Kita
memang sangat dekat. Selalu ingin bercengkerama setiap waktu. Senang berdua
untuk saling berbagi. Bahagia bersama dalam suka dan duka. Jadi enggan
berjauhan lama-lama. Cemas kala berpisah tanpa kabar. Merindu untuk segera
bertemu. Jika bukan kau yang mencariku, akulah yang akan mencarimu. Mungkin di
mata orang lain, kita telah terikat dalam hubungan yang spesial.
Bagaimana
perasaanmu padaku? Aku tak tahu pasti. Kuharap biasa saja. Jangan membenci ataupun
mencintaiku secara berlebihan. Cukup merasa jadi teman saja, tak lebih. Seperti
saudara, kakak-adik. Saling mencintai di posisi yang seimbang. Tak ada yang
merasa lebih dibutuhkan dari yang lain. Hanya berusaha saling membahagiakan,
tanpa janji apa-apa. Berkorban tanpa pamrih. Tulus.
Sejujurnya,
sudah lama aku mengharapkan hubungan seperti ini bersamamu. Sebuah hubungan
yang berbeda dengan yang lain. Romantis tapi tak murahan. Dekat tapi tak
keterlaluan. Kau pasti tak tahu. Aku telah merencanakannya sejak lama. Sampai
harus sehobi dengamu. Berusaha selalu berada di medan kehidupanmu. Menjadi
malaikat pelindungmu setiap waktu.
Aku
rela membunuh egoku, untukmu.
Sepanjang
yang kurasa, kita sama-sama menikmati hubungan pertemanan kita. Kau tak pernah
menuntutku melakukan apa-apa. Aku saja yang ingin berkorban untuk menyenangkan hatimu setiap waktu. Sebaliknya, aku pun tak
pernah menuntutmu melakukan apa-apa. Kau saja yang selalu suka
membalasku dengan sejumlah perhatian.
Dari
semua yang telah kukatakan sebelumnya, aku hanya ingin menjadi sosok lelaki
yang melindungimu. Meneduhkanmu dari kerasnya kehidupan dunia. Menggantikan sosok ayahmu
yang telah tiada. Sebab sungguh, aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi
dirimu: seorang gadis yang ditinggal pergi sosok ayah sejak kanak-kanak, yang meninggal dengan cara yang tragis. Terbunuh.
“Apa
selama ini, Kakak tak pernah merasa kerepotan menemaniku terus-menerus?”
tanyamu, seperti khawatir kalau aku telah bosan bersamamu.
Kita terus berjalan-beriringan menuju ke pelabuhan. Kita baru saja mengunjungi pekuburan
almarhum ayahmu yang tak jauh. Seperti biasa, aku selalu sedia mengantarkanmu ke pemakaman tiap kali kau merasa rindu kepadanya.
“Jangan risaukan soal itu. Aku senang kok bisa menemanimu setiap waktu,” jawabku,
sambil tersenyum. Mencoba meyakinkanmu kalau aku tak merasa terbebani, sedikit pun.
“Aku bisa merasakan betapa timpangnya hidup tanpa sosok ayah, dan aku ingin menjadi sosok ayah untukmu.”
Sungguh,
aku memang bisa merasakan kesedihan tanpa sosok ayah, meski tak sedalam
kesedihanmu. Kau jelas tak tahu, sebab aku tak pernah menceritakan bahwa sejak aku
masih kanak-kanak, ayahku telah mendekam di penjara.
Kau
pun tertawa kecil. “Oh, ya. Memangnya, cita-cita Kakak apa? Kalau
benar-benar ingin menggantikan sosok Ayahku, jadilah seorang polisi.”
Aku
termenung sejenak di tengah keraguan untuk menjadi seorang pemberantas kejahatan. “Entahlah. Aku
hanya ingin menjadi orang yang baik. Aku yakin, cita-cita Ayahmu pun demikian: ingin membuat orang
menjadi baik.”
Dalam
hati kutegaskan, aku tak akan menjadi seperti ayahku.
“Kau
sendiri bagaimana?” tanyaku, sambil memandang wajahmu yang menawan.
“Aku
ingin menjadi polwan. Menjadi seorang polisi, seperti Ayah. Nanti, kalau Kakak tak memenuhi janji untuk menjadi orang yang baik, Kakak akan kutangkap dan kupenjarakan,”
balasmu dengan mimik yang menggemaskan
Kita pun tertawa, sembari terus berjalan-beriringan, menapaki pasir pantai yang mulai mengering diterpa terik matahari di ujung pagi.
Beberapa
detik berlalu, dan kita hanya membisu. Aku yakin kau sama sepertiku, sama-sama berat
untuk berpisah. Sebelum tengah hari, kau akan berangkat ke pulang
seberang bersama ibumu. Meninggalkan aku dan almarhum ayahmu di pulau ini.
Sungguh
berat menerima kenyataan itu.
Detik demi detik kemudian, di setiap langkah kita menyusuri tepi pantai yang hangat, aku merasa
ada yang berbeda dengan perasaanku. Tiba-tiba saja, aku ingin jujur tentang
perasaanku yang menggebu, yang ingin memilikimu seutuhnya.
Tapi,
seperti janjiku pada diriku sendiri, aku harus membunuh perasaan yang terlarang itu.
“Apa di hari-hati esok, Kakak tidak akan melupakanku? Apa nanti, Kakak masih akan merindukanku?” tanyamu dengan raut cemberut.
Perasaanku kikuk menanggapi kesenduanmu
Perasaanku kikuk menanggapi kesenduanmu
Dengan
tanpa aba-aba, langkah kita tiba-tiba melambat di tengah renungan masing-masing. Kita seolah sama-sama menahan waktu untuk memikirkan tentang kemungkinan-kemungkinan masa depan. Kita lantas duduk menghadap laut, di bawah
teduhan pepohonan kelapa, untuk mengkhidmat obrolan hati tentang rencana
besar, tentang bagaimana keberlanjutan kenangan kita di hari-hari selanjutnya.
"Mustahil aku tak merindukanmu. Kita sudah seperti kakak-adik yang terikat secara batin,” balasku, sambil menoleh kepadamu, di samping kiriku.
Kita hanya terpisah jarak setengah meter.
Kita hanya terpisah jarak setengah meter.
Kau
tak berani membalas tatapanku seperti biasa. Wajahmu muram. Tak seceria yang
kutahu. Kukira, kekalutan melanda perasaanmu di akhir-akhir kebersamaan kita. “Apa Kakak sungguh-sungguh menganggapku seorang adik?”
“Ya, tentu saja. Kau adalah adik yang baik dan menyenangkan untukku selama ini,” balasku, begitu saja.
Kau lantas memberengut. Wajahmu menyiratkan kekecewaan dan kesedihan secara bersamaan.
Kurebahkan
badanku. Terlentang di hamparan pasir putih. Menatap burung-burung yang
beterbangan di angkasa. “Kau tahu, dahulu ada dua ekor burung yang suka
bermain bersama. Terbang berdua. Bersama ke mana pun. Yang jantan bernama Kino,
dan yang betina bernama Kina,” kisahku, bermaksud menghiburmu. “Tapi
mereka harus berpisah. Mereka bukan jenis yang sama. Bangsa Kino, jahat, pemangsa
bagi bangsa Kina. Hukum alam menolak hubungan mereka.”
Kau
tak memberikan respons apa-apa, dan hanya turut merebahkan badan.
Tatapan
kita pun sama-sama tertuju ke angkasa, kepada burung-burung yang riang beterbangan.
Aku lantas melanjutkan ceritaku, ”Tapi mereka tak menghiraukan
perbedaan itu. Kino berjuang membunuh nafsu buasnya untuk memangsa bangsa Kina. Kina
pun jadi tak takut lagi kalau-kalau suatu saat Kino akan menerkamnya. Kau tahu kenapa?”
Kau
bergeming saja.
Terpaksa,
kusambung lagi ceritaku. “Karena Kina telah setia merawat Kino yang terluka dan tersesat
kala ia berburu mangsa terlalu jauh. Kasih sayang Kina telah meluluhkan perasaannya.”
Kau
masih diam. Kau terlihat tak kuasa berkata-kata.
Lagi-lagi,
kulanjutkan kisahku. “Akhirnya, datanglah bala tentara dari kerajaan bangsa
Kino. Kedatangan mereka bukan untuk memangsa, tapi untuk menjemput Kino yang
ternyata seorang pengeran. Sebagai balasan atas kebaikan bangsa Kina, bangsa
Kino berjanji tak akan memangsa bangsa Kina seumur dunia. Tapi, keinginan
mereka untuk bersama, tetap tak pernah direstui sang raja.”
Kau
masih menerawang ke langit. Tiba-tiba, kau merespons, “Sungguh kasihan mereka,”
tuturmu, lalu menoleh padaku sejenak. Matamu tampak berair. “Apa setelah kepergiannya, Kino tak kembali menemui Kina?”
“Tidak.
Ia sudah berjanji untuk tidak akan kembali,” jawabku.
“Kanapa?”
sergahmu.
“Karena
dosa-dosa bangsa Kino sendiri. Suatu saat, Kino tahu kalau Ayah Kina meninggal
karena serbuan bangsa Kino di bawah pimpinan Ayahnya sendiri. Karena itulah, ia mengutuk dirinya untuk
menebus dosa-dosa sebangsanya. Ia mengharamkan dirinya untuk mencintai Kina,” terangku, sedikit
berat menuturkan kenyataan cerita yang pahit.
“Tapi,
bagaimana bisa Kino begitu kukuh menahan rindunya pada Kina? Sumpah pada diri sendiri kan mudah saja
diingkari,” protesmu, seakan tak suka menerima akhir kisah yang menyedihkan.
“Karena teguhnya sumpah atas dirinya sendiri, Kino telah mematahkan sayapnya. Ia telah menutup kemungkinan untuk hidup bersama Kina,” pungkasku.
Wajahmu puntm semakin sedih mendengar penutup sebuah
cerita yang sebenarnya kukarang sendiri. Sebuah cerita yang menyiratkan tentang kita.
Matahari
pun telah meninggi. Sudah hampir waktunya kita berpisah.
Kau lalu bangkit, kemudian melangkah beberapa jauh ke depan. Sesat kemudian, kau kembali menghampiriku dengan membawa sebuah botol plastik.
Kau lalu bangkit, kemudian melangkah beberapa jauh ke depan. Sesat kemudian, kau kembali menghampiriku dengan membawa sebuah botol plastik.
“Untuk
perpisahan kita, aku ingin aku dan Kakak menulis harapan tentang kita. Aku akan melarungnya di laut, di dalam
botol ini,” pintamu, seperti memohon.
Kita
pun menuliskan harapan masing-masing, tanpa tahu isinya satu sama lain. Kau lantas memasukkannya ke dalam botol, kemudian memintaku untuk melemparkannya ke laut.
Botol itu pun terombang-ambing di atas ombak.
Botol itu pun terombang-ambing di atas ombak.
Setelah
itu, aku pun segera mengantarmu ke dermaga. Menyaksikan setiap langkahmu yang
semakin menjauh. Sampai akhirnya, aku melihatmu menangis sambil melambaikan
tangan. Aku pun balas melambai, hingga kapal yang membawamu lenyap dari pandanganku.
Seketika, rinduku memuncak saat kau baru saja menghilang dari pandanganku. Dengan rasa yang tak
keruan, aku lantas bergegas kembali ke tepi pantai, tempat kita berbagi harapan. Aku lalu menunggu, hingga ombak menepikan
botol pembawa harapan kita.
Akhirnya, aku mendapatkannya.
Akhirnya, aku mendapatkannya.
Kusibaklah kertas pertama, kertas bagianku, yang sebenarnya tak kutulisi apa-apa.
Lalu,
kusibaklah kertas kedua yang berisi harapanmu: Semoga kau tak mematahkan sayapmu demi kita!
Membaca harapanmu itu, membuat aku kembali dalam suasana yang dilematis. Ada rasa yang
selalu ingin kunyatakan, tapi kenyataan memaksaku membunuhnya.
Entahlah,
apa kau masih mengharapkanku jika saja kau tahu bahwa aku adalah Kino, seseorang dari
bangsa yang jahat, anak dari seorang lelaki yang telah membuat ayahmu pergi untuk
selama-lamanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar