Minggu, 20 November 2022

Uang Penebus Dosa

Tina sontak menangis keras ketika jasad Malik dimasukkan ke dalam liang lahad. Ia tampak sangat kehilangan. Kukira, sebabnya karena suaminya itu meninggal akibat kecelakaan sepeda motor yang tragis. Apalagi, suaminya adalah satu-satunya teman hidup baginya setelah mereka tak kunjung dikarunai anak. Terlebih, suaminya adalah tulang punggung bagi dirinya yang selama ini hanya fokus menangani pekerjaan rumah tangga.

Tetapi setelah kerukan tanah menimbun jasad Malik, perlahan-lahan, Tina mulai bisa mengendalikan emosinya. Apalagi ketika imam dusun yang bertindak sebagai penghulu pemakaman mulai memberikan nasihat kematian. Seketika pula, Tina terlihat tenang, seolah-olah mulai memahami bahwa tak ada gunanya tangisan untuk orang yang sudah mati.

“Apabila almarhum memiliki kesalahan kepada saudara sekalian, mohon diberikan maaf, kerena kesalahan antara sesama manusia hanya bisa diimpaskan dengan saling memaafkan. Pun, apabila almarhum ada sangkutan utang kepada saudara-saudara sekalian, harap disampaikan kepada pihak keluarga. Persoalan tersebut harus diselesaikan dengan baik demi perjalanan almarhum di alam sana,” pesan sang imam dusun.

Atas amanat itu, kulihat, rona wajah Tina meredup. Ia tampak tercenung dengan tatapan yang kosong. Kukira, itu terjadi karena Malik senyatanya meninggalkan banyak utang pada para tetangga, dan ia mesti menanggungnya. Apalagi, Malik jelas hanya meninggalkan warisan yang tak seberapa atas pekerjaannya sebagai tukang bangunan dengan proyek musiman.

Akhirnya, hari demi hari setelah proses pemakaman itu, satu per satu orang pun datang ke rumah Tina untuk memberitahukan sekaligus menagih pengambalian utang yang dilakukan oleh suaminya. Bahkan berdasarkan kabar-kabar yang menyebar di antara warga, aku pun tahu bahwa Malik tidak hanya berutang pada warga sedesa, tetapi juga pada orang-orang yang berasal dari mana-mana.

Aku yakin bahwa Tina merasa berat menanggung utang suaminya, sebagaimana yang tampak dari kemurungan wajahnya setiap kali ia berada di beranda rumahnya, di samping rumahku. Aku yakin bahwa ia tak habis pikir atas utang-utang tersebut, sebab selama ini, ia tampak enteng-enteng saja berbelanja tanpa mempersoalkan asal muasal pendapatan suaminya. Aku yakin bahwa ia tak pernah berpikir kalau suaminya senantiasa membekalinya dengan uang hasil berutang.

Tetapi kukira, Tina tak patut menyalahkan siapa-siapa selain dirinya. Semua warga tahu bahwa suaminya berutang tiada lain untuk membiayai segenap keperluan hidupnya. Hal itu karena ia terbiasa melakoni gaya hidup yang berlebih-lebihan. Ia tampak tidak bisa menyesuaikan pengeluarannya dengan pendapatan suaminya. Paling tidak, di antara ibu-ibu warga desa, dirinyalah yang paling banyak mengoleksi bunga-bunga berharga mahal.

Mau tak mau, demi membayar utang-utang atas keglamorannya sendiri, Tina terpaksa menjual barang-barangnya. Di antaranya adalah dua sepeda motor, sebuah mesin cuci, dan kursi-kursi ukiran. Bahkan terdengar kabar bahwa ia menjual sejumlah perhiasannya, termasuk cincin pernikahanya. Hingga akhirnya, kemewahannya yang tampak jelas masih tertinggal hanyalah bunga-bunga kebanggaannya di halaman depan.

Tetapi setelah selesai dengan urusan utang, kondisi kehidupan Tina yang menjanda, tampak tidak terlalu memprihatinkan. Ia masih punya rumah yang terhitung layak, yang merupakan peninggalan orang tuanya. Pun, ia masih punya dua petak tanah kebun yang tak terurus, yang juga merupakan warisan orang tuanya. Dan tentu saja, ia masih punya bunga-bunga berharga mahal yang bisa ia jual untuk mendapatkan bekal bertahan hidup.

Jadi, kukira, kehidupan Surti, seorang tetanggaku, jauh lebih mengkhawatirkan. Perempuan itu telah berusia lanjut dan hanya tinggal di sebuah rumah panggung yang reyot di belakang rumahku. Ia tinggal seorang diri, sembari menanam singkong untuk bertahan hidup di sepetak lahannya yang sempit. Suaminya telah lama meninggal, dan anak semata wayangnya pergi menjadi tenaga kerja di negeri seberang.

Sampai akhirnya, dua hari yang lalu, aku pun menyaksikan betul kemiskinan Surti. Tiba-tiba saja, ia datang ke rumahku, lantas mengutarakan permohonannya agar aku bersedia meminjaminya uang sebanyak Rp150.0000 untuk membeli bahan makanan pokok. Maka tanpa pertimbangan panjang, meskipun hidupku juga pas-pasan sebagai petani, aku memutuskan untuk meminjaminya uang, dan ia berjanji akan melunasinya setelah panen singkong.

Tetapi atas kemelaratan Surti, aku pun terseret ke dalam perkara yang ditinggalkan Malik atas kematiannya. Aku merasa tergugah atas sepenggal nasihat imam dusun pada prosesi pemakamannya, bahwa dosa atas kesalahan terhadap sesama manusia, hanya bisa terhapus dengan pemaafan. Pasalnya, aku tahu bahwa Malik tidak hanya mendapatkan uang dengan berutang, tetapi juga dengan mencuri. Bahkan pada satu waktu yang lampau, aku pun pernah terlibat dalam aksi penggarongannya, dan korban kami adalah Surti.

Kira-kira, aksi pencurian kami terjadi delapan tahun yang lalu. Saat itu, aku sepergaulan dekat dengan Malik, meski ia lebih tua sekira sepuluh tahun. Aku baru tamat SMA, dan Malik bekerja serabutan sepulangnya merantau dari pulau seberang. Aku butuh uang untuk kursus las, dan Malik butuh uang demi membeli baju baru untuk Tina yang saat itu masih pacarnya. Kebetulannya, kami tahu bahwa Surti baru saja mendapatkan uang kiriman dari anaknya di negeri seberang. Maka pada akhirnya, kami pun menggasak uang tersebut di atas rumahnya yang kosong saat ia pergi ke pasar. Jumlahnya sebanyak Rp700.000. Aku kebagian Rp250.000, dan Malik mengambil Rp450.000.

Kini, perkara itu menghantuiku. Surti sudah uzur, dan aku takut ia meninggal sebelum aku mengembalikan uang curian bagianku kepadanya. Ataukah aku yang lebih dahulu meninggal secara tiba-tiba, sehingga aku akan diperkarakan di hari kemudian. Pun, aku merasa punya beban nurani untuk mengembalikan uang curian bagian Malik. Bagaimanapun, ia telah meninggal, dan aku takut ia akan menyeret-nyeret namaku di hari kemudian atas aksi kejahatan yang kami lakukan bersama. Terlebih lagi, sebelum meninggal, ia pernah menyinggung aksi kami tersebut, dan kurasa itu adalah pertanda agar aku menyelesaikan perkaranya terhadap Surti.

“Kira-kira, Surti masih mengingat dan mempermasalahkan uangnya yang kita curi tidak, ya?” singgung Malik, saat kami duduk berleha-leha di depan rumahku, setelah Surti melintas sepulang dari pasar.

Aku pun mendengkus, lantas membalas dengan enteng, “Ada apa kau memikirkan perkara itu? Apa kau mau mengembalikan uangnya?”

Ia lantas menghela dan mengembuskan napas yang panjang. “Entahlah. Aku kasihan padanya. Ia sendirian dan miskin. Aku takut ia meninggal dalam keadaan lapar, dan ia akan memperkarakan kita di akhirat,” jawabnya, dengan raut sendu, seperti bertutur sepenuh hati.

Aku pun tertawa menyaksikan keinsafannya, dan tidak mengkhawatirkan akibat apa-apa atas aksi kami tersebut. “Sudahlah. Jangan pusingkan itu. Yang berlalu, biarlah berlalu. Yang penting, kita tidak melakukan perbuatan semacam itu lagi. Aku sudah menyesalinya sedari dahulu, dan aku sudah bertobat. Nah, sudah cukup jika kau melakukan hal yang sama sepertiku.”

Ia tak membalas tanggapanku. Ia hanya terdiam dengan tatapan yang kosong, seolah larut dalam perkara menungannya sendiri.

Kini, di tengah keinsafanku atas segalanya, aku pun merasa bahwa percakapan kami itu menyiratkan pesan penting yang lahir dari firasat kematiannya. Aku merasa bahwa ia telah mengamanatkan sebuah tanggung jawab kepadaku, dan aku harus menunaikannya demi keselamatan kami pada masa kehidupan setelah kematian.

Akhirnya, aku pun bertekad untuk mengembalikan uang curian kami kepada Surti. Aku sendiri masih punya cukup tabungan untuk mengembalikan uang curian bagianku, tetapi untuk bagian Malik, aku harus memikir-mikirkannya. Berterus terang kepada Tina bahwa almarhum suaminya pernah mencuri, kukira, bukan langkah yang baik. Selain karena ia malah akan geram dan menudingku melakukan fitnah, juga karena aku merasa sepatutnya menutupi aib Malik yang telah meninggal dan tak meninggalkan rekam jejak sebagai pencuri. Maka setelah menimbang-nimbang sekian lama, aku pun menetapkan cara yang tepat di tengah kerumitan perkara itu. Aku memutuskan untuk menggarong bunga-bunga Tina, kemudian menjualnya untuk mendapatkan uang tebusan bagi uang curian bagian Malik.

Sampai akhirnya, setelah lewat tengah malam, selepas hujan, ketika Tina sedang terlelap, aku pun mengendap-endap ke tamannya. Aku lantas memasukkan sepot-pot bunganya ke dalam keranjang, lalu melarikannya ke rumah kebunku yang berada di belakang rumahnya. Aku mengambil sejumlah bunga dengan nilai jual yang kutaksir sudah sebanding dengan uang curian bagian Malik. Lantas ketika waktu sudah subuh, aku lalu membawa bunga-bunga itu ke sebuah pasar yang jauh dari desaku, kemudian menjualnya ke seorang pedagang bunga.

Setelah bunga-bunga tersebut laku, aku pun mengantongi hasil penjualan yang ternyata lebih dari cukup. Sepanjang perjalanan, aku lantas memikir-mikirkan tentang cara yang tepat untuk mengembalikan uang curian kami pada Surti. Hingga akhirnya, aku merencanakan untuk menyatukan uang pengembalian curian kami di dalam sebuah amplop, kemudian menuliskan keterangan perihal maksud uang tersebut, juga permohonan agar Surti sedia memberi maaf, meski pun tanpa mengetahui siapa kami sesungguhnya. Kukira, itu adalah jalan yang terbaik demi menjaga nama baikku dan nama baik Malik, juga demi menjaga kehangatan hubungan baikku dengan Surti.

Akhirnya, saat aku tiba di rumahku, ketika matahari sudah meninggi, aku pun menyaksikan Tina tampak bersedih di halaman depan rumahnya. Dengan sikap seolah-olah tidak mengerti, aku lantas menghampirinya, kemudian bertanya, “Apa yang terjadi, Bu?”

Ia pun mendengkus lesu. “Beberapa bungaku dicuri orang malam tadi,” jawabnya, dengan raut sayu.

Aku lalu menampakkan sikap terkejut. “Bagaimana bisa? Siapa yang berani-berani mencuri di kampung ini?”

Ia menggeleng-geleng. “Entahlah. Sepertinya orang dari luar desa. Apalagi, kalau dilihat-lihat dari jejak alas kakinya, ia tampak mengarah ke belakang rumahku, dan mungkin menyeberang ke desa sebelah.”

Sontak, perasaanku pun tersentak setengah mati. Aku lantas mengangguk bodoh dan berencana untuk segera pergi. “Oh, iya. Ini ada sedikit uang untuk Ibu. Terimalah. Setidaknya, ini bisa sedikit meringankan beban kebutuhan Ibu atas apa yang telah terjadi belakangan ini,” kataku kemudian, sembari menyodorkan uang kelebihan hasil penjualan bunga dari jumlah yang kubutuhkan untuk menebus uang curian bagian Malik.

Dengan sedikit sungkan, ia pun menerima pemberianku. “Terima kasih,” katanya, sambil tersenyum.

Aku balas tersenyum dan mengangguk tegas. Tanpa menunda waktu, aku pun berbalik badan, kemudian pergi dengan menapaki kembali jejak-jejak alas kakiku pada tanah yang basah, sembari menggerus-geruskan setiap langkahku.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar