Hidup
penuh pertentangan. Berharap untuk menyesal, bertemu untuk berpisah, bahagia untuk
sengsara, seperti hakikat hidup untuk mati. Semua bersatu-padu dalam durasi yang
tak menentu. Hanya soal waktu kapan pertentangan itu silih berganti. Sama
halnya tentang rangkaian kisah kita yang penuh suka-duka, yang telah terseret
waktu, menjauh dari masa lalu.
Entah
siapa yang salah. Sepanjang waktu berlalu, kita larut saja dalam kebodohan yang
sama. Menikmati kebersamaan dengan canda dan tawa. Membalut kenangan dengan
perayaan kecil yang selalu kita elu-elukan. Bertindak seakan-akan siang tak
lagi berganti malam. Padahal kita sama-sama paham, kalau semua itu, hanya
semantara, hingga waktu mengubahnya jadi petaka.
Aku
tahu betul, kita sama-sama takut di penghujung waktu kebersamaan. Di sepertiga
durasi hidup rata-rata manusia biasa, yang telah kita lewati dalam kebersamaan
yang mengesankan sebagai dua orang teman kecil, kita seakan-akan telah terperangkap
kenangan dengan sejuta warna. Ada cerita panjang dari masa lalu yang tak ingin
kita akhiri dengan cara apa pun.
Sampai
akhirnya, kelulusan dari bangku sekolah menengah atas, benar-benar menjadi
pembatas antara masa lalu dan masa depan kita. Seperti yang selalu kita
takutkan semenjak mengerti arti cinta, kita akan berpisah, hingga tersakiti
secara diam-diam. Kau akan pergi jauh ke daratan di seberang laut untuk menjadi
pembelajar sejati, meninggalkanku, di antara lautan yang membentang luas.
Jelas,
sedari awal, kita menyadari kalau kebersamaan akan berujung perpisahan. Tapi seperti
biasa, kita selalu punya cara untuk menertawakan kekalutan dengan tingkah
munafik. Bukannya berkeluh-kesah, kita malah pura-pura bahagia di detik-detik
terakhir kebersamaan. Kita merayakannya. Entah dengan menyusuri bebukitan, melanglang
ke tengah kota, atau mengobrol sampai lupa waktu.
Dan
kurasa, menghabiskan waktu di puncak bukit, di tepi pantai, adalah momen paling
berkesan di akhir kebersamaan kita. Di atas bukit batu yang curam, kita duduk sembari
memandang ke arah matahari yang nyaris tenggelam. Kita bercanda dengan segala
macam tingkah, hingga gelap memaksa kita pulang. Atau kita merenung, sambil
menghitung jarak bentang lautan yang akan memisahkan kita.
“Jika
daratan di ujung sana saja tak tampak, besok-besok, bagaimana caranya kita bisa
saling mengindrai seperti sekarang?” ketusku, saat kita larut dalam kegalauan
masing-masing.
Kau
tergelak. Seperti tanpa beban. “Kau tahu, kita tak pernah merencanakan untuk
bertemu, apalagi menjadi sahabat sekian lama. Semua terjadi begitu saja. Sampai
akhirnya, kita harus menerima kenyataan bahwa besok, kita akan berpisah. Tapi
sebagaimana katamu kalau hidup hanyalah kumpulan pertentangan yang silih
berganti, maka besok, waktu akan mempertemukan kita lagi. Kita hanya perlu
menunggu. Entahlah.”
Aku
jadi terenyuh mendengar kata-kata itu, meluncur lancar dari mulutmu. “Tapi
menunggu itu, penuh ketidakpastian. Aku takut jarak dan waktu akan menyesatkanmu
dariku, hingga membuatmu lupa padaku.”
Kau
sontak menoleh padaku. Menatap mataku lekat-lekat. “Aku tahu. Tapi bukankah di
sela jarak, selalu ada rindu yang merekatkan?”
“Tapi
bolehkah aku yakin kalau rindumu hanya untukku?” tandasku seketika.
Tiba-tiba
kau mengalihkan pandanganmu ke langit, “Sepertinya gerimis. Bukankah sebaiknya
kita pulang sebelum deras?”
Aku
turut menengadah, lalu mengiyakan inginmu.
Akhirnya,
tanpa menuntut penegasanmu atas maksud hatiku, kita beranjak pergi, menerobos
titik-titik hujan yang tipis. Kita pulang dengan membawa teka-teki yang masih
menggantung di langit-langit hati. Hingga di sepertiga sisa perjalanan pulang,
hujan turun begitu deras.
Tanpa
pikir panjang, kupercepat laju sepeda motor di antara jarak pandangku yang
terbatas. Dan tanpa kuduga, sebuah truk dari arah berlawanan, menapaki sisi lajur
yang kulalui. Aku tertabrak. Terpelanting entah ke mana. Hingga semua jadi
gelap.
Tiga
hari kulalui tanpa kesadaran. Aku jadi tak tahu apa-apa. Hingga akhirnya, aku pun siuman.
Pelan-pelan, kusibak mataku dengan sedikit berat, sebab perban melilit kepalaku
nyaris sampai menutupi alis. Dan kulihatlah diriku terbaring di kasur rumah
sakit. Aku terbangun seperti anak yang baru saja terlahir di dunia.
Dari
arah sampingku, suara sanak-saudara, terdengar sangat riuh. Mereka mengucapkan
kata-kata kesyukuran secara bertubi-tubi. Tapi di sela itu, aku mendengar
kata-kata bermakna lain, kata-kata yang mencoba menguatkan hatiku. Dan ketika
kuintip ujung kakiku sendiri, aku tahu maksud mereka.
Air
mataku pun menetes.
Dan
tak berselang lama, kau pun datang menjengukku, meski seharusnya kau telah
pergi ke pulau seberang.
“Bagaimana
keadaanmu?” Kau bertanya dengan wajah semringah, seperti mencoba menghibur hatiku.
Kuterawang
wajahmu baik-baik. “Kau siapa?”
Kau
tampak menelan ludahmu sendiri. Seperti tak habis pikir. “Kau tak mengenaliku?
Aku Elena, teman baikmu sejak kecil. Teman sekolahmu juga,” jelasmu, sambil
menggenggam tanganku.
“Aku
tak mengenalimu,” kataku lagi, tegas.
Berulang
kali kau mencoba membangkitkan kenangan tentang kita, berulang kali juga aku
mengelak, berkata kalau aku tak tahu atau tak ingat. Sampai akhirnya, kau pergi
dengan perasaan kecewamu yang sangat mendalam. Perasaan yang kutahu jelas,
begitu menyakitkanmu.
Dan
hari ini, setelah kau benar-benar pergi ke pulau seberang, kusibak sealbum foto
yang kau tinggalkan. Kurasa-rasa kembali kebersamaan kita di masa lalu yang
begitu mengesankan. Dan jelas saja, aku masih mengingat semua rangkaian cerita
di balik foto itu. Aku tak pernah sedikit pun melupakan tentangmu di alam
kesadaranku.
Kini,
maaf atas semua kebohohongan yang telah kuucapkan. Kurasa, itulah yang
sebaiknya kulakukan. Atas peristiwa tragis yang telah terjadi, aku tak pantas
lagi berkhayal menjadi malaikat pelindungmu. Aku tak mungkin lagi menuntunmu mendaki
bukit di tepi pantai, seperti kesenangan kita di hari-hari yang lampau. Sepasang
kakiku telah tiada. Teramputasi.
Bersama
kenangan yang masih membuncah di memoriku, kuejalah seuntai kata di balik sampul
album foto yang kau tinggalkan: Satu
pertentangan dalam hidup yang paling aku benci, bahwa kau mengingatku, lalu
melupakanku. Aku mohon, berusahalah untuk mengingatku kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar