Tak
ada jadwal mengajar untuk dosen hari ini. Semua ruangan terpakai untuk
penyelenggaraan ujian tertulis masuk perguruan tinggi. Tapi bukan berarti dosen
tak punya kegiatan. Negara telah memperbantukan mereka sebagai pengawas ujian.
Mereka wajib memastikan proses ujian berjalan dengan baik.
Namun
belum jam istirahat, Mulkan, sang dosen pengawas, sudah keluyuran lebih dahulu.
Kepada temannya, ia beralasan sedang penat dan butuh minum. Padahal sejujurnya, ia bosan saja harus serius
mengamati anak baru gede yang juga serius mengerjakan soal. Ia tak mau ambil
pusing dengan cara apa para colon mahasiswa itu melulusi ujian.
Sejujurnya,
ada juga sedikit rasa bersalah dalam hati Mulkan tiap kali meninggalkan tugas
sebelum waktunya. Apalagi, ia digaji atas pekerjaan itu. Tapi ia sudah terbiasa
melakukannya. Pada jam-jam mengajarnya sebagai dosen pun, ia sudah terbiasa
mempermainkan waktu. Dan beruntung, ia tak pernah mendapat ganjaran apa-apa.
Kantin
akhirnya menjadi tempat Mulkan mengulur waktu.
Setelah
duduk beberapa saat di salah satu bangku, terlihatlah olehnya seorang lelaki
tua yang duduk tak jauh dari arah depannya. Lelaki berpakaian kusut itu,
tampak asyik menyeruput kopi hitam seorang diri. Dan timbullah keinginan Mulkan untuk mengobrol
dengan sang lelaki yang mungkin telah berstatus kakek. Hitung-hitung, ia hendak
beredekah hari ini.
Tanpa
menunggu waktu, Mulkan pun mendekat, kemudian berkenalan dengan lelaki yang
rambutnya hampir semua beruban. “Ngomong-ngomong, ada urusan apa Om Burhan ke
sini?” tanya Mulkan setelah menawarkan sepiring gorengan.
“Aku
mengantar cucuku. Kebetulan, dia juga ikut ujian hari ini,” jawab Burhan,
sambil tersenyum bangga. Ia merasa senang melihat keramahan Mulkan. Apalagi
sedari pagi, ia hanya sibuk memerhatikan penghuni kampus yang saling
mengabaikan.
Mulkan
mengangguk-angguk. “Cucu Om, ingin masuk jurusan apa?”
Sejenak,
Burhan mencoba mengingat-ingat. “Kalau aku tak salah, ia ingin masuk jurusan
akuntansi.”
Lagi-lagi, Mulkan mengangguk-angguk. Seperti hendak mengesankan kalau ia penuh perhatian atas obrolan itu.
“Kau
sendiri sedang apa? Mengantar anak?” Burhan balik bertanya, sembari mencicipi
gorengan yang sedari tadi ditawarkan lawan bicaranya.
“Oh,
tidak Om. Aku belum beristri. Hari ini, aku mengawas anak-anak ujian,” kata Mulkan,
sambil tersenyum.
Mata
Burhan menatap tajam, seperti ingin memastikan tebakannya, “Kamu dosen?”
Mulkan
mengangguk lagi. Kali ini ia bermaksud mengatakan ‘iya’.
“Luar
biasa. Masih muda sudah jadi dosen,” puji Burhan, diikuti decak-decak kagum.
“Tiga tahun lalu, anak bungsuku juga ingin jadi dosen di fakultas ekonomi ini,
sama sepertimu. Tapi ya, sistem telah banyak berubah. Kampus sudah otonom. Apa-apa,
butuh jaringan,” kata Burhan, sambil memberikan isyarat tanda kutip dengan kedua
jari telunjuk dan jari tengahnya.
Perhatian
Mulkan, seketika tertuju pada kisah yang dituturkan Burhan. Ia terdiam saja,
sambil mendengarkan dengan takzim.
“Sekarang,
menjadi pemenang, tidak lagi didasarkan kemampuan pribadi, tapi latar belakang
keluarga. Kalau punya orang tua pejabat, akan mudah jadi pejabat. Kalau tidak,
ya, biar uang yang bicara. Kalau tidak ada uang juga, ya, apa boleh buat,” sambung Burhan setelah melihat Mulkan
memerhatikannya saja dan tak hendak menyela.
Mulkan sedikit tersentak mendengar kesimpulan Burhan. Sebagai orang yang kini berada di dalam sistem, ia jelas memahami apa yang dimaksud lelaki tua itu.
“Di
masa seleksi tiga tahun lalu itu, hanya satu kuota dosen untuk fakultas ekonomi.
Dan sial, pesaing anakku adalah seorang anak rektor yang masih menjabat saat ini. Ya, akhirnya,
anakku pun kalah dalam proses seleksi yang kurasa patut dipertanyakan,” kenang
Burhan dengan raut wajah yang tampak menerawang jauh ke masa lalu. “Saat ini, keadilan
memang mahal. Orang yang bertahta dan berduit, dengan tega mencuri hak orang lain demi kesenangan mereka
sendiri.”
Mulkan semakin terenyuh. “Terus, anak Om sekarang di mana?”
Senyuman pun merekah di wajah Burhan. Cerita pahit yang baru saja dituturkannya,
seakan terhapus. “Anakku sekarang ada di Amerika. Baru saja ia menyelesaikan studi
lanjutannya di sana. Dan atas prestasinya yang gemilang, ia diminta jadi dosen
oleh pihak kampusnya sendiri. Aku rasa ia akan menerima tawaran itu.”
“Syukurlah,”
kata Mulkan dari lubuk hatinya. Ia sedikit merasa tenang mengetahui akhir
kisah yang baik untuk anak Burhan, serasa ia menjadi bagian dari cerita
perjuangan itu.
“Aku
selalu yakin, orang punya jalan untuk sukses, asalkan sabar dan berusaha. Dan
kesuksesan yang terbaik dan membahagiakan, adalah yang diraih melalui keringat
sendiri, bukan hasil dari cara-cara culas,” tutur Burhan, seperti hendak
menasihati semua jiwa-jiwa yang tak adil.
Mulkan
bergeming saja mendengar itu.
Ujian selesai. Anak-anak berhamburan ke luar ruangan.
Ujian selesai. Anak-anak berhamburan ke luar ruangan.
Selepas
berbasa-basi sejenak untuk topik yang berbeda, Burhan pun undur diri untuk
menemui cucunya, seorang perempuan, yang sedang menunggu di depan ruangan. Ia bergegas pergi, tanpa menghadap lebih
dahulu kepada pemilik warung.
Di
sisi lain, Mulkan masih duduk saja. Ia tampak tertegun, merenungi isi obrolan
yang baru saja berlangsung. Ia tak hendak beranjak segera untuk menemui adik
perempuannya yang juga selesai mengikuti ujian, entah untuk bertanya atau memberikan
semangat.
Sebagaimana
sikap orang tuanya selalu, Mulkan tak mau ambil pusing atas nasib sang adik. Kalaupun adiknya gagal, jalur
mandiri masih terbuka. Dan keluarganya, punya tahta dan uang.
Setelah
puas merenung, Mulkan pun beranjak. Tapi sebelum itu, ia akan menyelesaikan
urusan tagihan dengan sang pemilik warung, Mijan.
“Ini,
Pak,” kata Mulkan, sambil meyodorkan uang pecahan Rp. 50 ribu. “Itu sekaligus
untuk membayar minuman bapak tua tadi. Selebihnya, ambil saja buat Bapak.”
Mijan
tersenyum. “Tapi, Bapak Burhan Mulia sudah bayar, Nak, pas ia pesan tadi.”
Burhan
sedikit kecele. “Oh, tak apa-apa kalau begitu, Pak. Kembaliannya ambil saja
semua,” katanya, kemudian berbalik, hendak melangkah pergi. Tapi, ia terganjal satu
keanehan yang tiba-tiba muncul di benaknya, dan patut dipertanyakan. “Kok Bapak
tahu nama lengkap bapak tua tadi?”
Mijan
tersenyum lagi. “Dia itu mantan rektor empat periode yang lalu. Mantan rektor
di sini!” tegasnya
Dan
untuk ke sekian kalinya, Mulkan terperanjat. Dengan rasa kalah yang tak terperi
di dalam hatinya, ia pun beranjak pergi. Jelas saja, sedari awal, ia merasa tak
patut dianggap anak muda sukses, melainkan pecundang yang hanya bisa bergantung
pada ayahnya. Ya, ayahnyalah, seorang rektor yang sedang menjabat saat ini, yang
berhasil menyingkirkan anak Burhan saat ujian penerimaan dosen tiga tahun lalu,
demi anaknya sendiri, Mulkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar