Pagi-pagi,
ayah mengerami sepancang bambu
Menaruhkan
selamatnya pada anak-anak tangga
Menari
dan menghimpun bunga cengkih sampai sore
Untuk
dipipil, sepanjang malam melawan kantuk
Esoknya,
ibu menggelar bijian itu di tanah lapang
Memanggangnya
di bawah terik bersama tubuhnya
Sampai
lepas berhari-hari, dijualnyalah demi hidup
Dengan
harga seadanya, entah bagaimana bisa
Tahun-tahun
berganti, anak-anak terus bersekolah
Untuk
menjadi pintar, katanya, untuk menjadi kaya
Agar
tak semalang ayah-ibu yang buta siasat ekonomi
Yang
terlalu lugu untuk bertanya, “Kenapa bisa kami hidup miskin dengan bunga
cengkih yang memperkaya orang-orang terkaya di negeri ini?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar