Semangatku
menulis, semakin menggebu setelah aku mengenalmu. Kaulah sosok wanita yang
pertama kalinya memuji cerita gubahanku secara langsung, sembari meminta agar
aku tak berhenti menyusun kata, sampai selamanya. Kau mendambakan ceritaku,
layaknya kebutuhan pokok yang harus kau konsumsi setiap hari. Kau bahkan
menjanjikan diri sebagai pembaca terbaikku.
Untukmu,
kutekadkanlah untuk menulis apa pun, serutin mungkin. Itu karena kau pasti
menggerutu jika kulewatkan dua hari saja, tanpa menulis sesuatu untuk jadi bahan
hiburanmu. Kau akan menagih, dan menagih. Sampai kau pun meminta agar aku menulis
cerita yang lebih khusus tentang dirimu, meski cerita sebelumnya, jelas
menyiratkanmu juga. Kau menginginkan satu cerita yang lebih gamblang, tanpa
alasan.
Tak
tega melihatmu gundah-gulana, kutulislah satu cerita tentang sejarah kedekatan
kita. Cerita tentang kau yang jujur telah menjadi penguntit blog pribadiku, sengaja
meminjam buku dan kaset sebagai alasan penghubung, sampai memuji dan memintaku
menulis cerita tentangmu. Kurampungkan cerita itu dengan akhir yang menggantung
saja. Alurnya pun maju dan datar. Tak ada intrik yang mengagumkan.
Tapi
sebagaimana wanita yang suka melebih-lebihkan sesuatu yang sederhana, kau tetap
memuji ceritaku setengah mati. Katamu, itu menyentuh, meski memang sengaja
kutuliskan untukmu, sebagaimana kau pinta. Kau menganggap seolah-olah aku sendirilah
yang mengimajinasikan cerita itu, padahal hanya kutuliskan berdasarkan apa yang
pernah kau ceritakan padaku.
Dan,
dilema pun melandaku. Kau tampak ketagihan. Lagi-lagi, kau meminta cerita
tentang dirimu, tanpa mengajukan saran. Terserah aku saja, katamu. Jelas, aku jadi
kebingungan mencari sisi kehidupanmu yang cocok untuk kujadikan bahan cerita. Semua
telah kutuliskan di cerita pertama yang khusus untukmu. Dan pengulangan cerita,
adalah pertanda kematian bagi seorang penulis.
“Apa
kau tak bisa menulis lebih dari sekadar kisah perkenalan antara seorang
laki-laki dan perempuan dewasa?” tanyamu, dengan raut penuh kecewa.
“Aku
tak punya ide lagi,” kataku, pasrah.
Perlahan,
entah kenapa, raut kecewa-kesalmu, berubah jadi senang. “Bagaimana jika kau
andaikan saja dalam ceritamu kalau kita mengikat janji untuk menjadi sepasang
kekasih, lalu menjalani sebuah kehidupan yang bahagia?” tawarmu, dengan wajah
berseri-seri. “Aku yakin, kau pasti bisa menuliskannya dengan sempurna.”
Tanpa
berkata-kata, kuanggukkan saja pintamu.
Atas
tawaranmu yang terkesan sebagai desakan, kumulailah satu kisah lanjutan dari
sesi kedekatan kita yang nyata. Kubayangkan dan kutuliskan tentang
adegan-adegan berkesan yang mungkin melingkupi jalan kita mengikrarkan rasa. Seperti
lumrahnya sebuah drama romantis, kugambarkanlah kau sebagai seorang perempuan
yang pemalu, dan aku seorang lelaki yang kaku. Aku pun jadi gugup setengah mati
kala menyatakan perasaan padamu. Tapi akhirnya, kau tetap menyambut perasaanku
dengan penuh bahagia.
Selanjutnya,
kuangankan juga kisah kita sebagai sepasang kekasih yang hidup bahagia di alam
imajinasiku, kemudian kutuliskan dengan penuh perasaan. Kutulis semua tentang
kita yang kira-kira dimabuk ilusi cinta. Entah berjalan ke mana-mana, tanpa
tujuan, asalkan tetap bersama. Bisa juga dengan makan di restoran, berbelanja
di mal, berkejaran di tepi pantai, atau semua adegan-adegan romantis yang
mungkin didambakan seorang perempuan.
Berselang
dua hari, rampung juga satu kisah tentang kita, sebagaimana pintamu. Satu kisah
yang jelas tak bernyata, sebab kugubah dengan daya imajinasiku semata. Satu
kisah tentang sesi klimaks dari alur percintaan kita di alam angan-anganku. Dan
tanpa kusangka, aku melakukannya dengan begitu baik. Bahkan aku tak ragu untuk
memuji diriku sendiri setelah membaca kisah itu berulang kali.
Jelas
saja, kau sangat senang dengan hasil kerjaku. Kau memujiku dengan kata-kata
yang lebih daripada sebelumnya. Cerita yang kugubah, begitu mengalir, katamu.
Terbalut kata-kata yang mampu menyerasikan antara kedalaman makna dan diksi
yang indah. Juga adegan-adegan dan alur cerita yang begitu romantis, menurutmu.
Seakan-akan, kau merasa, sepenuhnya, hadir dalam cerita itu.
“Cerita
yang kau buat, begitu sempurna! Sungguh!” serumu dengan mimik penuh ketakjuban
yang tak dibuat-buat.
“Terima
kasih,” balasku, sambil tersenyum. “Tapi kau tak usah memujiku secara
berlebihan. Itu juga tercipta atas saranmu.”
Kau
tertawan pendek, kemudian menimpali, “Kau tahu, aku berulang tahun dua hari ke
depan. Kuharap kau hadir dan menghadiahkan satu cerita yang menakjubkan untukku,”
katamu, lalu menjeda beberapa detik, kemudian memberiku sebuah undangan untuk
acara malam tersebut. “Aku mohon.”
Tanpa
keraguan, aku mengangguk, menyanggupi permintaanmu.
Dan
lagi, aku kembali bermain-main dengan imajinasiku. Mengerahkan segenap daya
untuk menemukan satu pokok cerita yang menarik tentang kita. Mengimajinasikan
penggalan-penggalan adegan yang pas untuk menyampaikan maksud cerita itu secara
dramatis. Juga mengonsepkan alur yang mungkin bisa membuat kau, atau siapa pun
yang membacanya, larut dalam cerita, sampai terenyuh.
Hari
berganti. Pada hari kedua, bertarunglah aku di hadapan layar laptop. Berdiskusi
dengan pikiranku sendiri. Menyusun kata-kata tanpa peduli pada waktu, termasuk
soal jadwal makan yang teratur. Sesekali aku mengambil jeda untuk sekadar minum
atau melahap camilan, atau hal lain yang tak akan membuatku lupa pada kerangka
cerita yang telah rampung di benakku.
Keasyikan
menulis, akhirnya membuatku tak sadar, bahwa di balik kamarku yang remang,
malam telah tiba, tersambut langit yang mendung. Tapi demi cerita, aku tak akan
menganggap itu sebagai batas waktu untuk menghentikan perjuanganku. Terlalu sayang
untuk berhenti dengan alasan apa pun, selagi kata-kata membajiri kepalaku. Aku pun
terus mengetik, sampai rampunglah satu draf tulisan sepanjang empat halaman.
Tapi
semua belum apa-apa. Sekuat daya, kukerahkan lagi perhatianku demi menyempurnakan
kata-kata yang telah kususun. Kutilik ulang tulisan itu untuk membenahi kata
yang mungkin salah pengetikan, juga meralat kalimat yang mungkin kurang tepat
makna, atau kurang enak saja dilafalkan. Bahkan kadang-kadang, dengan berat
hati, aku harus merombak atau menghapus beberapa kalimat yang memang tidak sesuai dengan konteks cerita.
Sungguh,
hasrat menyelesaikan misi, membuatku tak peduli lagi pada rasa-rasa mataku
yang mengering, atau perutku yang keroncongan. Demi satu cerita yang membuncahi
pikiranku, kekhawatiran soal waktu, termasuk persiapan menuju pesta ulang
tahunmu, tak terlalu aku pedulikan. Prioritasku adalah cerita, dan aku masih
perlu mengulur waktu untuk membaca gubahanku sendiri, sampai pasti kalau cerita
itu telah mengalir baik dan utuh.
Kulakukanlah
perbaikan secara berulang, tanpa bosan, demi memenuhi tuntutan dari diriku
sendiri untuk merampungkan satu cerita yang sempurna. Dan lagi, aku melakukan
perbaikan selanjutnya, tanpa bosan, untuk ke sekian kalinya, demi memenuhi
tuntutan dari diriku sendiri untuk merampungkan satu cerita yang sempurna.
Lagi, dan lagi, aku melakukan perbaikan selanjutnya, tanpa bosan, untuk ke
sekian kalinya, demi memenuhi tuntutan dari diriku sendiri untuk merampungkan satu
cerita yang sempurna.
Tiba-tiba,
pintu rumahku berdetak. Seseorang mengetuknya.
Dengan
perasaan kesal, terpaksa aku meninggalkan ceritaku yang belum selesai sempurna,
demi menemui siapa gerangan yang datang bertamu begitu malam.
Dan
betapa kagetnya aku. Kudapati kau berdiri mematung di balik pintu. Terpaku
memandangku, di bawah payung, dengan pakaian yang terpercik titik-titik hujan
yang deras.
“Apa
kau lupa pada janjimu?” Kau berucap dengan mata berkaca-kaca. Tampak sangat
kecewa.
“Tapi
aku belum merampungkan satu cerita yang sempurna untukmu,” kataku. Berharap kau
menerima itu sebagai alasan yang pantas.
Kau
terlihat kesal. “Jadi kau kira itu lebih penting dari aku, bagitu?”
Aku
jadi bingung. “Bukankah itu yang kau inginkan?”
Kau
jadi semakin kesal. “Memang itu yang aku inginkan. Itu yang aku mau lebih dari
apa pun, andai saja kau tak menganggap cerita gubahanmu itu sekadar cerita.”
“Maksudmu?”
sergahku.
Kau
tak membalas. Menunduk, menyembunyikan tangismu. Seketika, kau bepaling,
berbalik badan, lalu pergi, menjauh dariku, entah ke mana, di bawah deru hujan
yang semakin deras.
Bersama
dengan satu bayangan cerita di benakku, yang belum selesai kutulis sempurna,
aku pun memalingkan wajah dari kau yang semakin menjauh. Dan lagi, setelah berharap
pada langit agar bersahabat denganmu malam ini, aku pun kembali ke posisi
favoritku, pada kursi kesayanganku, menghadap ke layar laptop, lalu melanjutkan
misiku, merampungkan sebuah cerita, sesempurna mungkin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar