Senin, 10 September 2018

Ginda

Betapa sulit menghapus duka. Enam puluh hari sepeninggal ibunya sebagai korban tabrak lari, Ginda masih larut dalam kesedihan. Ada rasa galau di hatinya kala menyaksikan bahwa keadaan hidupnya kini telah banyak berubah. Ibunya telah pergi, dan ia kehilangan tempat mengadu. Suasana rumah menjadi lengang, dan keceriaan pun sirna. 
 
Memang sudah sepantasnya Ginda merasa kehilangan. Kemarin-kemarin, bersama ibunyalah ia melewatkan waktu yang panjang. Ia tak begitu berharap pada kehadiran ayahnya setiap waktu, sebab ia tahu kalau sang ayah punya urusan pekerjaan dan harus sering-sering berada di luar kota. Pun, ia tak memiliki saudara kandung sebagai partner bermain atau beradu.

Sungguh, tak ada yang bisa menggantikan posisi sang ibu di hati Ginda. Sepanjang waktu yang lampau, sang ibu senantiasa memanjakannya, sampai ia tak berharap lagi pada siapa-siapa. Keadaan itu membuatnya lebih suka menghabiskan waktu di rumah bersama sang ibu, dan tak berselera menemukan teman baik di luar sana. Hingga akhirnya, ia tak seperti gadis berumur 13 tahun yang lain, yang memiliki banyak kawan sepermainan sebagai tempat pelarian.

Suka atau tidak, kini, hanya pada ayahnyalah Ginda bisa menumpukan beban hidupnya. Sejak kedatangan sang ayah tepat di hari kematian sang ibu, Ginda mulai menyesuaikan diri. Ia mulai berkawan dengan sang ayah, meski ia tahu kalau ayahnya tak akan bisa mengawaninya sehangat ibu. Ia pun mulai membagi kerisauan hatinya sedikit demi sedikit, meski tak sepolos kepada sang ibu.

Seiring waktu, jarak batin antara Ginda dan ayahnya akibat kebersamaan yang jarang, tampak semakin menipis. Ia mulai berani berceloteh tentang apa pun kepada sang ayah, meski tetap ada perasaan kikuk sebagaimana komunikasi anak gadis dengan sosok ayah pada umumnya. Dan respons bersahabat dari ayahnya, berhasil juga membuat Ginda merasa nyaman. Hingga ia mulai merasa kalau sang ayah ternyata begitu menyayanginya, meski kehadirannya tak seintens sang ibu dahulu.

Sampai akhirnya, Ginda jadi tak akan lagi berselera untuk membanding-bandingkan kasih sayang antara sosok ibu dan ayah kepadanya. Hanya ada rasa bangga di hatinya kini, sebab telah dilahirkan sebagai buah cinta dari kedua orang tuanya, Ginarti dan Danuarta, dua nama yang melahirkan sebuah akronim untuk menjadi namanya. Padahal dahulu, setiap kali sang ibu iseng untuk bertanya dan memberi pilihan, ia selalu mudah untuk memilih apa pun tentang ibunya dan mengesampingkan perihal ayahnya, sampai ia hanya ingin dipanggil “Gin”, tanpa “Da”.

Keseganan antara Ginda dan ayahnya, benar-benar semakin menghilang. Kebersamaan yang lebih lama, telah membuat mereka terbiasa dengan masa kini, dan melupakan jarak yang membentang di masa lampau. Demi memancangkan kebiasaan baru itu, ayahnya bahkan berkorban untuk mengesampingkan urusan pekerjaan sama sekali, dan menemaninya penuh waktu. Seolah ayahnya hadir sebagai sosok ayah sejati, sekaligus sebagai ibu.

Keakraban yang tak lagi dibuat-buat, perlahan membuat Ginda turut dengan kebiasaan ayahnya. Ia mulai belajar memasak dan memelihara taman. Ia mulai suka menonton tayangan berita ketimbang sinetron. Hingga ia mulai gemar berlari-lari kecil setiap pagi dan menyesap teh hangat di pelataran rumah setelahnya, sembari membaca koran atau buku. 

Dan di satu malam, kala mereka tengah menonton televisi, Ginda mulai tak sabar untuk menanyakan sesuatu yang selama ini ia pendam tentang ayah dan ibunya. “Apa aku boleh bertanya sesuatu, Ayah?”

Sang ayah menoleh kepadanya. “Ya, tentu saja boleh, Nak. Kau mau bertanya apa?”

Ginda menatap ayahnya sekilas, kemudian lekas menunduk, “Ayah kerja apa sih di kota, sampai-sampai jarang pulang ke sini?” tanyanya, sambil menjentik-jentikkan kuku tangannya.

Ayahnya sedikit tercekat atas pertanyaan itu. Namun lekas ia tersenyum dan membalas, “Ayah bekerja di bagian keuangan sebuah perusahaan konstruksi, yang membangun gedung-gedung bertingkat di tangah kota. Perkerjaan itu senantiasa butuh kehadiran Ayah. Jadi Ayah hanya bisa pulang di waktu yang benar-benar lowong,” jelasnya. “Suatu saat kau akan mengerti soal pekerjaan itu.”

“Apa selama di sana, Ayah tak merindukan Ibu dan aku?” tanya Ginda lagi.

“Tentu saja aku merindukanmu, Nak, dan Ibumu juga,” jawab sang ayah. “Memangnya kenapa?”

“Tak apa-apa. Dahulu, terkadang aku dan Ibu sangat merindukan kehadiran Ayah,” kata Ginda, dengan raut yang memendam kerisauan.

Ayahnya membalas dengan senyuman singkat.

“Ayah benar-benar mencintai Ibu, kan?” tanya Ginda lagi.

Ayahnya tampak sedikit kalap mendengar pertanyaan itu. “Ya, tentu saja. Ibumu kan cantik. Sama cantiknya denganmu!” jawabnya, sambil mengusap rambut anaknya yang sedikit berombak.

Ginda tampak tersipu. “Tapi apakah Ayah masih akan mencintai Ibu jika saja ia masih ada dan sudah tak cantik lagi?”

“Tentu saja, Nak!” balas sang ayah. "Memangnya kenapa bertanya begitu?”

Lekas Ginda tertunduk lagi, kemudian menjawab dengan suara sendu, “Aku ingat dahulu, Ibu sering bercermin, lalu bertanya padaku apakah ia masih cantik. Ya tentu saja aku jawab iya. Dan ia terlihat sangat senang.” 

Ayahnya tertawa pendek. “Apa ia masih meragukan kecantikannya?”

“Aku kira begitu, Ayah,” kata Ginda. “Ibu bilang kalau modal seorang istri adalah rupa. Ketika seorang istri tak cantik lagi, katanya, kesetiaan suami akan goyah.”

Ayahnya tampak tersenyum mendengar keterangan itu. “Pernyataan Ibumu itu, tidak sepenuhnya benar. Bagi Ayah, cinta kitalah yang membuat sesuatu terlihat indah, bukannya keindahan yang membuat kita mencintai sesuatu.”

Ginda tak memberikan respons yang berarti. Seolah kalimat ayahnya begitu rumit untuk dimaknai.

Beberapa menit berselang, Ginda kembali bertanya perihal yang lain. “Ayah, apa boleh kita keliling kota dengan mobil Ayah? Aku kadang suntuk di sini saja.”

“Kenapa tidak, Nak,” balas sang ayah, sembari mengusap-usap lengan Ginda. “Tapi tidak untuk waktu-waktu saat ini. Kau tahu, kita masih berduka atas kepergian Ibumu. Ayah masih merasa perlu berlama-lama di sini dan mengenang kebersamaan kita di masa lalu. Tunggulah sampai besok-besok. Ayah berjanji akan membawamu ke kota, tempat Ayah bekerja selama ini.” 

Ginda merasa kecewa atas penolakan itu. Tapi janji untuk melanglang ke tengah kota di suatu saat, tetap membuatnya semringah.

Tak berselang lama, percakapan benar-benar berakhir. 

Dan di awal malam itu juga, Danu berpamitan kepada sang anak untuk melakukan satu urusan. 

Ginda mengerti dan tak ingin bertanya-tanya soal apa pun, selain meminta ayahnya untuk segera pulang.

Ayahnya pun pergi dengan menumpang mobil sewa, dan membiarkan mobil mewahnya terparkir saja di garasi rumah.

Detik-detik bergulir, dan malam semakin larut. Lewat tengah malam, sang ayah tak juga pulang. Ginda pun menanti dengan perasaan risau. Ia khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu pada ayahnya. Sampai akhirnya, kantuk berhasil juga membuatnya terlelap.

Saat terbangun di pagi hari, Ginda tak juga menyaksikan kehadiran ayahnya. Ia semakin kalut dan mencoba menghubungi nomor telepon sang ayah beberapa kali, tapi tak kunjung tersambung. Hingga ia pasrah dan mencoba menemukan penyangkalan untuk prasangka buruknya, bahwa barangkali, ayahnya memang punya pekerjaan yang penting dan pelik seperti dahulu, sehingga harus pulang lebih lambat.

Bersama perasaan was-was yang terus ia redam, Ginda menguatkan diri untuk menangani pekerjaan rumah seperti yang ia lakukan bersama ayahnya di waktu belakangan. Ia memulai dengan menyiram bunga, memasak makanan seadanya, mencuci piring, hingga membersihkan rumah. Setelah semuanya selesai, ia pun bermaksud menyenangkan diri dengan duduk di sofa sambil  membaca koran yang belum tersibak sejak tadi pagi.

Seketika, mata Ginda tertuju pada satu halaman koran yang menyajikan berita tentang kasus tabrak lari sebulan yang lalu. Berkas mobil yang terekam CCTV, juga terpampang jelas di situ. Satu tampilan yang menyadarkan Ginda tentang sebuah mobil yang pernah ia lihat tempo hari, dengan corak dan nomor polisi yang sama. 

Dengan sigap, ia pun menuju ke garasi rumah, tempat mobil ayahnya terparkir. Hingga ia pun menjumpai sebuah mobil serupa dengan yang terpampang di koran, dengan pelat nomor polisi yang telah tiada.

Di tengah kekalutan yang tiada tara, Ginda yang kini berjuang melawan sangkaan buruknya sendiri, tergerak untuk mencari informasi yang mungkin menjadi penegasan atas sangkaannya itu. Ia bergegas menyalakan televisi dan mencari tayangan yang mungkin akan mengimpaskan keriusauannya. Hingga tersiarlah sebuah berita tentang seorang lelaki yang sangaja menabrak istrinya setelah kedapatan berselingkuh. Dan di layar kaca, terpampanglah foto ayahnya.

Seketika, Ginda tak bisa lagi mendialogkan perasaannya.

Perlahan-lahan, suara sirene terdengar dari arah jalan. Semakin keras dan riuh. Hingga akhirnya, dua mobil polisi berhenti di depan rumahnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar