Debu
beterbangan digaruk ban kendaraan di bawah terik matahari. Udara disesaki
segala macam bau. Beruntung, Tonton mengenakan topi dan masker. Sedari tadi, ia
duduk saja dengan tenang di teras sebuah kios yang tak berpenghuni. Di depannya,
orang-orang dengan dandanan terbaik mereka, berlalu-lalang dengan membawa
segala macam belian.
Pemandangan
itu membuatnya berkecil hati. Ia ingin juga masuk ke dalam pasar dan membeli keperluan
untuk dirinya sekeluarga. Ia ingin pula membeli kue dan makanan ringan untuk
dua putri kecilnya. Tetapi ia sama sekali tak punya ongkos. Pagi tadi, ia hanya
datang dengan penampilan sehari-harinya, tanpa serupiah pun uang di kantongnya.
Perlahan-lahan,
ia kembali mempertanyakan jalan takdirnya. Dahulu, hidupnya cukup sejahtera
sebagai seorang pemilik toko pakaian yang berkembang baik. Tetapi nasib buruk kemudian
menimpanya dan membalik keadaan hidupnya. Pada satu hari, ketika ia sekeluarga
berlibur ke pantai, api melalap tokonya yang juga merupakan rumah tinggalnya
itu.
Tak ada yang tahu pasti bagaimana api itu bisa muncul. Aparat kepolisian hanya berkesimpulan kalau itu terjadi karena korsleting listrik. Ia pun pasrah saja menerima kenyataan kalau ia telah kehilangan perbendaharaannya dalam sekejap waktu. Ia bahkan mesti bersabar menanggung utangnya pada beberapa orang yang merupakan modal membangun usahanya tersebut.
Dan
akhirnya, di tengah renungannya, ia kembali menyalahkan dirinya sendiri. Ia
menduga keras kalau kemalangannya adalah buah dari keangkuhannya. Itu karena
sehari sebelum tokonya kebakaran, ia kedatangan seorang lelaki pincang yang memelas
bantuannya. Lelaki paruh baya itu mengemis-ngemis agar ia sudi memberi sejumlah
uang atau bahan makanan.
"Mohon sedekahnya, Pak. Aku dan anak-istriku sudah kehabisan makanan. Kami orang miskin dan sudah tak punya apa-apa lagi," tutur lelaki itu, di sisi luar pagar.
Tanpa
terpikir untuk mempersilakan lelaki itu masuk ke dalam rumahnya, Tonton kemudian
menatap curiga, seolah mempertanyakan kebenaran pengakuan tersebut. Ia lantas
menyindir, "Ah, ini bukan lembaga amal, Pak. Ini toko. Sebagai pemilik, aku
hanya memberikan uang kepada orang yang bekerja sebagai karyawanku."
Seolah
menemukan jalan keluar, lelaki itu pun semringah. "Aku mau bekerja di toko
Bapak ini kalau Bapak bersedia menerima orang sepertiku." Dan seketika, raut
wajahnya berubah murung. "Tetapi kalau bisa, aku mau mengambil gajiku
terlebih dahulu, karena aku sudah sangat membutuhkan uang untuk memenuhi
kebutuhanku sekeluarga."
Tonton
sontak tertawa. "Tetapi ini juga bukan tempat peminjaman uang, Pak. Aku tentu
tak mau memberikan uang kepada orang yang belum mengerjakan apa-apa untukku.
Apalagi, aku tidak mengenal Bapak." Ia lantas mendengkus. "Lagi pula,
aku memang tak bisa mempekerjakan Bapak, karena yang berkerja di toko ini,
harus berpenampilan menarik. Harus muda dan cakap."
Lelaki itu pun menunduk kecewa.
"Sudahlah, Pak. Jangan berusaha membujukku. Aku tidak akan memberikan apa-apa," pungkas Tonton, dengan ekspresi yang datar.
Akhirnya, lelaki itu pergi dengan berjingkat-jingkat, dengan papahan tongkat yang menumpu di ketiaknya.
Tonton pun kembali mengenang peristiwa itu dengan kekalutan yang mendalam. Ia menyesal telah mencurigai lelaki itu, hingga ia malah mempermainkannya alih-alih membantunya. Padahal, sangat mungkin bahwa lelaki itu adalah pengemis sungguhan yang tak bisa apa-apa lagi untuk menyambung hidupnya selain memohon uluran tangan orang lain.
Keinsafan itulah yang akhirnya membuat Tonton menerima keadaan hidupnya. Ia merasa harus sanggup menjalani kutukan karena ketinggian hatinya, yang telah membuatnya tak tersentuh untuk menyantuni orang lain. Ia merasa mesti berjuang menjalani hari-harinya sebagai kepala keluarga yang telah kehilangan mata pencarian dan mesti menanggung banyak utang.
Sebagai upayanya untuk bangkit dan keluar dari jeratan kemiskinan, ia pun pernah merantau ke pulau seberang dan bekerja di sebuah perkebunan kelapa sawit. Tetapi ia hanya bertahan setahun. Ia pulang setelah kedapatan mencuri uang perusahaan, dan akhirnya dipecat. Sebuah kenyataan yang kukuh ia rahasiakan dari pengetahuan keluarganya atau orang terdekatnya.
Dan kini, di tengah kepelikan hidupnya, Tonton merasakan betul pahitnya kehidupan di dalam kemelaratan. Ia jadi bisa merasakan betapa pilunya perasaan sang pengemis yang ia campakkan di masa lalu. Ia bisa merasakan menjadi seseorang yang tak punya daya lagi untuk menghidupi dirinya sekeluarga selain mengharapkan kepunyaan orang lain secara cuma-cuma.
Telebih
lagi, ia memang sulit mendapatkan pekerjaan. Selain karena tenaganya yang sudah
melemah tergerus usia, juga karena tampakannya yang menyeramkan. Itu terjadi
karena sepulangnya dari perantauan, ia sempat bekerja di sebuah usaha
pemretelan tabung gas. Di situ, telah terjadi kebakaran atas kelalaiannya, yang
membuat separuh badan dan wajahnya terbakar.
Namun atas perasaan gengsinya, ia sungguh tak punya kesanggupan untuk menjadi pengemis. Ia miskin, tetapi ia tidak ingin dipandang rendah. Sebab itu, ia makin menyadari bahwa pengemis tidak selamanya pemalas ataupun penipu. Sangat mungkin bahwa pengemis adalah orang malang yang terpaksa menggadaikan harga dirinya demi menebus harga kebutuhan pokoknya.
Akhirnya, seturut niatnya ke pasar, ia pun menguatkan tekad untuk mendapatkan bekal hidup dengan caranya sendiri. Ia hendak mencuri. Dan sekian lama kemudian, setelah ia melihat keadaan yang cukup ramai di sisi depannya, ia pun lekas melancarkan aksinya. Ia menyeruak di tengah keramaian itu dan mencari celah untuk mengutil dompet orang yang lengah.
Sekian menit bergumul dengan pengunjung pasar yang lain, ia pun melihat mangsa empuknya. Ia tertarik pada sebuah dompet di keranjang seorang perempuan tua yang tampak kurang awas pada keadaan sekitar. Ia pun terus membuntuti perempuan itu sembari mencari momentum yang tepat untuk menunaikan rencananya.
Sampai
akhirnya, di persimpangan lapak para pedagang yang macet karena dijejali
orang-orang, ia pun menyusupkan tangannya ke dalam keranjang si perempuan tua
dan mengambil dompet tersebut. Cepat-cepat, ia lantas memasukkan dompet itu ke
dalam kantong jaketnya, dan segera mengambil langkah untuk kabur.
Tetapi sial baginya, sebab seorang lelaki yang berada di sampingnya, seketika menyadari aksinya. Lelaki yang tampak sepantaran dengannya itu, kemudian menggenggam lengannya dan lekas melontarkan tuduhan, "He, dasar pencuri!"
Dengan
serta-merta, orang-orang menembakkan pandangan kepadanya.
"Mencuri apa? Jangan menuduh sembarangan!" elak Tonton.
"Siapa
yang menuduh? Aku lihat sendiri kalau kau mengutil!" balas sang lelaki.
Tonton mencoba cuek. Ia pun mendengkus sinis dan melangkah pergi.
Namun
lelaki itu kembali menahannya, kemudian lekas menggeledahnya. Tonton pun
berusaha menepis rayapan tangan lelaki tersebut. Tetapi apa mau dikata,
sang lelaki telah berhasil menarik dompet dari dalam kantong jaketnya.
"Jadi, ini dompetmu? Kamu punya dompet bermotif bunga seperti ini? Atau ini adalah dompet Ibu itu?" sidik sang lelaki, sembari menunjuk sang perempuan tua.
Tonton
pun jadi kalang kabut.
Sang perempuan tua lalu mendekat dan memeriksa dompet itu. "Ya, ini punyaku," katanya.
Seketika,
orang-orang menatap Tonton dengan makna memvonis.
"Dasar pencuri sialan!" tegas lelaki itu, sambil menarik kerah baju Tonton.
Tanpa
aba-aba, orang-orang pun mendekat dan mengerubunginya. Satu per per satu di
antara mereka kemudian melayangkan pukulan dan tendangan ke badannya.
Karena telah terbukti bersalah dan merasa tak punya cara lagi untuk lolos, Tonton pun hanya terus meminta ampun dan memasrahkan nasib hidupnya pada belas kasih orang-orang.
Lalu
tiba-tiba, sebuah teriakan memecahkan kerumunan, "Hentikan! Jangan main
hakim sendiri!" sergah seorang lelaki dengan sikap berwibawa.
"Tetap dia ini pencuri, Pak Haji. Kalau tidak dihajar, dia tidak akan jera," tanggap seorang lelaki yang tampak mengenal baik sang lelaki berwibawa itu.
"Ah,
sudah...! Sudah!" tegas sang lelaki pelerai tersebut. "Tidak
sepatutnya kita menghukum seorang pencuri sebagai penjahat yang
sebenar-benarnya. Bisa jadi, kitalah yang jahat karena tidak memberikan bantuan
kepadanya saat ia membutuhkan, sehingga ia terpaksa mencuri. Barangkali, kita
telah abai dan pelit terhadap sesama.
Orang-orang sontak bergeming.
“Jadi
sebelum menghukum, sebaiknya kita bertanya pada diri kita masing-masing, apakah
kita akan sudi berbagi kepada orang yang meminta bantuan kepada kita? Apakah
kita rela bersedekah kepada orang yang miskin? Kalau kita masih ragu-ragu, maka
tidak sepatutnya kita menghajar orang yang terpaksa mencuri demi memenuhi
kebutuhannya," sambung sang lelaki berwibawa.
Orang-orang pun bungkam dan saling memandang-mandangi.
Diam-diam,
Tonton yang hanya meringkuk takut, jadi merasa tergugah.
"Sudahlah. Tak usah memperpanjang persoalan ini,” tutur lelaki berwibawa itu lagi. “Kalau di waktu mendatang ia mengulangi perbuatannya, silakan kalian mengambil tindakan hukum. Tetapi untuk kali ini, maafkanlah dia."
Akhirnya,
satu per satu orang melangkah pergi.
Dengan penuh kesyukuran, Tonton pun bangkit dan menghampiri sang lelaki berwibawa, lalu mengucapkan terima kasih. Setelah itu, ia lantas menghadap sang perempuan tua pemilik dompet, kemudian mengucapkan permohonan maaf.
Sekejap
berselang, Tonton meminta diri dan beranjak pergi. Tetapi baru beberapa
langkah, sang lelaki berwibawa menahannya dengan sahutan. Ia pun berhenti dan berbalik
badan, hingga ia melihat lelaki itu menghampirinya dengan langkah berjengket.
Seketika, keseganan kembali menggerayangi perasaan Tonton.
"Ini
untuk Bapak," kata sang lelaki berwibawa, sambil menyodorkan berlembar-lembar
uang.
Sontak saja, Tonton terenyuh. "Terima kasih banyak, Pak," ucapnya, setelah menerima uang tersebut.
Lelaki berwibawa itu hanya membalas dengan anggukan.
Setelah melayangkan senyuman canggung, Tonton pun melanjutkan perjalanannya sembari membawa rasa bersalahnya, sebab di masa lalu, ia telah tega mempermainkan perasaan lelaki berwibawa itu saat menandangi rumahnya dan meminta bantuan kepadanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar