Minggu, 20 November 2022

Tipuan Pencuri

Aku sampai di kecamatan ini saat hampir jam 11 malam. Setelah melintasi lorong yang panjang, aku lantas mengarah ke sebuah rumah sasaranku. Tetapi tiba-tiba, aku kembali mempertanyakan rencanaku untuk menggarong rumah itu. Aku takut salah langkah dan menuai bahaya. Apalagi, aku memang belum pernah bertamu, sehingga aku tak tahu kondisi di dalamnya.

Namun aku kembali terbayang pada istri dan anakku. Sudah jauh-jauh hari istriku meminta televisi pengganti untuk televisi kami yang telah rusak demi menonton kelanjutan sinetron favoritnya, sedangkan anakku terus meminta ponsel baru yang lebih canggih untuk keperluan belajar daringnya. Dan sebagai seorang ayah sekaligus suami, aku merasa bertanggung jawab untuk itu.

Tetapi mewujudkan permintaan-permintaan tersebut, bukanlah urusan yang mudah bagi diriku yang miskin. Aku butuh waktu yang lama untuk mengumpulkan ongkos atas pendapatanku yang minim sebagai seorang tukang ojek pangkalan. Bahkan uang di dompetku saat ini tidak sampai empat ratus ribu rupiah, yang merupakan sisihan penghasilanku setelah mengojek lebih dari sebulan. 

Akhirnya, atas keadaan pelik itu, aku kembali menguatkan hati untuk melakoni kenekatanku yang berisiko. Aku merasa sudah tidak tahan lagi mendengarkan ocehan istriku dan rengekan anakku setiap waktu. Dan untuk menyudahi keadaan itu, jalan terbaik bagiku adalah menyatroni rumah seseorang lelaki tajir berusia kepala lima, yang mengumpulkan harta dengan usaha pengobatan alternatif.

Karena pekerjaan lelaki itu pula, aku jadi makin nekat. Paling tidak, meskipun aku mencuri, aku mencuri dari seseorang yang juga memperoleh penghasilan dengan cara yang haram. Pasalnya, kata orang-orang, mantan narapidana kasus penipuan berkedok investasi itu, tidak punya dasar untuk membuka pengobatan alternatif. Ia bukan keturunan orang pintar, dan ia tak pernah mempelajari teknik pengobatan tradisional.

Karena itulah, orang-orang lantas memvonis bahwa praktik pengobatannya cuma rekayasa dan permainan semata. Sekadar aksi tipu-tipu untuk mendapatkan uang. Dan tanpa keraguan, aku membenarkannya pula. Namun sayang, kebenaran itu tidak tersampaikan kepada semua orang. Akibatnya, ada-ada saja pasien dari luar kota yang teperdaya iklan dan propaganda bombastisnya di media sosial. 

Atas alasan itu, dengan wajah yang berbalut topeng, juga berbekal sebuah pistol mainan, aku pun membulatkan tekad dan mulai melangkah sigap ke dalam sisi halaman rumahnya. Aku merasa aman sebab rumah itu memang berjarak dari rumah yang lain. Belum lagi, aku tahu bahwa ia tinggal sendiri di dalam rumahnya, sebab istrinya telah meninggal dan anak semata wayangnya berkuliah di kota.

Tetapi sial. Di tengah perasaan optimistisku, tiba-tiba, kaki kiriku tersandung tingkatan anak tangga menuju selasar. Aku pun tersungkur dengan lutut kanan yang mendarat keras di tembok teras, dan kepala yang menubruk daun pintu, hingga menimbulkan suara gaduh. 

Aku pun berusaha diam, meski didera kesakitan. Dengan perasaan waswas, aku berusaha berdiri untuk segera melarikan diri. Tetapi aku tak sanggup menegakkan kaki kananku.

Hingga akhirnya, aku mendengar tapakan kaki yang makin mendekat ke arah pintu. Dengan sigap, aku memutuskan untuk mengaburkan rencanaku. Aku lantas membuka topengku dan mengamankan pistol mainan di balik pinggang celanaku.

Sampai akhirnya, sang lelaki membuka pintu dan mendapatiku. "He, Bapak siapa? Ada keperluan apa malam-malam begini?" tanyanya, sembari membaca-baca wajahku di tengah keremangan.

Pikiranku lantas bekerja cepat untuk meramu kilahan, hingga aku menuturkan alasan yang muncul di dalam benakku begitu saja, "Namaku Roni, Pak. Aku mencari rumah sepupuku. Aku baru pertama kali datang ke daerah ini.”

Wajahnya pun tampak menyiratkan tanda tanya.

Aku lekas menimpali, “Kebetulan, aku ada keperluan dinas di kecamatan ini. Rencananya, aku hendak bersilaturahmi dan menginap di rumah sepupuku itu. Dan sesuai penuturannya, ia tinggal di sekitar sini. Aku kira rumah Bapak ini adalah rumahnya. Aku hendak mengetuk pintu, tetapi aku malah tersandung dan terjatuh."

“Oh…,” tanggapnya, sembari menangguk-angguk dengan raut yang tampak mulai bersahabat. "Siapa nama sepupu Bapak itu?"

"Agus, Pak," karangku, sebab aku yakin saja bahwa ia punya tetangga dengan nama umum itu.

Seketika, ia tampak menebak-nebak, kemudian meminta penegasan, "Agus tukung kayu itu?"

Aku membenarkan saja, "Iya, Pak."

Ia pun tersenyum. "Rumahnya masih agak jauh dari sini. Bapak masih perlu melanjutkan perjalanan sekitar satu kilometer lagi melalui jalan utama, sampai Bapak menemukan bangunan sekolah dasar. Nah, tepat di depan sekolah, itulah rumahnya."

Aku balas tersenyum dan mengangguk-angguk. "Terima kasih atas petunjuk Bapak," balasku, lantas berusaha bangkit untuk pamit dan pergi.

Tetapi sial, lututku masih sangat sakit akibat tumbukan yang keras, sehingga aku jadi kepayahan untuk berdiri.

“Kaki Bapak sakit?” tanyanya.

Aku menangguk. “Iya, Pak. Lututku. Tetapi tidak apa-apa, kok,” kataku, sembari menguatkan diri untuk mulai melangkah.

Tetapi seolah prihatin, ia lekas menahanku. Ia lantas menggulung bagian bawah celanaku dan mengamat-amati lutut kananku. "Wah, lutut Bapak lebam. Bahaya kalau ada pembekuan darah di persendian Bapak ini," katanya, dengan raut serius. "Ada baiknya, Bapak masuklah ke rumahku. Biar aku obati terlebih dahulu sebelum Bapak melanjutkan perjalanan."

Tanpa pertimbangan, aku lekas menggeleng atas pengetahuanku perihal kepalsuan praktik pengobatannya. “Tak usah, Pak.”

Namun ia malah membujuk, "Jangan sungkan. Akun ini seorang tabib.”

Aku pun terdiam dan kelimpungan.

“Ayolah. Aku ahli soal beginian," tuturnya, seperti mencoba meyakinkanku. “Ayo!”

Menyaksikan ajakan kerasnya, aku pun merasa tak bisa apa-apa selain pasrah. "Baiklah, Pak."

Akhirnya, ia memapahku ke dalam rumahnya, hingga aku duduk di sofa, di ruang tamu.

Dengan sikap bersahabat, ia lantas permisi dan beranjak ke ruangan lain.

Aku lalu meletakkan tas dan jaketku di sisi sampingku. Detik demi detik, aku terus menenangkan perasaanku sembari melayang-layangkan pandanganku untuk melihat barang-barangnya yang cukup berharga. Tetapi tiba-tiba saja, aku jadi kehilangan selera untuk mengambil beberapa di antaranya dan memasukkannya ke dalam ranselku.

Beberapa lama kemudian, ia kembali sambil membawa sebuah botol kecil yang kuduga berisi ramuan obat ala-alanya, juga segelas sirup dan sestoples kue. Ia lantas mempersilakanku menyantap sajiannya itu, tetapi aku menolak untuk sementara waktu, demi mengesankan kesopananku sebagai seorang tamu baru.

Dan akhirnya, ia pun mengoleskan minyak obatnya di lututku, kemudian melakukan usapan-usapan di sekitarnya. Ia tampak melakukannya dengan penuh perhatian, seolah-olah ia benar-benar seorang tabib dan aku adalah pasiennya. Karena itu, perlahan-lahan, aku mulai berprasangka baik dan berubah penafsiran tentang dirinya.

Sepanjang proses pengobatannya itu, kami pun mengobrol hangat. Ia tampak sangat bersahabat. Ia terus menuturkan cerita perihal kemujaraban pengobatannya, dan aku terus membalasnya dengan cerita bohongku. Sebab itu pula, diam-diam, aku mulai merasa bersalah telah menyikapinya dengan buruk dan menyangsikan kebaikannya.

Detik demi detik kemudian, anggapanku atas dirinya makin berbalik. Aku makin menyadari kebajikan hatinya dari wujud sikapnya. Aku bahkan mulai berani bersaksi bahwa ia adalah orang yang baik. Karena itu, aku merasa bersyukur telah gagal mencuri isi rumahnya, sehingga aku tidak menyalahi prinsipku sendiri dalam memilih sasaran pencurian.

Setelah rasa nyut-nyutan di lututku mulai reda, aku pun mengaku kalau keadaanku sudah cukup baik, sehingga ia menyudahi proses pengobatannya. Aku lantas melontarkan basa-basi penutup, sembari mencicipi sirup dan kue tawarannya. Hingga akhirnya, aku mengenakan jaketku dan menggendong tasku, kemudian pamit dan pergi dengan anggapan baru terhadapnya.

Namun di tengah perjalanan, saat aku masih terus terpikir pada kebaikan hatinya, perlahan-lahan, aku merasa meriang dan sakit kepala, seolah-olah aku masuk angin. Aku lantas menghentikan sepeda motorku di depan sebuah toko yang masih buka untuk membeli obat. Tetapi sial, dompetku telah lenyap dari dalam kantong jaketku, entah di mana dan bagaimana.

Seketika pula, aku memikir-mikirkan segala kemungkinan perihal titik keberadaan dompetku. Tetapi sekian lama, aku tak bisa juga menepis dugaanku bahwa dompetku hilang di kawasan rumah sang tabib. Karena itu, aku kembali meragukan anggapan baruku terhadap dirinya. Aku kembali berpikir bahwa barangkali ia memang seorang penipu yang lihai. 

Sesaat berselang, tiba-tiba, aku merasakan kecamuk di dalam perutku. Dengan perasaan yang begitu sungkan, aku lalu meminta maaf kepada sang pemilik toko sebab aku batal membeli obatnya karena ketiadaan uang, kemudian meminta izin untuk menumpang dan membuang hajatku di dalam toiletnya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar