Awalnya,
kita hanya teman dekat. Saling mengenal tanpa sekat. Membaur. Sama-sama tahu
karakteristik, tingkah laku, hingga kebiasaan unik masing-masing. Rahasiamu menjadi
rahasiaku juga. Dan kutahu, dalam banyak hal, kita berbeda. Tapi tak ada alasan
yang pantas untuk kita berpisah. Kita saling menerima.
Sampai
akhirnya, kita sampai di satu percakapan. Kala itu, kita tengah berleha-leha di
tepi sungai, di depan rumahku, sembari melempar-lemparkan batu di permukaan air.
Melepas penat seusai menanam sebuah pohon sebagai lambang persahabatan kita.
Setelah puas bergurau, kau pun mengutarakan
rencanamu yang begitu berat kuterima.
“Hadi,
besok aku akan pergi ke kota seberang. Aku diterima di kampus favoritku. Hebat
kan? Aku akan jadi seorang dokter!” tuturmu, terlihat sangat senang.
“Kamu
kok baru cerita?” sergahku.
“Memangnya
kenapa? Aku beri tahu kau kemarin-kemarin atau hari ini, ya sama saja. Aku
tetap akan pergi. Itu adalah jalan terbaik demi cita-citaku di masa depan,”
elakmu, santai.
Aku
begitu kecewa melihat sikapmu. “Kita telah bersama begitu lama. Kau adalah
teman baikku. Lalu, semudah itu kau pergi secara tiba-tiba?” cerocosku. “Aku
benar-benar tak paham pandanganmu tentang kita selama ini.”
Kau
menoleh padaku. “Kita sudah dewasa, Had. Sudah waktunya kita memilih jalan
masing-masing. Ada cita-cita yang harus kita wujudkan. Dan kupikir, kau
sebaiknya fokus mengejar cita-citamu sebagai seorang pengacara.”
Seketika,
aku merasa gundah mendengar penuturanmu. Takut jika di waktu yang panjang, aku
tak bisa bahagia tanpamu. Sampai akhirnya, rasa cemas memaksaku berkata jujur
tentang rasa yang kupendam. Diam-diam, hatiku menginginkan kita terikat lebih
dari teman biasa, agar beralasan jika aku merindukanmu selama kau jauh.
Kutatap
matamu dalam-dalam. Kukuatkan hatiku. “Rina, salahkah jika aku merasa berat melepasmu
pergi? Selama ini kau memang menganggapku sebagai teman biasa, tapi aku? Aku
mencintaimu Rina,” tuturku. Mencoba mengiba. “Jadilah pacarku?”
Raut
wajahmu datar. Matamu nanar. Kau seperti tak suka mendengar kejujuran hatiku.
“Kau tak seharusnya mengucapkan itu! Kau kira semudah itu untuk mengatakan
cinta kepada seseorang wanita? Lihat dirimu! Kau ini siapa? Langit dan bumi tak
akan merestui kita berdua.” Air mata tergelincir di pipimu.
Aku
tak berkutik.
“Ternyata
aku salah menilaimu. Kukira kau seorang teman terbaik, tapi ternyata kau tega
menghancurkan semuanya,” pungkasmu, kemudian melangkah pergi.
Sore
itu, aku benar-benar kalut. Aku tak menyangka kau akan menolakku mentah-mentah.
Mencampakkan perasaan yang telah lama kupendam. Aku pun mengutuk diriku sendiri,
yang begitu lancang menawarkan cinta yang hina kepadamu yang sempurna.
Kuperhatikan
kembali dirimu dan diriku. Dan aku sadar, dalam banyak hal, kita memang
berbeda. Kau yang cantik jelita, terlahir dari keluarga terhormat dan kaya
raya. Sedangkan aku hanya seorang lelaki biasa, yang berasal dari keluarga yang
sederhana. Sungguh, aku menyesal telah memaksakan keadaan.
Akhirnya,
aku membencimu karena aku membenci kenyataan diriku. Aku tak terima keadaanku
diriku sekarang, menjadi alasanmu menolak cintaku. Menutup matamu tentang
gambaran masa depanku yang masih kuperjuangkan. Atas sikapmu, kutekadkan untuk
membuktikan kalau aku bisa menjadi orang sukses.
Setelah
semua kenyataan tragis yang kualami tentangmu, semangatku menggebu untuk
mewujudkan sebuah misi. Bersama benci, aku menggenggam cita-cita untuk
membuatmu menyesal. Aku harap, jika suatu waktu aku menjadi pengacara yang
handal, kau akan menyesali keputusanmu yang pernah menolak cintaku.
Dan
seiring berjalannya waktu, apa yang aku harapkan, kini menjadi kenyataan. Aku
telah menjadi seorang pengacara, meski kau tak pernah menyesali keputusanmu
menolak cintaku, dan aku pun tak benar-benar membencimu.
Semua
terjadi begitu cepat. Dendam menuntunku menemukanmu kembali. Tanpa bisa
kutahan, rasa rindu mengalahkan benciku. Benih cinta di hatiku, bermekaran lagi.
Dan akhirnya, kita ditakdirkan dalam ikatan cinta yang suci.
“Apa
kau benar-benar tak menginginkanku, hingga kau menolak perasaanku waktu itu?”
selidikku, kala kita duduk di tepi sungai, di bawah rindangnya pohon yang kita
tanam di waktu lampau.
Kau
berpaling menatapku. “Tidak. Sebenarnya, aku punya perasaan yang sama padamu.
Jujur, aku tak tega melakukannya. Tapi semua itu demi kita.”
“Maksudmu?”
telisikku lagi.
“Ya.
Jika waktu itu kita memadu kasih yang belum saatnya, aku mungkin tak akan
menjadi seorang dokter dan kau tak menjadi seorang pengacara. Dan, jika kau tak
sesukses sekarang, aku yakin orang tuaku pasti menolak lamaranmu,” ucapmu,
sembari menatapku tajam.
Aku
tak ingin menyela. Menyimak.
Kau
mengalihkan pandanganmu ke aliraan air yang jernih. “Aku ingin cinta kita
nyata. Aku tak mau tipuan cinta melenakan kita. Memburamkan masa depan kita.
Bagiku, cinta adalah kekuatan yang harus menuntun kita menggapai cita-cita,
bukan malah membuat kita larut dalam khayalan tak pasti. Sungguh, aku tak ingin
bercinta dengan cara yang menjerumuskan kita ke hal-hal yang tak baik,”
sambungmu.
Perasaanku
tersentuh mendengar penjelasanmu. Aku terharu. “Bagaimana jika waktu itu, aku
benar-benar menutup jalan untuk kita bersama, dan aku malah hidup dengan sosok
wanita yang lain?”
“Jika
pun kita tak bersama, aku tak mengapa. Bagiku, cinta adalah pengorbanan.
Asalkan kau hidup bahagia dengan orang lain, aku ikut bahagia.” Kau membalas
dengan sikap yang tenang.
Kita
lalu terdiam untuk beberapa detik.
“Apa
kau menduga kisah kita akan berujung seperti ini?” tanyaku lagi.
“Ya.”
Kau berucap tegas, lalu tersenyum singkat. Terlihat sangat manis. “Aku selalu
meyakini kau akan mencari dan menghampiriku, demi melampiaskan rasa bencimu.
Kau tahu, benci adalah satu ikatan yang abadi, yang hanya bisa dituntaskan
dengan maaf dan cinta. Dan kau telah melakukannya.”
Aku
butuh beberapa detik untuk memahami maksudmu. “Apa? Kau benar-benar jahat!”
ketusku, sembari mencubit pipimu yang tembam.
Kau
hanya tertawa. Tampak semakin menggemaskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar