Sabtu, 21 Maret 2020

Perias

Hari ini, rasa syukurnya kembali bersemi. Setelah membangun dan mengembangkan usaha salon kecantikan sejak sepuluh tahun yang lalu, ia pun menuai hasil yang memuaskan. Hari demi hari, semakin banyak pengunjung yang datang memberinya keuntungan berlipat. Tak sedikit yang kemudian menjadi pelanggan untuk sekadar menghias ujung rambut atau ujung kukunya
 
Kini, ia pun menyadari bahwa kesuksesannya tak mungkin tercapai jika ia tak berani mempertaruhkan kehidupan. Ia teringat lagi pada masa silam, ketika hampir selama lima tahun, ia hanya bertahan hidup sebagai petugas kebersihan di sebuah mal. Ia memastikan kehidupannya akan begitu-begitu saja jika saja ia tidak beralih menjadi seorang pengusaha salon.

Berkat pencapaiannya sekarang, ia pun bisa membesarkan putri semata wayangnya seorang diri.  Pemenuhan kebutuhan hidupnya yang terasa sulit di masa lalu, kini tercukupi dengan sangat mudah. Segala keinginan sekundernya bersama sang anak, bisa terkabul dengan enteng, tanpa takut kehabisan dana untuk pemenuhan kebutuhan primernya. 

Sungguh ia telah memiliki kehidupan yang membahagiakan. Ia telah mengubah rumah sederhananya menjadi sebuah ruko berlantai dua untuk tempat usaha yang sukses dan tempat tinggal yang nyaman. Karena itu, ia pun merasa senang telah berhasil menjadi pribadi yang bisa diandalkan sebagai orang tua, dan ia yakin bahwa sang anak bangga atas dirinya.

Namun tiba-tiba, putrinya yang masih kelas V SD, datang sepulang sekolah dengan wajah yang murung. Tanpa kata-kata, sang anak lalu masuk ke dalam kamar dan duduk cemberut di depan meja belajarnya.

Seketika, ia pun jadi penasaran dan khawatir. Sebagai orang tua satu-satunya, ia merasa wajib untuk memerhatikan dan menyelesaikan masalah anaknya, sepele apa pun.

Maka dengan sikap yang ramah, ia lalu menghampiri sang anak untuk menyelidik, “Ada apa putri cantikku? Kok datang-datang tak beri salam seperti biasa?” tanyanya, lalu duduk di samping sang anak.

Tak menoleh, sang anak pun tak bersuara. Hanya memandang geram pada tembok yang kosong.

“Ayo, ceritakanlah!” pintanya.

Sang putri tetap saja bergeming. 

“Ayolah, Nak! Kalau kamu tidak cerita, kan aku jadi khawatir,” desaknya lagi.

Sang anak lalu melirik judes secara sepintas kepadanya, kemudian mengungkapkan kekesalannya yang mendalam, “Aku ingin Ayah berhenti jadi tukang salon!” ketusnya.

Sontak, perasaannya pun tersentak. “Kenapa begitu, Nak? Kan kerja Ayah hanya itu, dan kita hidup dengan itu.”

“Kata teman-temanku, yang kerja di salon itu seharusnya perempuan, bukan laki-laki!” tegas sang anak, kemudian menunduk dengan raut lesu.

Ia pun menghela napas yang panjang, kemudian mengembuskannya secara perlahan. “Memangnya kenapa kalau laki-laki kerja salon?”

Sang anak lalu menangis sedih. “Kata mereka, laki-laki yang kerja di salon itu banci! Kata mereka, Ayah banci!”

Seketika, ia pun merangkul sang anak. “Tak usah dengar olok-olokan mereka, Nak. Mereka hanya usil.”

“Tapi aku malu Ayah!” kesal sang anak.

Dengan rasa prihatin, ia lantas mengelus-elus lengan sang anak. “Untuk apa malu, Nak? Kerja salon itu pekerjaan yang baik. Tukang salon itu bukan pencuri.”

Sang anak pun diam dengan tangis tersedu-sedu.

“Aku yakin, teman-temanmu itu hanya iri karena kau ini cantik, Nak!” katanya, kemudian membelai-belai rambut putri cantiknya itu. “Yakinlah, mereka itu hanya kesal karena ayah-ibu mereka tidak pandai mendandani mereka dengan baik, dan mereka semua tampak jelek!”

Perlahan, tangis sang anak pun mereda.

Dengan sedikit tekanan, ia lalu menyerongkan badan sang anak ke arah cermin lemari di samping mereka. “Lihatlah wajahmu itu, Nak! Kau ini sungguh cantik!”

Sontak, sang anak pun tersipu-sipu.

“Jadi, sekarang, kau tak boleh malu lagi. Kau mesti bangga punya Ayah sepertiku. Karena Ayah ini tukang salon dan jago merias, kau tampak cantik begini!” katanya, kemudian mencubit gemas pipi sang anak.

Sang anak pun mengangguk pelan dan tersenyum, kemudian memeluknya beberapa saat. “Jadi, apa aku secantik, Ibu?” tanyanya, untuk ke sekian kali, selepas mengurai pelukan.

Seketika, perasaannya pun kembali tersentak mendengar pertanyaan itu. Namun sebagai orang tua yang baik, ia mesti memberikan jawaban. “Tentu saja, Nak. Kau itu secantik almarhum Ibumu. Itu karena ia juga pandai merias. Ia bisa merias dirinya dengan sangat baik,” tuturnya, sembari berusaha menutupi kesedihannya dengan senyuman.

“Ah, andai saja aku masih bisa melihat Ibu,” harap sang anak lagi, dengan raut sayu.

“Bersabarlah, Nak, dia pasti bahagia di alam sana. Dia pasti bahagia punya anak secantik kamu!” pujinya, seperti biasa.

Sang anak mengangguk takzim.

Ia kembali melayangkan senyuman. “Sudah waktunya kau ganti baju dan lekas makan siang.”

Dengan rupa ceria, sang anak lalu bergegas melaksanakan perintah itu dengan senang hati.

Sesaat kemudian, di tengah keheningan, ia kembali termenung mengenang mantan istrinya di masa lalu.

Namun, lekas pula rasa bersalah kepada sang anak menyeruak di dalam hatinya. Ia merasa bersalah telah membesarkan anaknya di dalam kebohongan-kebohongan. Ia merasa bersalah telah memendam rahasia bahwa mantan istrinya itu belumlah meninggal seperti yang ia ceritakan selalu, tetapi pergi begitu saja dan hidup dengan keluarga kecilnya di kota seberang.

Perih hati pun harus ia redam setiap kali terkenang sang mantan istri yang mencampakkannya. Luka-luka hatinya masih juga menganga setelah ketulusan cintanya tak dianggap hanya karena tipuan-tipuan mata. Ia seolah masih tak sanggup mengikhlaskan kenyataan bahwa sang istri telah mengkhianatinya demi seorang pengusaha yang kaya raya; demi memuaskan hasrat kewanitaannya:

“Aku tak betah lagi hidup bersamamu. Kau tak punya apa-apa untuk membahagiakan diriku. Kau tak sanggup memanjakan diriku. Aku ini cantik, tapi aku malah jadi jelek hanya karena kau terlalu miskin untuk merawat diriku. Aku mesti ke salon secara rutin, tapi kau tak punya uang untuk itu. Aku tak bisa hidup begini!” cerocos sang istri di akhir kebersamaan mereka.

Maka setelah saat itu, setelah mereka berpisah, ia pun memutuskan untuk menjadi seorang tukang salon.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar