Kehidupan
berumah tangga, ternyata tak selamanya menentramkan. Sama pula yang dirasakan
Hendro. Penantian dan kegelisahannya soal pendamping hidup selama belasan tahun,
telah ia akhiri dengan menikah. Namun keputusan itu, malah memerangkapnya dalam
kekalutan yang sempurna. Hendak mengenyahkan kesepian, tapi ia malah jatuh
dalam keterasingan yang sempurna. Ada dalam kebersamaan, tapi tak saling
melengkapi.
Hendro
yang lahir di perkampungan, sebagai buah cinta sepasang petani, memang telah
menyaksikan kebersamaan yang harmonis dalam ikatan suami-istri. Masa kecilnya dihiasi
tayangan kasih sayang antara ayah dan ibunya. Dua insan yang membentuk
konsepnya soal nuansa indah berumah tangga itu, betah saling melengkapi sepanjang
waktu. Meski sesekali Hendro mendengar percekcokan, tapi ketegangan lekas
mereda, sebab jiwa dan raga keduanya, tak pernah benar-benar berjarak.
Keharmonisan
kedua orang tua Hendro, tak lain disebabkan oleh kesalingpengertian tentang
tanggung jawab masing-masing. Ia menyaksikan sendiri bagaimana ayahnya memanjakan padi di sawah, hingga lewat tengah
hari. Tugas itu dilaksanakan sang ayah dengan penuh keikhlasan, demi keluarga. Sedangkan
di posisi lain, ibunya yang kadang ikut membantu sekadarnya di sawah, tak juga melalaikan
perkerjaan rumah, terutama menyiapkan hidangan lezat dan menyambut suaminya
dengan senyuman sepulang kerja.
Berkas-berkas
keharmonisan orang tuanya, kini hanya jadi bahan pembanding yang memilukan bagi
Hendro. Keluarga kecilnya yang menetap di kota, dalam suasana yang penuh
hiruk-pikuk, membuatnya rindu mengecap kasih sayang dalam kesedehanaan, seperti
kedua orang tuanya di desa dahulu. Tapi apa mau dikata, demi memenuhi
kebutuhan hidup yang tinggi, ia dan istrinya, seakan tak bisa mengendalikan
waktu. Mereka sama-sama sibuk, sampai tak sempat menyisakan waktu untuk
kebersamaan yang intim.
Keterasingan
Hendro setelah berkeluarga, bahkan semakin menjadi-jadi belakangan ini. Jika di
awal pernikahan ia masih pulang kantor dengan rasa gembira demi senyuman manis dari
sang istri, maka di tahun kelima pernikahan, keadaan berubah drastis. Sesampainya
di rumah, tak ada seorang pun yang ia jumpai. Sang istri yang belum sempat melahirkan
anak setelah keguguran sebanyak tiga kali, kini menghabiskan sebagian besar
waktunya sebagai pegawai di sebuah perusahaaan. Istrinya itu bahkan kerap tiba di rumah lebih lambat darinya, hingga kelelahan selalu menjadi alasannya
untuk cuek dan abai.
Dan
sore ini, Hendro yang bekerja sebagai pegawai honorer dengan pendapatan yang
pas-pasan, tiba di pekarangan rumah. Ia sampai dengan keyakinan akan kepastian
yang sama, bahwa ia hanya akan menjumpai kehampaan di dalam rumahnya yang berantakan
itu. Tak akan ada makanan yang tersaji di meja makan, atau setidaknya diawetkan
di dalam kulkas. Tak akan ada yang menyambutnya, kecuali cicak yang berdecak
atau tikus yang berdecit riang di kawasan dapur yang kumuh. Akhirnya pun jelas,
semua itu benar-benar kenyataan.
Dengan
kegetiran yang berulang, Hendro pun menghempaskan kepenatannya di sebuah kursi
yang menghadap ke meja makan. Di depannya, hanya ada secerek air putih, seperti
yang biasa tersaji. Sisanya, soal makanan, ia harus mengusahakan sendiri. Sebab
itulah, sepulang kantor, ia kerap kali membawa panganan lengkap yang dibelinya
di warung sederhana langganannya, di pinggir jalan, yang tak jauh dari rumahnya.
Soal
ongkos jajan untuk sarapan, makan malam, juga makan siang, selama ini diperoleh
Hendro dari pendapatannya sendiri. Namun beruntung, seminggu lalu, ia mendapat
sokongan dana yang mungkin akan cukup untuk beberapa hari ke depan. Dana itu ia
peroleh dari bawah pakaian, di dalam sebuah lemari, di antara sela-sela buku laporan keuangan
perusahaan milik istrinya. Tambahan rezeki itu
membuatnya merasa ringan, hingga tak perlu mengganggu gugat tabungan masa
depannya. Terlebih, ia merasa itu adalah haknya sebagai suami yang tak pernah
mendapat sajian makanan di rumah.
Keberuntungan
lain bagi Hendro di tengah program penghematan, tak berhenti sampai di situ.
Di antara hari-hari sejak seminggu yang lalu, ia juga tak sepenuhnya jajan
untuk mengisi perut. Dua hari di antaranya, ia membawa pulang makanan pemberian
dari seseorang yang dikujunginya sepulang kerja. Dan hari ini, untuk ketiga
kalinya, rezeki itu berulang. Keberuntungan itu jelas membuat ia tenang, sebab
ada jeda untuknya tidak bertemu dengan pemilik warung beserta
para pelanggan yang lain, yang mulai mencurigai ada persoalan di dalam rumah
tangganya sampai harus jajan tiap hari.
Dengan
hati gembira, Hendro pun perlahan mengurai serantang makanan gratis nan lezat
di hadapannya. Ia lalu meramu sajian itu dengan segala macam bumbu siap saji
yang menyertai ikan bakar dan ayam goreng. Ramuan yang begitu lengkap, hingga
menggugah selera makannya, yang selama ini tak pernah puas hanya dengan
makanan sederhana dari warung. Tak butuh waktu lama, yang tersisa
hanya rantang kotor berisi tulang belulang.
Kala
makanan belum juga mengantre baik di dalam alur pencernaan Hendro, semasih
meneguk air sedikit demi sedikit, daun pintu pun berderit. Tak ada suara, baik
berupa sapaan atau salam. Karena itu, Hendro yakin, yang datang adalah
istrinya sendiri, yang tiba lebih cepat dari biasannya. Dan benar saja, sang istri
muncul di depannya, dengan mimik datar dan penampilan aur-auran, khas pegawai
yang baru saja selesai menghadapi pekerjaan kantor, kemudian terjebak macet.
Kedatangan
istrinya yang secepat kilat, jelas membuat Hendro tak sempat menghilangkan
jejak. Bekas sajian, terpampang begitu saja di atas meja. Sesuatu yang memang
sebaiknya ia sembunyikan dari pengetahuan sang
istri. Bukan karena ada rahasia atau aib yang mesti ia tutup-tutupi, tetapi
demi menghindari percekcokan yang tentu lebih menggerahkan daripada sekadar
saling mendiamkan sepanjang waktu.
Namun
di luar dugaan Hendro, sang istri ternyata tak melotarkan penyataan sepatah
kata pun. Ia hanya melirik, kemudian berlalu dengan sikap cuek, tanpa merasa
perlu mengomentari tentang rantang yang jelas bukan bagian dari perkakas rumah
tangga. Keadaan itu jelas membuat Hendro terheran. Ia merasa sang istri telah
begitu mengabaikan dirinya, termasuk pada soal yang memang patut diperkarakan.
Ia pun hendak menjelaskannya sendiri, namun urung, sebab ia tahu kalau sikap
istrinya tak bersahabat semasih penat sepulang kantor.
Akhirnya,
tak ada tutur-sapa. Hanya terdengar dentingan piring yang dijentik Hendro dengan
sendok, atau suara gemeresik air dari dalam kamar mandi.
Hingga,
beberapa detik kemudian, istrinya, Marni, datang, kemudian berdiri lesu di antara perkakas
dapur yang berserakan. Istrinya lalu mengetus tanpa aba-aba, “Besok aku tak masuk kerja
lagi,” tuturnya, tanpa menjelaskan lebih lanjut soal alasannya, apalagi meminta
tanggapan.
Dengan
sikap yang tampak seperti peduli, Hendro pun menyampaikan keprihatinannya.
“Memangnya ada apa? Ibu mengundurkan diri?”
“Aku
dipecat!” kata Marni, dengan tekanan suara yang melemah. Kesedihan pun tampak
di wajahnya. “Aku dituduh menilep uang perusahaan.”
Hendro
berupaya tampak terenyak. “Apa? Ibu dipecat? Dituduh menggelapkan uang
perusahaan?” katanya, lalu berdiri, menghampiri sang istri. Sambil memegang
kedua lengan istrinya dengan kaku, ia kemudian menuturkan kata-kata
penyemangat. “Aku yakin, pasti terjadi kesalahpahaman. Aku tahu Ibu orang yang
jujur.”
Tanpa
kuasa memandang wajah suaminya, Marni pun menunduk tanpa kata-kata.
“Lalu,
bagaimana? Apa tak ada cara lagi agar pihak perusahaan memberi Ibu kesempatan
untuk memperbaiki keadaan?” tanya Hendro, dengan wajah yang seakan penuh
harapan.
Istrinya
menggeleng-gelengkan kepala. “Mereka tak percaya lagi padaku,” katanya, sambil
menyeka air mata yang tergelincir di pipinya. “Aku bahkan harus mengganti
kekurangan uang itu. Jumlahnya tiga juta. Jika tidak, mereka akan melaporkan
aku ke polisi.”
“Apa?”
sergah Hendro. Ia pun berusaha menstabilkan tampilan dirinya, sebab berurusan
dengan proses hukum, jelas tak pernah ia bayangkan. “Kalau begitu, Ibu tak usah
khawatir. Masalah ganti rugi itu, biar aku yang tanggung,” kata Hendro,
semringah, meski ia tak benar-benar akan mengganti apa-apa, tapi sekadar
mengembalikan sesuatu yang telah diambilnya tanpa izin, demi memberikan
pelajaran pada istrinya, juga demi sebuah rencana besar.
Seketika,
Marni menghempaskan genggaman suaminya. Emosinya melunjak. “Bapak mau ganti
dengan apa? Bapak punya persediaan uang?”
Terkesan
dianggap remeh sebagai suami, tak membuat Hendro kalap. Itu karena ia memang
menyadari, betapa sang istri tak pernah mengandalkannya dalam persoalan ekonomi.
Bahkan sambil tersenyum, ia kembali meyakinkan sang istri tentang tawaran
baiknya, “Aku punya tabungan yang melebihi jumlah itu. Ibu tenang saja,”
tegasnya, sambil berharap-harap semoga akhir dari percakapannya dengan sang istri kali
ini, akan menjadi awal kisah yang membahagiakan bagi keluarga kecilnya, seperti
kisah rumah tangga orang tuanya dahulu.
Dengan
mimik meremehkan, istrinya pun kembali bertanya atas keraguannya sendiri,
“Bagaimana bisa? Bapak kan hanya pegawai honorer dengan pendapatan kecil!”
Hendro
malah tertawa pendek mendengar remehan itu, “Ya bisalah, Bu. Selama ini kan
uang yang harus aku berikan pada Ibu, kusimpan dalam tabungan. Sudah lama
sekali Ibu tak meminta uang padaku. Kurasa, sebagai suami, aku wajib memberikan
uang itu, sebagai hak Ibu.”
Emosi
kemarahan Marni mereda, tapi ia masih tampak cemberut. “Baguslah kalau begitu.
Seharusnya memang begitu,” katanya, kemudian mengutarakan singgungan yang
berbeda, “Padahal selama ini, aku kira uang simpanan Bapak habis untuk perempuan
lain!”
Dituduh
main perempuan, jelas sesuatu yang sensitif. Tapi hal itu, juga tak membuat
Hendro naik darah. “Mana bisa aku berpaling dari Ibu. Yakinlah, aku tak akan
mengkhianati pernikahan kita.”
Kembali,
kekesalan Marni berwujud kemarahan. Ia lalu memandang suaminya dengan tatapan
nanar. “Lalu bagaimana dengan sepeda motor bapak yang terparkir di pondokan
khusus perempuan? Bapak kira aku tak lihat dengan mata kepalaku sendiri?”
tegasnya, dengan bola mata yang kembali berair. “Nah, rantang itu! Aku yakin
itu pemberian dari wanita simpanan Bapak! Jujur saja!”
Dan
akhirnya, ada kesenangan dalam hati Hendro. Ia merasa jalan cerita yang
diharapkannya berhasil. “Ibu jangan berpikiran negatif begitu,” katanya,
kemudian menggenggam kembali tangan istrinya.
Lagi,
Marni kembali menghempaskan tangan sang suami.
“Aku
memang mengunjungi seorang wanita di pondok itu. Seorang wanita yang juga
beberapa kali memasakkan hidangan untukku. Tapi itu wajar, Bu. Dia adalah
keponakanku sendiri,” sambungnya, sambil tersenyum-senyum. “Ia datang dari kota
seberang untuk urusan kantor. Aku mengajaknya tinggal di sini, tapi ia
menolak keras,” jelasnya lagi. “Sejak beberapa hari yang lalu, aku hendak
menjelaskan itu pada Ibu. Tapi aku tidak menemukan waktu yang tepat, juga takut mengganggu
waktu istirahat Ibu.”
Marni
tak berkata-kata. Hanya berusaha meredakan tangisnya secara perlahan, dengan
malu-malu.
“Yakinlah,
aku akan setia dengan ibu sepanjang waktu. Dan karena itu, aku akan melakukan
apa pun untuk ibu. Termasuk mencari pendapatan yang lebih menjamin,” katanya,
mencoba membesarkan hati sang istri atas keadaan ekonomi rumah tangganya yang
rentan.
Sang
istri masih bergeming.
“Nah,
mulai besok, supaya aku tak lagi berkunjung ke wanita simpananku, Ibu
tinggallah di rumah. Biar aku saja, sebagai suami, yang mencari uang untuk
kebutuhan hidup kita. Nah, setelah pulang, aku ingin disambut dengan masakan
Ibu yang lezat, juga senyum dari wajah manis ini,” gombalnya, sambil menjumput
dagu sang istri.
Marni
pun tak kuasa lagi menahan senyuman.
Dalam
hati, Hendro benar-benar merasa berhasil.
Dan
beberapa saat kemudian, sang istri pun berceletuk dengan nada manja. “Tapi
Bapak janji, tak akan meninggalkanku jika kupasrahkan kebutuhan hidupku
seluruhnya? Bahwa aku tak akan menjadi janda tanpa penghasilan karena ditinggal
pergi seorang suami demi wanita lain?” pinta Marni, satu ketakutan yang
sebenarnya merupakan alasan pokok yang membuat ia ngotot mencari penghasilan
sendiri selama ini.
Hendro
membalas dengan anggukan dan senyuman yang meyakinkan, sembari menelan kenyataan pahit bahwa
tabungan masa depan untuk keluarga kecilnya, harus terkuras lagi, sebab uang
yang telah ditilepnya dahulu, telah berkurang hingga beberapa ratus ribu
rupiah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar