Minggu, 20 November 2022

Cinta yang Membahayakan

Aku merasa bersalah telah membawanya ke dalam bahaya. Aku telah mengikatnya dalam hubungan yang istimewa, hingga ia terseret ke dalam persoalan genting yang tak ia pahami. Dan sialnya, aku tak tahu bagaimana cara untuk membebaskannya dari jeratan setan itu. Bahkan mungkin, aku tak bisa lagi melepaskan diriku sendiri. 

Semua bermula di sebuah kafe, pada satu malam, dua bulan yang lalu. Aku bertandang sendiri untuk mencari penghiburan, dan menemukannya tengah menyendiri. Aku lalu permisi dan duduk di depannya, entah karena tak ada lagi meja yang kosong, atau karena aku memang jatuh hati saat pertama kali melihatnya. Kami pun berkenalan dan jadi makin dekat setelahnya.  

Sebab itulah, kadang-kadang, aku merasa tak sepatutnya menyalahkan diriku sendiri, sebab takdirlah yang telah menyatukan perasaan kami. Bagaimanapun, selain kematian, tak ada cara lain untuk memisahkan dan membunuh cinta yang tumbuh di dalam hati kami, yang membuat kami ingin hidup bersama selamanya. Dan barangkali, akan begitulah akhirnya.

Aku sungguh tak paham bagaimana cara cinta bekerja dan menautkan kami. Dengan begitu saja, aku merasa telah menemukan sosok perempuan yang sempurna, yang kucita-citakan untuk menjadi pasangan hidupku. Ia cantik dan menarik. Tetapi karena cintaku pula, aku jadi tak sepenuh hati membiarkannya jatuh dalam kehidupanku yang penuh noda dan dosa. 

Sampai akhirnya, atas hubungan kami yang makin lekat, ancaman pun datang. Tiga hari yang lalu, Juno merutukiku saat aku menghadapnya di markas kami. Ia menghantam perut dan pipiku dengan bogem mentah. Sebagai orang yang telah membawaku ke dalam lingkaran pengedaran narkoba, ia merasa kesal mengetahui kalau aku menjalin hubungan asmara.  

"Sudah kukatakan, jangan pernah bermain hati dengan wanita secara sembarangan. Terlibat dalam urusan semacam itu, bisa bahaya bagi jaringan kita," tegas Juno. 

Aku hanya terdiam. 

"Bahayanya bukan saja karena ia mungkin adalah intel, tetapi juga karena ia mungkin adalah penyusup dari jaringan lain," terang Juno lagi, lantas bertanya keras, "Apa kau belum paham soal bahaya itu?"

Dengan segan, aku pun meliriknya dan membalas polos, "Tetapi aku yakin kalau ia bukan siapa-siapa, Kak. Aku yakin ia hanya wanita biasa, dan kami hanya saling mencintai." 

Ia sontak menggeleng-geleng. "Cinta memang telah mengacaukan pikiranmu. Cinta membuatmu tak lagi awas. Bukankah sudah kuceritakan kalau sindikat kita pernah hampir hancur karena anggota kita menjalin kasih dengan seorang perempuan yang ternyata adalah intel ataupun anggota jaringan lain?"

Menyadari bahaya itu, aku pun merasa bersalah. "Maaf kalau tindakanku ternyata keliru." 

"Ya, tindakanmu jelas keliru!" timpalnya, lantas melecutkan ludah. "Kau pasti sudah banyak bercerita tentang hidupmu kepadanya, kan? Atau kau malah sudah menceritakan soal jaringan kita?"

Aku lekas menggeleng. "Aku tak mungkin bersikap sebodoh itu, Kak." 

Ia lantas mengangguk-angguk. "Baguslah kalau begitu. Tetapi sebelum benar-benar menimbulkan bahaya, hubungan kalian harus dihentikan." Ia kemudian berdiri dengan posisi membelakangiku. "Aku yakin kalau kau tak mungkin sanggup melepaskan diri dari perempuan itu. Jadi, biarkan kami mengambil tindakan, demi kita semua."

"Maksud Kakak?" tanyaku, khawatir.  

"Pada akhirnya, kau akan tahu sendiri. Yang pasti, kau jangan lagi bertemu, berkomunikasi, atau berharap untuk hidup dengan perempuan itu," balasnya, begitu saja, kemudan melangkah pergi bersama beberapa anggota jaringan kami yang lain.

Meski tak menjelaskan maksud tindakan yang akan ia ambil, tetapi aku bisa memahami kalau itu berarti ia akan membahayakan kekasihku. 

Akhirnya, selama tiga hari menahan diri untuk berjumpa dan mengobrol dengan pujaan hatiku itu, aku pun terus menebak-nebak perihal apa yang akan menimpanya. Aku hanya berharap, ancaman Juno tidak berarti bahwa ia akan membunuhnya. Bagaimanapun, meski kami tak bersama, aku tetap berharap ia hidup dan bahagia. 

Di tengah kekalutanku, kini, pada pertengahan malam, ketika aku kembali berada di kamar kontrakanku selepas mengedarkan narkoba, aku lagi-lagi merenungkan perihal masa depan kami di antara cinta suciku dan pekerjaanku haramku. Aku kembali memikir-mikirkan jalan keluar di antara dua ketidaksinkronan itu. 

Sesaat kemudian, pikiranku lantas melayang ke masa lalu. Aku pun kembali menyesal telah menjerumuskan diriku ke dalam perkara yang rumit demi memenuhi perongkosan gaya hidupku di kota. Apalagi, kalau terjadi masalah, masa depanku bisa hancur. Aku mungkin dijebloskan ke dalam penjara, atau berakhir di liang lahad. 

Pusing memikirkan kepelikan itu, aku lalu memutuskan untuk menulis surat. Aku bermaksud menyampaikan pernyataan perpisahan kepada kekasihku tanpa interupsi, beserta permintaan agar ia tak lagi mengharapkanku. Setelah mengirimkannya, akan berencana untuk berpindah tempat tinggal, sembari memblokir nomor teleponnya dan akun media sosialnya.  

Namun ketika hendak mengambil pulpen di dalam pot alat tulis, seketika pula, aku terkejut setelah menemukan benda kecil yang asing. Aku lalu mengamatinya, hingga aku tahu kalau itu adalah mikrofon untuk pengupingan jarak jauh. Aku pun lekas menonaktifkannya, kemudian menerka-nerka perihal siapa yang berusaha menelingaiku.

Lalu tiba-tiba, di tengah kecurigaanku kepada siapa-siapa, aku mendengar ketukan di daun pintu, beserta sahutan namaku. Seketika pula, aku tahu kalau suara itu adalah suara kekasihku. Tanpa berpikir panjang, aku pun membukakan kuncian pintu untuknya. Dan serta-merta, ia lantas masuk dan menjatuhkan tubuhnya ke dalam pelukanku.  

"Ada apa?" tanyaku, penasaran.

"Ada dua orang yang datang ke rumahku. Aku yakin mereka hendak mencelakaiku," jawabnya, kalut.  

"Siapa mereka? Apa kau mengenalnya?" sidikku. 

Ia menggeleng keras. "Entahlah, Mereka mengenakan topeng.”  

Seketika, aku terpikir kalau kedua orang itu adalah suruhan Juno. "Tenanglah. Kau aman di sini."

Ia lantas duduk di sofa.  

Aku lalu melangkah ke sudut ruangan untuk mengambilkan air minum untuknya. 

Dan tiba-tiba, ponselku berdering. Kulihat, Juno sedang memanggil. Dengan pikiran yang kacau, aku pun menjawabnya.  

"Ada apa, Kak?" tanyaku, dengan suara pelan dan tenang, agar kekasihku tak mendengar dan menaruh perhatian pada pembicaraan kami.

"Kau berhati-hatilah!" kata Juno. "Dua orang yang kukirim, gagal meringkus perempuan idamanmu itu. Mereka bahkan telah dilumpuhkan oleh perempuan sialan itu. Seperti yang kuwanti-wanti, ia bukan orang biasa seperti yang engkau duga." 

Sontak saja, perasaanku kacau. Aku pun jadi kalang kabut. "Jadi bagaimana? Apa yang seharusnya kulakukan?"

"Cepat pergi ke markas. Kita bicarakan di sana," titah Juno. 

"Baiklah," tanggapku. 

Sambungan telepon pun terputus. 

Aku lalu mendekati kekasihku itu, sembari membawakan segelas air putih untuknya. Di dalam hati, aku pun bertanya-tanya: Kau sebenarnya siapa, Sayang?

Detik demi detik berlalu. Aku makin bingung mengambil sikap.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar