Minggu, 03 Juli 2016

Tak Ada Baju Lebaran Tahun Ini


Tentu bukan hanya Rita yang merasakan sisi menyebalkan dari kehidupan kanak-kanak. Setiap orang yang telah dewasa, pasti pernah melalui masa itu: saat keegoisan dijunjung tinggi. Semua ingin jadi raja, tak ada yang rela jadi anak buah. Apa-apa dibawa ke arena kompetisi. Kehidupan hanya tentang menang atau kalah. Yang kalah terpojok, sedangkan yang menang patut berbangga diri dan berpamer ria.

Tahun ini, di umurnya yang keempat tahun, Rita terancam tak memiliki baju lebaran. Alasannya, uang yang ada, hanya cukup untuk membeli pangan sederhana sebagai bahan perayaaan. Ia pun diwanti-wanti untuk kebal menghadapi ejekan teman-teman sebayanya yang tak berperasaan. Apalagi, sudah menjadi kebiasaan anak-anak di kampungnya, bahwa di setiap lebaran, harus ada baju baru.

Tak mungkin Rita enteng menerima kenyataan itu. Ia kemungkinan jadi tak nyaman lagi bergaul dengan teman-temannya di hari lebaran. Jika tahun sebelumnya ia berbangga diri menandangi setiap rumah warga, maka di lebaran kali ini, kala ia telah mengetahui tentang harga diri, bersemayam di rumah sepertinya pilihan yang tepat. Tak ada baju baru yang akan dipamerkan sehari penuh. Keadaan itu jelas akan membuatnya jadi pecundang di hari raya.

Dalam kehidupannya yang penuh hitung-hitungan ekonomi, Rita masih punya pelipur lara. Ia beruntung memiliki sosok yang dipanggilnya ibu. Namanya Ratih. Sebenarnya, wanita yang kini duduk di kelas tiga SMA itu, bukanlah wanita yang melahirkannya. Ratih adalah kakak kandungnya sendiri. Hanya saja, sejak kecil, ia sudah terbiasa memanggil kakaknya itu sebagai ibu. Ratih juga tak keberatan memanggilnya sebagai anak.

Sudah empat tahun lalu, sebenarnya, ibu mereka yang sesungguhnya, meninggal dunia, meregang nyawa setelah melahirkan Rita. Sedangkan ayahnya meninggal tiga tahun lalu, akibat kecelakaan kerja kala turut sebagai buruh pada pembangunan sebuah gedung bertingkat. Tapi Ratih masih merahasiakan kebenaran kepada Rita, bahwa kedua orang tua mereka telah tiada. Ia menunggu waktu yang tepat untuk menjelaskannya, yaitu ketika Rita telah siap menerima kenyataan.

Dan, sehari sebelum lebaran, saat Rita duduk termenung dan murung di beranda rumah, Ratih berusaha menyabarkannya.

“Maafkan Ibu, Nak. Tahun ini, Ibu tak bisa membelikanmu baju lebaran,” aku Ratih.

Rita masih murung. “Tapi, teman-teman akan menertawakanku Bu,” balasnya.

“Kau tak usah memikirkan omongan mereka Nak,” balas Ratih. “Yang pasti, kau lebih hebat dari mereka. Anak yang hebat, adalah yang tidak boros. Kau tahu, di luar sana, masih banyak orang yang untuk makan saja, susah. Kita lebih beruntung Nak.”

Tutur kata Ratih yang lemah lembut, mampu juga meruntuhkan kerasnya ego Rita. Setelah mendengar penjelasan dan nasihat panjang lebar, Rita akhirnya mampu menerima kenyataan bahwa tahun ini, tak ada baju lebaran.

Tak berhenti di situ. Ratih tak habis akal meredam kesedihan Rita. Sebagai penawar rasa kecewa adiknya, dua hari lalu, ia telah mengorek-ngorek tumpukan pakaian lama di sebuah lemari tua. Didapatinya pakaian masa kanak-kanaknya. Dahulu, pakaian itu memang sengaja disimpan baik-baik orang tua mereka, agar kelak, masih dapat dikenakan keturunan selanjutnya. 

Beruntungnya, ada baju yang cocok untuk Rita. Kelihatannya masih baru. Sedikit robekan di tepi bawah, telah dijahit Ratih dengan mesin jahit peninggalan ibu mereka.

“Kau pake saja baju ini Nak. Masih terlihat baru Kok. Ini baju punya ibu dahulu,” saran Ratih, sambil menggelar sebuah baju yang dimaksudnya.

Dengan wajah yang tak begitu senang, Rita pun meliriknya. Ia kemudian membolak-balik baju bermotif bunga itu. Matanya menyorot ke segala sisi baju. Tak ada cacat yang berarti. 

“Kamu tak keberatan kan? Ini terlihat masih baru kok. Cantik! Kau tak mungkin diejek-ejek temanmu kalau mengenakannya. 

Lama-lama, Rita jadi tergelitik dengan kata-kata pujian dari Ratih. Ia kemudian mengangguk senang, lalu tersenyum.

“Apalagi, capnya masih ada,” tambah Ratih, sambil menunjukkan sebuah cap yang menggantung di leher baju bekas itu. Rita jelas tak bisa membacanya. Tapi cap itu penting. Anak-anak di kampungnya tak akan mencopot cap bajunya, sekadar membuktikan bahwa itu benar-benar baju baru.

Rita pun segera mengenakan baju itu, lalu bergegas ke depan lemari tua. Ia dengan semringah melihat-lihat penampilannya di dalam cermin. Tak sedikit pun ia merasa keberatan dengan baju itu. Kini, ia tak lagi mempermasalahkan kalau tahun ini, tak ada baju lebaran yang baru. Baginya, baju bekas itu, senilai baju baru.

Di samping lemari tua tempat Rita bercermin, menjuntai sebuah baju perempuan yang tampak baru dan menawan. Baju milik Ratih itu telah dipajang dari kemarin. Rita pun tak pernah mempertanyakannya. Ia yakin itu baju bekas. Kelihatan, tak ada cap yang menggantung di sisi baju. Ia merasa, bajunya lebih membanggakan. Meski bekas, tapi masih bercap.

Rita yakin, Ratih tak akan membeli baju baru, tanpa membelikannya juga. Dipikirnya, Ratih pasti menyayanginya, sebagaimana ibu pada lazimnya. Seorang ibu sejati tak akan tega bersenang-senang saat melihat anaknya bersedih. 

Dengan gembira, Rita berbalik dan tersenyum pada Ratih, sampai terlihat gigi seri atasnya telah tanggal. “Aku suka baju ini Bu. Terima kasih. Aku sayang Ibu,” tuturnya.

Ratih pun meraih adiknya yang mungil itu, lalu memeluknya. Dalam kehangatan pelukan mereka, Ratih memendam perasaan yang entah bagaimana.

Dan, diam-diam, Ratih sangat berharap semua warga sekampungnya, buta huruf. Ia takut, ada warga kampung yang mampu mengeja dan memaknai simbol-simbol pada cap baju bekas yang dikenakan Rita. Tanda-tanda di cap itu jelas merujuk pada baju yang menggantung di samping lemari.

Memang benar, tak ada baju lebaran tahun ini untuk Rita, tapi tidak untuk Ratih. Selama Rita belum bisa membaca dan masih menganggap cap begitu penting, maka selama itu pula, tak ada baju baru baginya. Tidak hanya lebaran tahun ini, tapi mungkin di tahun-tahun mendatang juga. Apalagi, baju bekas Ratih saat masih kanak-kanak, di setiap lebaran dahulu, masih tersimpan baik di dalam lemari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar