Betapa
sulit menghapus duka. Enam puluh hari sepeninggal ibunya sebagai korban tabrak
lari, Ginda masih larut dalam kesedihan. Ada rasa galau di hatinya kala
menyaksikan bahwa keadaan hidupnya kini telah banyak berubah. Ibunya telah
pergi, dan ia kehilangan tempat mengadu. Suasana rumah menjadi lengang, dan
keceriaan pun sirna.
Memang
sudah sepantasnya Ginda merasa kehilangan. Kemarin-kemarin, bersama ibunyalah
ia melewatkan waktu yang panjang. Ia tak begitu berharap pada kehadiran ayahnya
setiap waktu, sebab ia tahu kalau sang ayah punya urusan pekerjaan dan harus
sering-sering berada di luar kota. Pun, ia tak memiliki saudara kandung sebagai
partner bermain atau beradu.
Sungguh,
tak ada yang bisa menggantikan posisi sang ibu di hati Ginda. Sepanjang waktu
yang lampau, sang ibu senantiasa memanjakannya, sampai ia tak berharap lagi
pada siapa-siapa. Keadaan itu membuatnya lebih suka menghabiskan waktu di rumah
bersama sang ibu, dan tak berselera menemukan teman baik di luar sana. Hingga
akhirnya, ia tak seperti gadis berumur 13 tahun yang lain, yang memiliki banyak
kawan sepermainan sebagai tempat pelarian.
Suka
atau tidak, kini, hanya pada ayahnyalah Ginda bisa menumpukan beban hidupnya. Sejak
kedatangan sang ayah tepat di hari kematian sang ibu, Ginda mulai menyesuaikan
diri. Ia mulai berkawan dengan sang ayah, meski ia tahu kalau ayahnya tak akan
bisa mengawaninya sehangat ibu. Ia pun mulai membagi kerisauan hatinya sedikit
demi sedikit, meski tak sepolos kepada sang ibu.
Seiring
waktu, jarak batin antara Ginda dan ayahnya akibat kebersamaan yang jarang,
tampak semakin menipis. Ia mulai berani berceloteh tentang apa pun kepada sang
ayah, meski tetap ada perasaan kikuk sebagaimana komunikasi anak gadis dengan
sosok ayah pada umumnya. Dan respons bersahabat dari ayahnya, berhasil juga membuat
Ginda merasa nyaman. Hingga ia mulai merasa kalau sang ayah ternyata begitu
menyayanginya, meski kehadirannya tak seintens sang ibu dahulu.
Sampai
akhirnya, Ginda jadi tak akan lagi berselera untuk membanding-bandingkan kasih
sayang antara sosok ibu dan ayah kepadanya. Hanya ada rasa bangga di hatinya
kini, sebab telah dilahirkan sebagai buah cinta dari kedua orang tuanya,
Ginarti dan Danuarta, dua nama yang melahirkan sebuah akronim untuk menjadi
namanya. Padahal dahulu, setiap kali sang ibu iseng untuk bertanya dan memberi
pilihan, ia selalu mudah untuk memilih apa pun tentang ibunya dan
mengesampingkan perihal ayahnya, sampai ia hanya ingin dipanggil “Gin”, tanpa
“Da”.
Keseganan
antara Ginda dan ayahnya, benar-benar semakin menghilang. Kebersamaan yang
lebih lama, telah membuat mereka terbiasa dengan masa kini, dan melupakan jarak
yang membentang di masa lampau. Demi memancangkan kebiasaan baru itu, ayahnya
bahkan berkorban untuk mengesampingkan urusan pekerjaan sama sekali, dan
menemaninya penuh waktu. Seolah ayahnya hadir sebagai sosok ayah sejati, sekaligus
sebagai ibu.
Keakraban
yang tak lagi dibuat-buat, perlahan membuat Ginda turut dengan kebiasaan
ayahnya. Ia mulai belajar memasak dan memelihara taman. Ia mulai suka menonton tayangan
berita ketimbang sinetron. Hingga ia mulai gemar berlari-lari kecil setiap pagi
dan menyesap teh hangat di pelataran rumah setelahnya, sembari membaca koran
atau buku.
Dan
di satu malam, kala mereka tengah menonton televisi, Ginda mulai tak sabar
untuk menanyakan sesuatu yang selama ini ia pendam tentang ayah dan ibunya. “Apa
aku boleh bertanya sesuatu, Ayah?”
Sang
ayah menoleh kepadanya. “Ya, tentu saja boleh, Nak. Kau mau bertanya apa?”
Ginda
menatap ayahnya sekilas, kemudian lekas menunduk, “Ayah kerja apa sih di kota,
sampai-sampai jarang pulang ke sini?” tanyanya, sambil menjentik-jentikkan kuku
tangannya.
Ayahnya
sedikit tercekat atas pertanyaan itu. Namun lekas ia tersenyum dan membalas,
“Ayah bekerja di bagian keuangan sebuah perusahaan konstruksi, yang membangun
gedung-gedung bertingkat di tangah kota. Perkerjaan itu senantiasa butuh
kehadiran Ayah. Jadi Ayah hanya bisa pulang di waktu yang benar-benar lowong,”
jelasnya. “Suatu saat kau akan mengerti soal pekerjaan itu.”
“Apa
selama di sana, Ayah tak merindukan Ibu dan aku?” tanya Ginda lagi.
“Tentu
saja aku merindukanmu, Nak, dan Ibumu juga,” jawab sang ayah. “Memangnya
kenapa?”
“Tak
apa-apa. Dahulu, terkadang aku dan Ibu sangat merindukan kehadiran Ayah,” kata
Ginda, dengan raut yang memendam kerisauan.
Ayahnya
membalas dengan senyuman singkat.
“Ayah
benar-benar mencintai Ibu, kan?” tanya Ginda lagi.
Ayahnya
tampak sedikit kalap mendengar pertanyaan itu. “Ya, tentu saja. Ibumu kan cantik.
Sama cantiknya denganmu!” jawabnya, sambil mengusap rambut anaknya yang
sedikit berombak.
Ginda
tampak tersipu. “Tapi apakah Ayah masih akan mencintai Ibu jika saja ia masih
ada dan sudah tak cantik lagi?”
“Tentu
saja, Nak!” balas sang ayah. "Memangnya kenapa bertanya begitu?”
Lekas
Ginda tertunduk lagi, kemudian menjawab dengan suara sendu, “Aku ingat dahulu,
Ibu sering bercermin, lalu bertanya padaku apakah ia masih cantik. Ya tentu saja
aku jawab iya. Dan ia terlihat sangat senang.”
Ayahnya
tertawa pendek. “Apa ia masih meragukan kecantikannya?”
“Aku
kira begitu, Ayah,” kata Ginda. “Ibu bilang kalau modal seorang istri adalah
rupa. Ketika seorang istri tak cantik lagi, katanya, kesetiaan suami akan
goyah.”
Ayahnya
tampak tersenyum mendengar keterangan itu. “Pernyataan Ibumu itu, tidak
sepenuhnya benar. Bagi Ayah, cinta kitalah yang membuat sesuatu terlihat indah,
bukannya keindahan yang membuat kita mencintai sesuatu.”
Ginda
tak memberikan respons yang berarti. Seolah kalimat ayahnya begitu rumit untuk dimaknai.
Beberapa
menit berselang, Ginda kembali bertanya perihal yang lain. “Ayah, apa boleh
kita keliling kota dengan mobil Ayah? Aku kadang suntuk di sini saja.”
“Kenapa
tidak, Nak,” balas sang ayah, sembari mengusap-usap lengan Ginda. “Tapi tidak
untuk waktu-waktu saat ini. Kau tahu, kita masih berduka atas kepergian Ibumu.
Ayah masih merasa perlu berlama-lama di sini dan mengenang kebersamaan kita di
masa lalu. Tunggulah sampai besok-besok. Ayah berjanji akan membawamu ke kota,
tempat Ayah bekerja selama ini.”
Ginda
merasa kecewa atas penolakan itu. Tapi janji untuk melanglang ke tengah kota di
suatu saat, tetap membuatnya semringah.
Tak
berselang lama, percakapan benar-benar berakhir.
Dan di awal malam itu juga, Danu berpamitan kepada sang anak untuk melakukan satu urusan.
Dan di awal malam itu juga, Danu berpamitan kepada sang anak untuk melakukan satu urusan.
Ginda
mengerti dan tak ingin bertanya-tanya soal apa pun, selain meminta ayahnya untuk
segera pulang.
Ayahnya
pun pergi dengan menumpang mobil sewa, dan membiarkan mobil mewahnya terparkir saja
di garasi rumah.
Detik-detik
bergulir, dan malam semakin larut. Lewat tengah malam, sang ayah tak juga
pulang. Ginda pun menanti dengan perasaan risau. Ia khawatir kalau-kalau
terjadi sesuatu pada ayahnya. Sampai akhirnya, kantuk berhasil juga membuatnya
terlelap.
Saat
terbangun di pagi hari, Ginda tak juga menyaksikan kehadiran ayahnya. Ia
semakin kalut dan mencoba menghubungi nomor telepon sang ayah beberapa kali,
tapi tak kunjung tersambung. Hingga ia pasrah dan mencoba menemukan penyangkalan
untuk prasangka buruknya, bahwa barangkali, ayahnya memang punya pekerjaan yang
penting dan pelik seperti dahulu, sehingga harus pulang lebih lambat.
Bersama
perasaan was-was yang terus ia redam, Ginda menguatkan diri untuk menangani
pekerjaan rumah seperti yang ia lakukan bersama ayahnya di waktu belakangan. Ia
memulai dengan menyiram bunga, memasak makanan seadanya, mencuci piring, hingga
membersihkan rumah. Setelah semuanya selesai, ia pun bermaksud menyenangkan
diri dengan duduk di sofa sambil membaca
koran yang belum tersibak sejak tadi pagi.
Seketika,
mata Ginda tertuju pada satu halaman koran yang menyajikan berita tentang kasus
tabrak lari sebulan yang lalu. Berkas mobil yang terekam CCTV, juga terpampang
jelas di situ. Satu tampilan yang menyadarkan Ginda tentang sebuah mobil yang
pernah ia lihat tempo hari, dengan corak dan nomor polisi yang sama.
Dengan
sigap, ia pun menuju ke garasi rumah, tempat mobil ayahnya terparkir. Hingga ia
pun menjumpai sebuah mobil serupa dengan yang terpampang di koran, dengan pelat
nomor polisi yang telah tiada.
Di
tengah kekalutan yang tiada tara, Ginda yang kini berjuang melawan sangkaan
buruknya sendiri, tergerak untuk mencari informasi yang mungkin menjadi penegasan atas sangkaannya itu.
Ia bergegas menyalakan televisi dan mencari tayangan yang mungkin akan
mengimpaskan keriusauannya. Hingga tersiarlah sebuah berita tentang seorang lelaki
yang sangaja menabrak istrinya setelah kedapatan berselingkuh. Dan di layar
kaca, terpampanglah foto ayahnya.
Seketika,
Ginda tak bisa lagi mendialogkan perasaannya.
Perlahan-lahan,
suara sirene terdengar dari arah jalan. Semakin keras dan riuh. Hingga
akhirnya, dua mobil polisi berhenti di depan rumahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar