Judul: Bebas dari Neoliberalisme;
Penulis: Mansour Fakih; Penerbit: INSISTPress; Tahun Terbit: 2003; Jumlah
Halaman: 161.
Indonesia
penuh dengan ironi, termasuk di bidang perekonomian. Negara ini kaya sumber
daya alam, tapi warganya banyak yang hidup di bawah garis kemiskinan. Pemenuhan
kebutuhan dasar saja susah payah. Jangankan sandang dan papan layak, pemenuhan kebutuhan
atas pangan saja masih semrawut. Padahal tak diragukan lagi bahwa tanah air
Indonesia sangat menghidupi. Segala macam jenis tanaman bisa tumbuh subur.
Meski begitu, masih banyak anak bangsa yang menganggur. Terpaksa menggelandang
sebagai pengemis demi bertahan hidup. Tak ada pekerjaan. Padahal segala sektor potensial
untuk dikembangkan jadi lapangan pekerjaan di negara ini, termasuk pertanian,
kelautan dan perikanan, pertambangan, dan industri.
Kini,
kehidupan kebangsaan masih mempertontonan fenomena anak negeri yang busung
lapar. Bak tikus mati kelaparan di lumbung padi. Sangat memiriskan. Indonesia hanya
negara agraria di atas kertas. Buktinya, para petani di desa merantau ke kota
untuk menjual tenaganya. Tanah di desa dianggap tak lagi menghidupi. Sumber
daya alam pedesaan terpaksa diabaikan. Arus urbanisasi jadi tak terbendung.
Imbasnya, terjadi penumpukan sumber daya manusia di perkotaan. Pengangguran
akibat perebutan lapangan kerja di perkotaan pun terjadi. Padahal, beragam
potensi lapangan kerja bisa digarap di pedesaan.
Apa
yang jadi pangkal permasalahan sejumlah fenomena memilukan di atas, apakah
warga pedesaan malas dan tak berpendidikan sehingga tak bisa mengelola kekayaan
alam pedesaan? Jawabannya tidak! Setidaknya, itulah jawaban yang dapat kita simpulkan
jika membaca buku garapan Mansour Fakih berjudul Bebas dari Neoliberalisme.
Buku ini mampu membuka cakrawala pemikiran bahwa kemiskinan rakyat, terutama di
Indonesia, disebabkan oleh agenda-agenda kapitalistik dalam ranah globalisasi.
Masyarakat pedesaan tak bisa lagi mengharapkan penghidupan layak dari tanah
garapannya. Tanah negeri berdasarkan sistem, tak lagi diperuntukkan untuk
menyejahterakan rakyat, tetapi telah digadaikan kepada para pemilik modal. Dikelola
oleh perusahaan agribisnis demi efisiensi setinggi mungkin. Lahan luas jadinya
hanya dimiliki segelintir orang, sedangkan rakyat yang tergusur dari lahannya
terpaksa jadi buruh tani, ataukah mencari perkerjaan lain.
Membaca
buku tulisan Penulis yang lulusan Fakultas Filsafat dan Teologi-IAIN Syarif Hidayatullah ini,
akan memberikan pencerahan bahwa kemiskinan manusia di negara dunia ketiga disebabkan
oleh faktor eksternal. Kemiskinan terjadi secara sitematis dan terstruktur. Ada
sistem yang telah dirangcang negara-negara kapitalis untuk mencerabut hak-hak warga
di negara berkembang atas perekonomian yang berkeadilan sosial. Negara
kapitalis itu berusaha melindungi kepentingan perusahaan transnasionalnya untuk
mengeruk keuntungan di negara lain. Mengumpulkan keuntungan sebesar-besarnya dengan
memperalat sumber daya alam dan sumber daya manusia di negara berkembang dengan
instrumen regulasi dan organisasi. Sistem yang belakangan digaung-gaungkan sebagai
solusi terbaik di dunia modern itu, namun sebenarnya bentuk baru penjajahan,
disebut sistem perkonomian neoliberalisme.
Buku
ini mampu memberikan pemahaman akan dimengerti seluk-beluk neoliberalisme.
Argumentasi penulis dituliskan secara padat dan jelas. Berdasarkan sejarah yang
dituangkan penulis dalam buku, paham liberalisme sebagai induk neoliberalisme
yang sama-sama berintikan persaingan bebas, tumbang akibat krisis atau bencana
depresi di masa kolonialisme pada tahun 1930-an. Selanjutnya, muncullah paham pembangunanisme
(disebut juga kapitalisme negara atau state-led
development). Paham ini dipelopori ekonom berkebangsaan Inggris, John Maynard
Keynes. Inti pahamnya adalah memberikan kekuasaan kepada pemerintah negara untuk
melakukan pembangunan semaksimal mungkin. Ironisnya, demi kepentingan
pembangunan itu, pemegang kekuaaan negara malah melakukan pelanggaran terhadap
hak asasi warga negaranya sendiri. Misalnya, penggenjotan pembangunan sektor
pertanian di pedesaan melalui program Revolusi Hijau. Dinilai sebagai solusi,
program bernapas paham pembangunanisme tersebut malah merusak kelestarian
lingkungan, serta melanggar hak kepemilikan warga atas lahan untuk
kesejahteraannya.
Pada
paham pembangunanisme, secara kuantitas, perekonomian negara bertumbuh, tapi di
tingkatan grass root, masyarakat
banyak melarat. Paham ini sempat diadopsi di masa Orde Baru yang dimasukkan dalam
program Repelita. Pembangunan pun melaju, namun di sisi lain, masyarakat
pedesaan banyak yang kehilangan lahan dan jatuh miskin. Lahan dimiliki segelintir
orang bermodal. Potensi alam dan masyarakat pun dikeruk seiring KKN (korupsi,
kolusi, dan nepotisme) yang terjadi di mana-mana. Akhirnya, paham ekonomi model
pembangunanisme yang mendatangkan bencana itu, runtuh pada tahun 1997. Penyebabnya
lain runtuhnya paham ini adalah akibat ditenggelamkan oleh paham liberalisme baru
(baca: neoliberalisme). Para penganut paham neoliberalisme merasa kepentingan
mereka terkekang akibat otoritas negara yang terlalu banyak mengatur.
Neoliberalisme
merupakan pembaruan dari paham liberalisme yang pernah berjaya di zaman
kolonial. Bedanya, sebab neoliberalisme lahir di zaman globalisasi dengan aktor
penggeraknya adalah perusahaan transnasional, bukan negara. Negara hanya tameng.
Pokok paham ini adalah memperjuangkan laissez
faire (persaingan bebas dalam percaturan ekonomi), demi kepentingan hak-hak
individualis. Jadi, paham neoliberalisme adalah bentuk baru liberalisme yang
dikembangkan dari buah pikir ekonom Inggris Adam Smith dalam karyanya berjudul The Wealth of Nations (1776). Intinya pahamnya
adalah menghapus intervensi pemerintah dalam bidang perekonomian. Melanggengkan
persaingan bebas di bidang perekonomian. Secara umum, penganut paham
neoliberalisme berkeyakinan bahwa kehidupan manusia akan lebih baik jika
dilakukan beberap hal, yaitu: biarkan pasar bekerja, kurangi pemborosan dengan
memangkas pengeluaran negara yang tidak produktif semacam subsidi, deregulasi
di bidang ekonomi, privatisasi sektor-sektor publik, dan kembangkan paham individualis.
Perkembangan
paham neoliberalisme adalah buah dari propaganda perusahaan transnasional atau Trans National Corporation (TNCs).
TNCs memperalat lembaga internasional, berupa IMF (International
Monetary Fund) yang dibentuk pada Desember 1945 dan Bank Dunia yang dibentuk pada Juli 1944. Dua lembaga ini digunakan untuk mengikat negara berkembang dengan memberikan utang, sehingga mau tak mau harus melaksanakan agenda neoliberalisme. Selain
itu, TNCs juga mengupayakan globalisasi terjadi di sektor perekonomian dengan membentuk kawasan kerja sama perekonomian, seperti Otorita Batam,
NAFTA, AFTA, APEC, BIMPEAGA, dan SIJORI. Melalui instrumen kawasan tersebut,
TNCs akan lebih mudah menginvasi perekonomian sebuah negara melalui proses
ekspor-impor. Salah satu pencapaian besar agenda neoliberalisme adalah penandatanganan GATT (General Agreement on Tariff and Trade) pada tahun 1947. GATT inilah yang menjadi dasar pembentukan IMF, Word Bank, dan sebuah organisasi perdagangan dunia nantinya. Setelah melalui proses perundingan dan pembaruan atas GATT, akhirnya pada pertemuan tingkat menteri negara-negara peserta (Contracting Parties) GATT di Maroko, April 1994, disahkanlah Final Act yang memuat kesepakatan pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO (World Trade
Organisation). Organisasi itu resmi didirikan pada Januari 1995. Di bawah naungan WTO, GATT membuat program TNCs semakin kuat untuk memperluas dampak neoliberalisme. Pemerintah Indonesia sebagai salah satu pendiri WTO pun telah meratifikasi persetujuan pembentukan WTO melalui UU
No. 7/1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization. Tidak sebatas itu, penyesuian regulasi
mengikuti pahan neoliberalisme juga dilakukan di bidang pertanian, kehutanan,
kekayaan intelektual, pendidikan, kesehatan, migas, air, dan lain-lain.
Pertanyaannya,
apakah paham neoliberalisme akan mampu menjamin terpenuhinya kebutuhan
masyarakat serta menciptakan kesejahteraan sosial yang adil? Dalam buku ini, Penulis
menyuguhkan argumentasi bahwa persaingan bebas dalam bidang ekonomi akan
berdampak buruk. Propaganda bahwa persaingan bebas akan menjamin pangan murah,
pengan aman dikonsumsi, hak kaum perempuan terlindungi, kekayaan intelektual terlindungi,
konsumen bebas memilih di antara banyak pilihan: semuanya hanya mitos. Hal itu
karena masyarakat kecil tidak akan mempu bersaing dengan TNCs. Masyarakat hanya
dijadikan objek untuk kemajuan TNCs. Mereka akan tergilas roda persaingan
bebas.
Secara
umum, dalam buku karyanya, Penulis mampu memaparkan hasil kajian mendalam
tentang neoliberalisme dari apek sejarah, latar belakang, agenda-agenda
terselubung, tujuan, bahanyanya, hingga menawarkan rencana perlawanan secara struktural.
Setelah khatam membaca buku ini, pembaca akan mendapatkan pencerahan bahwa
fenomena kemiskinan yang melanda bangsa Indonesia dan bangsa di negara
berkembang lainnya, adalah akibat sistem perekonomian yang dirancang
berdasarkan paham neoliberalisme. Bahwa rakyat miskin tak selayaknya disalahkan
atas penderitaan mereka dengan alasan mereka malas atau tak berpendidikan.
Kemiskinan mereka adalah buah dari bentuk penjajahan baru para TNCs.
Di
bagian akhir buku ini, Penulis menyuguhkan argumentasi yang menarik terkait
pertanyaan, kenapa kita harus menentang paham neoliberalisme. Sejumlah tawaran
solusi pun dipaparkan, misalnya melalui penguatan civil society untuk melakukan social
movement menentang setiap agenda berbau neoliberalisme. Untuk itu,
sumbangsih LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) dibutuhkan dalam memberikan
pencerahan kepada masyarakat terkait bahaya neoliberalisme. Meski begitu, buku
ini belum menyentuh persoalan bagaimana sistem perekonomian yang sebaiknya, yang
mampu mewujudkan perekonomian yang berkeadilan bagi masyarakat. Belum sampai pada sistem
apa yang akan dibangun setelah neoliberalisme berhasil ditumbangkan. Meski
begitu, buku ini, dengan apiknya telah berhasil membuka cakrawala pemikiran kita terkait
akar permasalahan kemiskinan secara lebih luas. Buku ini sangat layak dibaca
oleh semua kalangan untuk memperoleh satu buah pemikiran dari Penulis, tentang bagaimana
langkah tepat untuk mencerabut kemiskinan dari akar permasalahnnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar