Tentu
bukan hanya Rita yang merasakan sisi menyebalkan dari kehidupan kanak-kanak. Setiap
orang yang telah dewasa, pasti pernah melalui masa itu: saat keegoisan
dijunjung tinggi. Semua ingin jadi raja, tak ada yang rela jadi anak buah. Apa-apa
dibawa ke arena kompetisi. Kehidupan hanya tentang menang atau kalah. Yang
kalah terpojok, sedangkan yang menang patut berbangga diri dan berpamer ria.
Tahun
ini, di umurnya yang keempat tahun, Rita terancam tak memiliki baju lebaran. Alasannya,
uang yang ada, hanya cukup untuk membeli pangan sederhana sebagai bahan perayaaan.
Ia pun diwanti-wanti untuk kebal menghadapi ejekan teman-teman sebayanya yang
tak berperasaan. Apalagi, sudah menjadi kebiasaan anak-anak di kampungnya,
bahwa di setiap lebaran, harus ada baju baru.
Tak
mungkin Rita enteng menerima kenyataan itu. Ia kemungkinan jadi tak nyaman lagi
bergaul dengan teman-temannya di hari lebaran. Jika tahun sebelumnya ia
berbangga diri menandangi setiap rumah warga, maka di lebaran kali ini, kala ia
telah mengetahui tentang harga diri, bersemayam di rumah sepertinya pilihan
yang tepat. Tak ada baju baru yang akan dipamerkan sehari penuh. Keadaan itu jelas
akan membuatnya jadi pecundang di hari raya.
Dalam
kehidupannya yang penuh hitung-hitungan ekonomi, Rita masih punya pelipur lara. Ia
beruntung memiliki sosok yang dipanggilnya ibu. Namanya Ratih. Sebenarnya,
wanita yang kini duduk di kelas tiga SMA itu, bukanlah wanita yang
melahirkannya. Ratih adalah kakak kandungnya sendiri. Hanya saja, sejak kecil,
ia sudah terbiasa memanggil kakaknya itu sebagai ibu. Ratih juga tak keberatan
memanggilnya sebagai anak.
Sudah
empat tahun lalu, sebenarnya, ibu mereka yang sesungguhnya, meninggal dunia, meregang
nyawa setelah melahirkan Rita. Sedangkan ayahnya meninggal tiga tahun lalu,
akibat kecelakaan kerja kala turut sebagai buruh pada pembangunan sebuah gedung
bertingkat. Tapi Ratih masih merahasiakan kebenaran kepada Rita, bahwa kedua
orang tua mereka telah tiada. Ia menunggu waktu yang tepat untuk menjelaskannya,
yaitu ketika Rita telah siap menerima kenyataan.
Dan,
sehari sebelum lebaran, saat Rita duduk termenung dan murung di beranda rumah,
Ratih berusaha menyabarkannya.
“Maafkan
Ibu, Nak. Tahun ini, Ibu tak bisa membelikanmu baju lebaran,” aku Ratih.
Rita
masih murung. “Tapi, teman-teman akan menertawakanku Bu,” balasnya.
“Kau
tak usah memikirkan omongan mereka Nak,” balas Ratih. “Yang pasti, kau lebih
hebat dari mereka. Anak yang hebat, adalah yang tidak boros. Kau tahu, di luar
sana, masih banyak orang yang untuk makan saja, susah. Kita lebih beruntung
Nak.”
Tutur
kata Ratih yang lemah lembut, mampu juga meruntuhkan kerasnya ego Rita. Setelah
mendengar penjelasan dan nasihat panjang lebar, Rita akhirnya mampu menerima
kenyataan bahwa tahun ini, tak ada baju lebaran.
Tak
berhenti di situ. Ratih tak habis akal meredam kesedihan Rita. Sebagai penawar
rasa kecewa adiknya, dua hari lalu, ia telah mengorek-ngorek tumpukan pakaian lama
di sebuah lemari tua. Didapatinya pakaian masa kanak-kanaknya. Dahulu, pakaian
itu memang sengaja disimpan baik-baik orang tua mereka, agar kelak, masih
dapat dikenakan keturunan selanjutnya.
Beruntungnya,
ada baju yang cocok untuk Rita. Kelihatannya masih baru. Sedikit robekan di tepi
bawah, telah dijahit Ratih dengan mesin jahit peninggalan ibu mereka.
“Kau
pake saja baju ini Nak. Masih terlihat baru Kok. Ini baju punya ibu dahulu,”
saran Ratih, sambil menggelar sebuah baju yang dimaksudnya.
Dengan
wajah yang tak begitu senang, Rita pun meliriknya. Ia kemudian membolak-balik
baju bermotif bunga itu. Matanya menyorot ke segala sisi baju. Tak ada cacat
yang berarti.
“Kamu
tak keberatan kan? Ini terlihat masih baru kok. Cantik! Kau tak mungkin
diejek-ejek temanmu kalau mengenakannya.
Lama-lama,
Rita jadi tergelitik dengan kata-kata pujian dari Ratih. Ia kemudian mengangguk
senang, lalu tersenyum.
“Apalagi,
capnya masih ada,” tambah Ratih, sambil menunjukkan sebuah cap yang menggantung
di leher baju bekas itu. Rita jelas tak bisa membacanya. Tapi cap itu penting.
Anak-anak di kampungnya tak akan mencopot cap bajunya, sekadar membuktikan
bahwa itu benar-benar baju baru.
Rita
pun segera mengenakan baju itu, lalu bergegas ke depan lemari tua. Ia dengan
semringah melihat-lihat penampilannya di dalam cermin. Tak sedikit pun ia
merasa keberatan dengan baju itu. Kini, ia tak lagi mempermasalahkan kalau
tahun ini, tak ada baju lebaran yang baru. Baginya, baju bekas itu, senilai
baju baru.
Di
samping lemari tua tempat Rita bercermin, menjuntai sebuah baju perempuan yang
tampak baru dan menawan. Baju milik Ratih itu telah dipajang dari kemarin. Rita
pun tak pernah mempertanyakannya. Ia yakin itu baju bekas. Kelihatan, tak ada
cap yang menggantung di sisi baju. Ia merasa, bajunya lebih membanggakan. Meski
bekas, tapi masih bercap.
Rita
yakin, Ratih tak akan membeli baju baru, tanpa membelikannya juga. Dipikirnya,
Ratih pasti menyayanginya, sebagaimana ibu pada lazimnya. Seorang ibu sejati
tak akan tega bersenang-senang saat melihat anaknya bersedih.
Dengan
gembira, Rita berbalik dan tersenyum pada Ratih, sampai terlihat gigi seri
atasnya telah tanggal. “Aku suka baju ini Bu. Terima kasih. Aku sayang Ibu,”
tuturnya.
Ratih
pun meraih adiknya yang mungil itu, lalu memeluknya. Dalam kehangatan pelukan
mereka, Ratih memendam perasaan yang entah bagaimana.
Dan,
diam-diam, Ratih sangat berharap semua warga sekampungnya, buta huruf. Ia takut,
ada warga kampung yang mampu mengeja dan memaknai simbol-simbol pada cap baju
bekas yang dikenakan Rita. Tanda-tanda di cap itu jelas merujuk pada baju yang
menggantung di samping lemari.
Memang
benar, tak ada baju lebaran tahun ini untuk Rita, tapi tidak untuk Ratih. Selama
Rita belum bisa membaca dan masih menganggap cap begitu penting, maka selama
itu pula, tak ada baju baru baginya. Tidak hanya lebaran tahun ini, tapi mungkin
di tahun-tahun mendatang juga. Apalagi, baju bekas Ratih saat masih
kanak-kanak, di setiap lebaran dahulu, masih tersimpan baik di dalam lemari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar