melongo. Lupa memperkenalkan dirinya kembali. Ia masih heran, bagaimana bisa, ada seorang wanita begitu lancang pada lawan jenis, dan sok akrab.
Suasana menjadi lengang. Kaku. Mereka terdiam beberapa detik.
“Terima kasih atas kebaikanmu di hari kemarin. Kamu masih ingat kan?” tutur Rina. Ia mencoba mengingatkan tentang peristiwa kecelakaan itu.
“Maaf. Aku tak tahu maksudmu.” Lelaki itu membalas dengan sikap yang polos, tanpa ekspresi.
Rina menjadi semakin bingung. Dugaan menakutkan di benaknya, diyanininya benar-benar terjadi. Didi amnesia.
“Tak mengapa. Maaf memaksamu untuk mengingat-ingat peristiwa itu. Aku harap kau baik-baik saja,” balasnya.
Segera, Rina pun berpamitan. Pergi meninggalkan toko kenangannya. Ia berlalu di balik kesedihan. Butiran hujan jatuh hampir bersamaan dengan tetesan air matanya. Akhirnya, ia lenyap di balik bus yang kali ini datang tepat waktu.
Lama-lama emosi Rina kembali stabil. Ia tak lagi mempermasalahkan jika sosok yang diyakininya sebagai Didi, telah melupakan awal cerita mereka. Kalau pun sosok pujaannya melupakan semua kenangannya, bisa jadi sebuah keuntungan. Itu berarti, tak ada sesosok wanita pun di benak lelaki itu. Hanya dirinya. Ia hanya perlu menggoreskan kesan-kesan baru di memori sang pujaan.
***
Waktu cepat berlalu. Didit kini semakin dewasa, sama seperti kakaknya, Didi. Ia pun mulai berhasrat untuk memiliki hubungan special dengan seorang lawan jenis. Belakangan, ia pun semakin dekat dengan seorang wanita. Namanya Rina. Wanita itu dirasa aneh oleh Didit. Tapi ia menyukainya. Mereka berkenalan di toko milik pamannya lebih sebulan yang lalu
Sampailah waktunya, Didit hendak memperkenalkan Rina kepada kakaknya sendiri, Didi. Sang kakak, memang selalu suka mempertanyakan perihal keseharian Didit, termasuk bagaimana keadaan toko paman mereka. Sebagai saudara kembar, mereka memang dekat secara emosional. Apalagi setelah mata Didi tak mampu lagi melihat setelah kecelakaan yang dialaminya. Hanya Diditlah tempat Didi memperoleh gambaran tentang dunia luar.
Saat mereka tengah bersantai di ruang keluarga selepas makan malam, Didit memulai percakapan.
“Kak, aku lagi dekat dengan seorang wanita. Aku kagum padanya. Dia wanita yang cantik, baik pula,” tutur Didit, sambil senyum-senyum sendiri. “Kalau kakak tahu bagaimana menariknya dia, pasti kakak juga mendambakannya. Bisa-bisa, kita bertengkar gara-gara dia.”
Didi hanya tersenyum mendengarkan gelitikan adiknya yang kasmaran. “Kamu bisa saja. Tapi jika saja aku bisa melihatnya, mungkin dugaanmu benar. Dan kau pasti celaka. Sebagai adik, kau harus mengalah padaku,” candanya.
Mereka berdua pun tertawa lepas beberapa saat.
“Semoga ayah segera pulang. Aku ingin menjalin hubungan yang serius dengan wanita itu. Kakak tak keberatan kan kalau aku…?” Didit tak kuasa melanjutkan ucapannya.
“Iya. Tak mengapa. Tak ada larangan seorang adik mendahului kakaknya menikah. Entah kapanlah kau akan menikah jika aku harus mendahuluimu. Kau tahu sendiri keadaanku sekarang,” tutur Didi.
Didit jadi terharu. Ia merasa bersalah mengarahkan pembahasan pada keadaan diri sang kakak. Ia jadi tak kuasa menahan keharuannya. Tapi ia berusaha tak membuat suasana menjadi penuh kesedihan.
“Kakak tak usah khawatir, jodoh kan di tangan Tuhan. Kakak sendiri yang pernah meyakinkanku bahwa orang seperti kita, yang hidup serba sederhana, berhak juga atas cinta yang luar biasa. Itu karena tuhan yang Maha Adil, telah menetapkannya,” tutur Didit..
Lengang lagi. Hujan di luar semakin deras sejak tadi pagi. Keadaan itu menimbulkan kesan yang berbeda bagi Didi. Ia merenungkan, andai saja hujan waktu itu tak menjadi sebuah perpisahan, wajar jika ia berharap memiliki wanita pujaannya, sama seperti sang adik.
Keheningan pun menyelimuti beranda rumah mereka yang sederhana. Angan-angan tentang masa depan mereka, membuat suasana menjadi semakin dingin.
Berselang beberapa detik, mata Didit terpaku pada keranjang plastik yang dibawa sang kakak dari toko. Isinya memang masih seperti biasa. Di dalamnya ada makanan siap saji dan bahan makanan lain yang siap diracik Didit. Tapi jas hujan yang tergeletak di atas bahan itu, menimbulkan tanya di benak Didit. Itulah jas miliknya yang kata sang kakak, telah hilang. Lenyap bersama wanita yang dibonceng Didi saat kecelakaan terjadi. Wanita itulah yang mengenakannya. Wanita yang entah siapa dan di mana saat ini, Didi tak tahu..
“Kakak dapat jas hujanku dari mana? Bukankah ini jas yang kata kakak telah hilang dipakai wanita yang kakak bonceng dulu?” tanya Didit segera.
“Apa?” tanya Didit, setengah kaget. “Kamu pasti salah lihat. Itukan jas punyaku. Punyamu kan sudah kubilang hilang. Aku sudah minta maaf untuk itu”
“Tidak kak. Jas punya kakak digantung di teras. Ini memang punyaku. Warna punya kita kan beda,” tegas Didit. Ia lalu membalik-balik jas itu. “Ini, ada namaku. Jelas ini punyaku kak.”
Didit jadi berpikir berat. Ia mencoba mengingat-ingat kejadian saat berada di toko pamannya siang tadi. Ada banyak tanda-tanda ganjil di tengah hujan saat itu. Ada tapakan kaki yang mendekatinya, juga tangisan kecil yang didengarnya sejenak, lalu menghilang. Itu diyakininya punya hubungan dengan kembalinya jas hujan milik Didit. Bisa jadi itu adalah wanita pujaannya dahulu. Ia jadi menyesal telah menampakkan diri di toko penuh kenangan itu.
“Kakak kok diam saja?” tanya Didit.
“Kau tahu keadaanku kan?” balas Didi. Suaranya meninggi. Ia terdiam sejenak, menenangkan dirinya, lalu melanjutkan perkataannya. “Aku tak tahu datangnya dari mana. Mungkin saja wanita yang dahulu kumaksud, memasukkannya ke keranjang tanpa kutahu. Entahlah.”
Untuk kesekian kalinya, Didit menyalahkan dirinya, telah bertanya sesuatu yang menjurus pada peristiwa kelam yang dialami sang kakak. Kini, ia tak ingin bertanya lagi.
***
Hari berganti, Rina pun menghilang entah ke mana. Didit tak mengetahui keberadaannya. Wanita itu menghilang bertepatan dengan hari kembalinya jas hujan miliknya. Tapi tak ada yang mengerti hubungannya. Tidak juga Didit, tidak juga Didi.
Musim hujan pun telah berlalu. Mereka berdua mencoba melupakan kenangan pahitnya masing-masing. Sebuah cerita masa lalu yang saling berhubungan. Mereka berharap, butiran hujan akan berjatuhan kembali saat luka tentang kenangan itu, benar-benar telah mengering.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar