Ogi kehilangan sepeda motor. Seseorang telah mencurinya. Ceritanya, kemarin malam, sekitar jam 1, isi perutnya berkecamuk. Ia lalu bangun dan turun dari rumah panggungnya. Ia hendak buang air besar di kamar kecil, di halaman belakang rumahnya. Dan saat itu juga, sebelum sempat membuang hajat, ia tak lagi menemukan motor kesayangannya di tengah kolong rumahnya.
Pagi ini, aku pun berencana mengurangi kesedihan Ogi. Aku akan memberikan sejumlah uang untuknya, agar ia tak terlalu terpuruk. Uang itu berasal dari kantong pribadiku, ditambah urunan teman-teman ojek pangkalan kami. Bagaimanapun, aku prihatin, sebab ia telah kehilangan sumber penghidupannya. Ia tak bisa lagi mencari penghasilan dengan menarik ojek.
Sebelum sempat bertandang ke rumah Ogi untuk menyerahkan uang bantuan, mataku malah melihat pemandangan yang mengherankan sekaligus memilukan. Jesi, istri Ogi, berlalu di depan rumahku dengan sikap yang biasa-biasa saja. Ia tampak hendak menuju ke pasar dengan penampilan yang mantap. Ia membonceng pada motor seorang ibu, teman rumpinya.
Memang memiriskan. Secara kasatmata, aku tak melihat kesedihan di wajah Jesi. Ia seolah tak terpukul atas hilangnya motor sang suami. Sebaliknya, ia malah tampak senyam-senyum saja. Ia bahkan tetap berdandan menor. Wajahnya putih berkilau, bibirnya merah menyala, dan alisnya hitam legam. Ia nyaris seperti pengantin. Ia seolah tak merasa harus mengubah gaya hidupnya setelah suaminya kehilangan mata pencarian.
Tetapi
memang begitulah kebiasaan Jesi. Ia senantiasa merias dan menghias dirinya setiap
waktu. Jangankan ke pasar, berdiam diri di rumah saja, ia akan tetap tampil
dengan versi terbaik menurut dirinya. Ia seolah aktris yang selalu ingin menampakkan
raganya di mata orang-orang dalam balutan dandanan yang sempurna, agar tak ada
seorang pun yang melihat celanya.
Namun diam-diam, aku bisa mengerti alasan Jesi berdandan meriah. Aku taksir, ia hendak membuat suaminya menilai bahwa ia adalah perempuan yang tercantik. Pun, ia ingin menepis remehan orang-orang bahwa wajahnya biasa saja untuk Ogi yang tampak begitu tampan. Pengabaian dan perendahan itulah yang membuatnya keranjingan berdandan.
Tetapi
masalahnya, hasrat Jesi itu jelas membutuh modal yang tidak sedikit. Tak hanya
untuk membeli celak, lipstik, dan bedak, tetapi juga untuk membeli segala macam
aksesoris yang membungkus tubuhnya. Dan sayang, Ogi, suaminya, bukanlah orang
yang berada. Penghasilannya pas-pasan, sebagaimana aku. Ia bahkan tak lagi
berpenghasilan setelah kehilangan motornya.
Kalau
dibanding-bandingkan, aku merasa lebih berpunya ketimbang Ogi. Kemarin-kemarin,
penghasilanku memang hanya sebanding dengan penghasilannya sebagai sesama tukang
ojek pangkalan. Tetapi bukan berarti kemapanan kami setara. Pasalnya, Ogi
memiliki kesenangan yang boros. Ia seorang perokok berat yang suka berjudi, menenggak
miras, dan bermain perempuan.
Sialnya, akibat kemiskinan Ogi dan kesenangan Jesi berdandan, akulah yang akhirnya menjadi korban. Sebelas bulan yang lalu, Jesi datang ke rumahku dan meminjam uang tabunganku sebesar 2,5 juta rupiah. Ia beralasan butuh uang untuk mengongkosi kebutuhan sekolah anaknya. Karena percaya dan iba, aku pun meminjamkannya uang tanpa banyak pertimbangan.
Setelah
menerima uang pinjamanku, ia pun berjanji akan mengembalikannya setelah ia
punya uang yang cukup. Untuk itu, ia mengaku akan mengumpulkan uang pemberian
suaminya, juga uang kiriman putranya yang bekerja sebagai tukang bangunan. Ia
pun memintaku agar menagihnya secara langsung, serta tidak mengatakan kepada
siapa-siapa perihal pengutangannya tersebut.
Tetapi
nahas. Sampai hari ini, Jesi tak juga melunasi utangnya kepadaku. Bahkan kini,
aku melihat kalau ia tak lagi punya kehendak melakukannya. Dari gelagatnya, aku
membaca kalau ia sudah tidak peduli. Ia malah sudah begitu pandai bersikap biasa
di hadapanku, seolah-olah ia tak punya perkara utang terhadapku. Padahal aku
yakin kalau ia tak akan lupa, kecuali hanya pura-pura lupa.
Pada bulan kedua, kelima, dan kedelapan, aku memang pernah mengingatkannya. Aku berharap ia masih punya rasa malu dan segera melunasi utangnya. Aku bahkan berkilah dengan alasan yang genting, bahwa aku butuh uang untuk keperluan biaya sekolah anak-anakku. Tetapi pada akhirnya, ia hanya memberiku uang 500 ribu rupian pada penagihan bulan kedelapan.
Untuk
sebagian besar sisa utangnya, aku bingung bagaimana. Masalahnya, aku
memang hanya bergantung pada kesadarannya. Aku tak sampai hati menagih Ogi.
Bukan saja karena Jesi memintaku begitu, tetapi juga karena aku tahu kalau Ogi temperamental.
Aku tak tega jikalau Jesi mendulang amukannya, sebagaimana yang kerap terjadi
dan sudah menjadi rahasia umum.
Atas
perkara pelik itu, aku akhirnya mengerti bahwa sikap Ogi yang bobrok pulalah
yang membuat Jesi terlihat baik-baik saja setelah Ogi kehilangan motor. Aku
menerka kalau Jesi merasa itu hal yang baik, sebab Ogi tidak akan lagi berkeliaran
untuk mabuk-mabukan dan bermain-main dengan perempuan lain. Apalagi, kutaksir,
Jesi kemungkinan tak memperoleh nafkah yang sepantasnya dari hasil ojekan motor
tersebut.
Sampai
akhirnya, kini, setelah motor Ogi hilang, aku tak lagi merisaukan utang Jesi.
Seturut itu, aku pun jadi kasihan kepada Ogi. Aku membayangkan, betapa
menyesakkannya hidup dalam ikatan suami-istri yang tidak harmonis seperti
mereka. Karena itu, dari jumlah uang santunan yang akan kuberikan kepada Ogi,
bagian dari kantongkulah yang terbanyak, bahkan lebih dari setengahnya.
Akhirnya,
dengan niat tanpa pamrih, aku lantas bertandang ke rumah Ogi yang hanya
berselang satu rumah dari rumahku. Tak lama kemudian, aku pun menjumpainya
dengan wajah yang muram.
"Kau tak ke pasar dan mengojek hari ini?" tanyanya, setelah kami duduk berhadapan di ruang tamu rumahnya.
"Aku mau pergi, kok. Kalau istriku sudah siap, aku akan berangkat," jawabku, lantas melayangkan senyuman yang singkat.
"Ah, entah bagaimana lagi aku ini. Mau mengojek, tetapi sudah tak punya motor," tanggapnya, terlihat makin murung.
"Sabarlah.
Semua ada hikmahnya," kataku, sekenanya.
Ia lantas mengangguk-angguk. "Ya."
Aku
lalu mengeluarkan uang santun berbungkus amplop dari dalam kantongku. "Ini
ada sedikit bantuan dari aku dan teman-teman mengojek kita. Semoga bisa
membantumu dalam mengumpulkan modal untuk membeli motor kembali."
Ia
pun terkesima. Terlihat sangat senang. "Terima kasih banyak,"
tuturnya, sembari menerima seamplop uang yang kusodorkan.
Aku
membalas dengan anggukan dan senyuman.
Diam-diam,
aku pun merasa telah menuntaskan misiku. Aku telah berhasil mencuri motor Ogi
dari kolong rumahnya, kemudian menjualnya seharga 3 juta rupiah kepada seorang
penadah motor bodong. Dari uang itu, aku pun mengambil 2 juta rupiah sebagai
tebusan utang Jesi, dan memberikan sisanya kepada Ogi sebagai uang bantuan. Aku
yakin, Ogi tak akan menemukan motornya, sebab ia tak akan melaporkannya ke
polisi, karena ia membeli motor bekas itu tanpa beserta surat-surat.
Ogi
lantas mendengus. "Tetapi, ya, semoga saja motor kesayanganku itu
ditemukan. Aku telah mengontak seorang temanku yang mengenal banyak penadah,
dan ia akan berusaha mencarinya.” Ia lantas tergelak pendek. “Kalau nanti berhasil,
aku akan mengadakan syukuran kecil-kecilan dengan uang urunan kalian ini."
Seketika pula, kesenanganku padam. Aku mengangguk saja dengan senyuman simpul. Jelas, aku takut ia benar-benar berhasil menemukan motor itu hingga mengetahui kalau akulah pelakunya. Karena itu, aku berharap motor itu segera dipreteli oleh sang penadah, hingga menjelma menjadi motor taksi di lahan-lahan pertanian, sebagaimana akhiran bagi motor-motor bodong pada umumnya.
Aku lantas mendengar seruan panggilan diri istriku. Aku pun pamit dan meninggalkan Ogi dengan perasaan gamang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar