Hari
ini, rasa syukurnya kembali bersemi. Setelah membangun dan mengembangkan usaha
salon kecantikan sejak sepuluh tahun yang lalu, ia pun menuai hasil yang
memuaskan. Hari demi hari, semakin banyak pengunjung yang datang memberinya keuntungan
berlipat. Tak sedikit yang kemudian menjadi pelanggan untuk sekadar menghias ujung
rambut atau ujung kukunya
Kini,
ia pun menyadari bahwa kesuksesannya tak mungkin tercapai jika ia tak berani mempertaruhkan
kehidupan. Ia teringat lagi pada masa silam, ketika hampir selama lima tahun, ia
hanya bertahan hidup sebagai petugas kebersihan di sebuah mal. Ia memastikan kehidupannya
akan begitu-begitu saja jika saja ia tidak beralih menjadi seorang pengusaha
salon.
Berkat
pencapaiannya sekarang, ia pun bisa membesarkan putri semata wayangnya seorang
diri. Pemenuhan kebutuhan hidupnya yang
terasa sulit di masa lalu, kini tercukupi dengan sangat mudah. Segala keinginan
sekundernya bersama sang anak, bisa terkabul dengan enteng, tanpa takut kehabisan
dana untuk pemenuhan kebutuhan primernya.
Sungguh
ia telah memiliki kehidupan yang membahagiakan. Ia telah mengubah rumah
sederhananya menjadi sebuah ruko berlantai dua untuk tempat usaha yang sukses
dan tempat tinggal yang nyaman. Karena itu, ia pun merasa senang telah berhasil
menjadi pribadi yang bisa diandalkan sebagai orang tua, dan ia yakin bahwa sang
anak bangga atas dirinya.
Namun
tiba-tiba, putrinya yang masih kelas V SD, datang sepulang sekolah dengan wajah
yang murung. Tanpa kata-kata, sang anak lalu masuk ke dalam kamar dan duduk
cemberut di depan meja belajarnya.
Seketika,
ia pun jadi penasaran dan khawatir. Sebagai orang tua satu-satunya, ia merasa
wajib untuk memerhatikan dan menyelesaikan masalah anaknya, sepele apa pun.
Maka
dengan sikap yang ramah, ia lalu menghampiri sang anak untuk menyelidik, “Ada
apa putri cantikku? Kok datang-datang tak beri salam seperti biasa?” tanyanya,
lalu duduk di samping sang anak.
Tak
menoleh, sang anak pun tak bersuara. Hanya memandang geram pada tembok yang
kosong.
“Ayo,
ceritakanlah!” pintanya.
Sang
putri tetap saja bergeming.
“Ayolah,
Nak! Kalau kamu tidak cerita, kan aku jadi khawatir,” desaknya lagi.
Sang
anak lalu melirik judes secara sepintas kepadanya, kemudian mengungkapkan
kekesalannya yang mendalam, “Aku ingin Ayah berhenti jadi tukang salon!”
ketusnya.
Sontak,
perasaannya pun tersentak. “Kenapa begitu, Nak? Kan kerja Ayah hanya itu, dan
kita hidup dengan itu.”
“Kata
teman-temanku, yang kerja di salon itu seharusnya perempuan, bukan laki-laki!”
tegas sang anak, kemudian menunduk dengan raut lesu.
Ia
pun menghela napas yang panjang, kemudian mengembuskannya secara perlahan.
“Memangnya kenapa kalau laki-laki kerja salon?”
Sang
anak lalu menangis sedih. “Kata mereka, laki-laki yang kerja di salon itu banci!
Kata mereka, Ayah banci!”
Seketika,
ia pun merangkul sang anak. “Tak usah dengar olok-olokan mereka, Nak. Mereka
hanya usil.”
“Tapi
aku malu Ayah!” kesal sang anak.
Dengan
rasa prihatin, ia lantas mengelus-elus lengan sang anak. “Untuk apa malu, Nak? Kerja
salon itu pekerjaan yang baik. Tukang salon itu bukan pencuri.”
Sang
anak pun diam dengan tangis tersedu-sedu.
“Aku
yakin, teman-temanmu itu hanya iri karena kau ini cantik, Nak!” katanya, kemudian
membelai-belai rambut putri cantiknya itu. “Yakinlah, mereka itu hanya kesal
karena ayah-ibu mereka tidak pandai mendandani mereka dengan baik, dan mereka
semua tampak jelek!”
Perlahan,
tangis sang anak pun mereda.
Dengan
sedikit tekanan, ia lalu menyerongkan badan sang anak ke arah cermin lemari di
samping mereka. “Lihatlah wajahmu itu, Nak! Kau ini sungguh cantik!”
Sontak,
sang anak pun tersipu-sipu.
“Jadi,
sekarang, kau tak boleh malu lagi. Kau mesti bangga punya Ayah sepertiku.
Karena Ayah ini tukang salon dan jago merias, kau tampak cantik begini!” katanya,
kemudian mencubit gemas pipi sang anak.
Sang
anak pun mengangguk pelan dan tersenyum, kemudian memeluknya beberapa saat.
“Jadi, apa aku secantik, Ibu?” tanyanya, untuk ke sekian kali, selepas mengurai
pelukan.
Seketika,
perasaannya pun kembali tersentak mendengar pertanyaan itu. Namun sebagai orang
tua yang baik, ia mesti memberikan jawaban. “Tentu saja, Nak. Kau itu secantik
almarhum Ibumu. Itu karena ia juga pandai merias. Ia bisa merias dirinya dengan
sangat baik,” tuturnya, sembari berusaha menutupi kesedihannya dengan senyuman.
“Ah,
andai saja aku masih bisa melihat Ibu,” harap sang anak lagi, dengan raut sayu.
“Bersabarlah,
Nak, dia pasti bahagia di alam sana. Dia pasti bahagia punya anak secantik
kamu!” pujinya, seperti biasa.
Sang
anak mengangguk takzim.
Ia
kembali melayangkan senyuman. “Sudah waktunya kau ganti baju dan lekas makan
siang.”
Dengan
rupa ceria, sang anak lalu bergegas melaksanakan perintah itu dengan senang
hati.
Sesaat
kemudian, di tengah keheningan, ia kembali termenung mengenang mantan istrinya
di masa lalu.
Namun,
lekas pula rasa bersalah kepada sang anak menyeruak di dalam hatinya. Ia merasa
bersalah telah membesarkan anaknya di dalam kebohongan-kebohongan. Ia merasa
bersalah telah memendam rahasia bahwa mantan istrinya itu belumlah meninggal seperti
yang ia ceritakan selalu, tetapi pergi begitu saja dan hidup dengan keluarga
kecilnya di kota seberang.
Perih
hati pun harus ia redam setiap kali terkenang sang mantan istri yang mencampakkannya.
Luka-luka hatinya masih juga menganga setelah ketulusan cintanya tak dianggap
hanya karena tipuan-tipuan mata. Ia seolah masih tak sanggup mengikhlaskan
kenyataan bahwa sang istri telah mengkhianatinya demi seorang pengusaha yang
kaya raya; demi memuaskan hasrat kewanitaannya:
“Aku
tak betah lagi hidup bersamamu. Kau tak punya apa-apa untuk membahagiakan
diriku. Kau tak sanggup memanjakan diriku. Aku ini cantik, tapi aku malah jadi
jelek hanya karena kau terlalu miskin untuk merawat diriku. Aku mesti ke salon
secara rutin, tapi kau tak punya uang untuk itu. Aku tak bisa hidup begini!”
cerocos sang istri di akhir kebersamaan mereka.
Maka
setelah saat itu, setelah mereka berpisah, ia pun memutuskan untuk menjadi
seorang tukang salon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar