Minggu, 20 November 2022

Rupa Kata

Kejemuan menjerumuskanku ke dalam dunia penulisan. Empat bulan yang lalu, ketika aku didera kesuntukan karena tak punya kegiatan berarti selepas kuliah, Dandi, seorang temanku yang lebih senior setahun dariku di bangku kuliah, menawariku untuk mulai menulis. Ia menyarankan agar aku membuat blog dan menuliskan keresahanku tentang apa saja.

Akhirnya, aku menuruti sarannya dengan penuh perhatian. Aku mulai belajar merangkai kata dengan baik atas bimbingannya sebagai seorang bloger yang berpengalaman. Dan untungnya, ia senantiasa sedia untuk memberikan pendapat dan pengajaran kepadaku perihal penulisan. Apalagi, kami memang tinggal di kos-kosan yang sama, bahkan bersampingan kamar.  

Aku sungguh beruntung bersahabat dengan Dandi yang memiliki kegemaran yang positif. Ketimbang menghabiskan waktu untuk kegiatan yang tidak bermanfaat seperti pemuda lainnya, ia malah memilih menekuni dunia penulisan untuk membagikan pemikirannya. Ia menulis opini dan esai untuk mengkritisi beragam persoalan. Ia tampak keren, dan aku ingin jadi sepertinya. 

Namun perlahan-lahan, bahasa tulis yang kami fokusi makin tampak berbeda. Bidang penulisan yang kami minati ternyata tidak serupa. Aku lebih suka genre fiksi, sedangkan ia lebih suka genre nonfiksi. Namun itu bukanlah persoalan yang membuat kami tak bisa bertukar saran dan kritikan. Bagaimanapun, perkara penulisan hanya tentang cara menyusun kata secara tepat.  

Demi mempertahankan semangatku dalam menulis, aku kemudian menerima ajakan Dandi untuk bergabung di sebuah komunitas bloger di kota kami. Awalnya, aku turut menjadi anggotanya di grup media sosial Facebook. Sampai akhirnya, seminggu yang lalu, kami bertemu langsung dengan anggota lain. Kami kopi darat dan berbincang tentang penulisan di sebuah kafe. 

Benar saja. Pertemuan itu berhasil meningkatkan ketertarikanku pada dunia penulisan, hingga membuatku makin semangat berkarya. Itu karena pada momen tersebut, aku bertemu dengan Ratih yang seketika membuatku jatuh hati pada pandangan pertama. Ia adalah seseorang perempuan yang tampak cantik dan cerdas, yang membuat khayalanku berbunga-bunga. 

"Perkenalkan, ini Hasim, temanku. Ia bloger baru," tutur Dandi di saat itu, memperkenalkan diriku kepada Ratih yang menghampiri kami selepas acara bincang-bincang. 

Dengan kegugupan yang sangat, aku pun menjabat uluran tangannya. 

“Ratih," tuturnya, menyebut namanya, sembari melayangkan senyuman yang menawan. 

Seketika pula, aku terpukau, hingga aku jadi setengah linglung.

Akhirnya, pada kesempatan itu, aku hanya terdiam dan tak kuasa turut di dalam obrolan. Aku tak bermental baja seperti Dandi yang tampak anteng saja bercakap-cakap dengan perempuan semanis Ratih. Seperti biasa, aku selalu kikuk jika berhadapan dengan perempuan yang menarik perhatianku. Dengan begitu saja, aku kehilangan kepercayaan diri. 

"Sudah lama kau mengenalnya?" tanyaku kepada Dandi setelah Ratih pamit dan pergi, dengan sapaan sepantaran sebagaimana pintanya kepadaku. 

"Ya, belum lama juga. Kami baru bertemu pertama kalinya pada kopi darat anggota grup lima bulan yang lalu, ketika ia pertama kali nimbrung," tuturnya, lantas tersenyum singkat. "Memangnya kenapa?" 

Aku pun kelabakan dan lekas berkilah, "Tidak apa-apa."

Ia hanya tergelak pendek. 

Sampai akhirnya, karena perasaanku yang enggan kuucapkan kepada Ratih, yang juga segan kuobrolkan dengan Dandi, aku jadi makin terdorong untuk menuliskannya saja. Aku ingin menyiratkan anganku perihal dirinya dalam sebuah cerpen. Paling tidak, aku bisa meluruhkan kekagumanku kepadanya, sehingga aku merasa plong. Aku tak peduli kalau ia kemudian tidak membacanya, atau tidak menyadari bahwa aku menulis tentangnya. 

Setelah berkutat dengan laptop selama empat hari, akhirnya, tiga hari yang lalu, aku berhasil merampungkan cerpen tentang Ratih. Namun aku memilih menyamarkan kisah perasaanku agar hasilnya tak seperti catatan harian. Karena itu, aku menuliskan tentang seorang lelaki yang jatuh hati kepada seorang perempuan di sebuah komunitas teater. Keduanya kemudian dipasangkan dalam sebuah cerita percintaan. Sang lelaki lantas menyatakan perasaannya dalam adegan, tetapi sang perempuan hanya menganggapnya sebagai permainan lakon semata.

Agar lebih menyentuh, aku lalu mengakhiri hubungan kedua tokoh ceritaku itu sebagian kisah kasih tak sampai. Tokoh lelaki terus memendam perasaannya, sebab ia merasa tokoh perempuan tidak akan membalasnya. Sang lelaki tak bisa membaca perasaan sang perempuan yang sebenarnya seirama dengan perasaannya, sebab sikap sang perempuan yang tertutup dan tak memberikan sinyal sedikit pun. Mereka sama-sama mencintai di dalam selubung rahasia.  

Aku sungguh senang setelah berhasil merampungkan cerpenku tersebut. Apalagi, aku merasa puas sendiri setelah membacanya. Setidaknya, meskipun ide ceritanya tentang aku dan Ratih, tetapi aku mampu untuk sekadar menyiratkannya. Bagaimanapun, aku tak sepatutnya menjadi penulis yang egois dan narsistik. Biarpun motivasi dan inspirasiku adalah Ratih, aku mesti membuatnya bisa menyuarakan kegelisahan semua orang yang tengah memendam cintanya.

Dan tampaknya, aku benar-benar berhasil meramunya secara apik. Buktinya, setelah aku menunjukkannya kepada Dandi, ia sama sekali tak membaca kalau aku tengah menuliskan kegalauanku. Ia malah bahkan memberikan pujian yang membesarkan tekadku untuk menjadi penulis fiksi yang andal, "Cerpenmu bagus. Aku suka.” 

Sontak saja, aku berbangga diri, sebab aku merasa telah berhasil menulis sebuah cerpen, bukan cerita diari. "Memangnya, apa alasanmu sampai kau bilang bagus?" selisikku, mencari peyakinan bahwa ia tidak sedang menjilatiku.

"Kau berhasil merangkai sebuah cerita yang dramatis. Kukira, setiap orang yang sedang memendam cintanya, akan merasa terwakili setelah membaca cerpenmu ini." Ia lantas menepuk-nepuk pundakku. "Kau harus mengirimnya ke media ternama. Aku merasa, ini layak untuk diterbitkan." 

Aku pun makin percaya diri. "Baiklah. Akan aku lakukan."

Dan taksiran Dandi ternyata benar. Sesaat yang lalu, aku jadi sangat bergembira setelah menyaksikan cerpenku itu dimuat di laman sebuah media daring ternama. Tanpa menunda waktu, aku lantas membagikan tautannya ke grup bloger Facebook hunianku demi menuai tanggapan orang-orang.  

Tak berselang lama, aku pun makin kegirangan setelah mendapatkan tanggapan Ratih pada kolom komentar unggahan tautan cerpenku tersebut: Selamat. Cerpen yang sangat menarik dan mampu menggugah perasaan agar tak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengungkapkan isi hati kepada seseorang. 

Di tengah perasaan senang yang menggunung, aku lantas berpikir untuk meramu balasan yang tepat. Tetapi karena kata-katanya hanyalah pernyataan dan bukan pertanyaan, aku akhirnya menanggapi dengan sekenanya saja: Terima kasih sudah membaca. 

Kukira, memang selayaknya begitu. Aku mesti mengontrol deru perasaanku agar tak bersikap bodoh dan memalukan di masa awal pengakraban diri. 

Perlahan-lahan, aku kemudian jadi tak sabar untuk segera menyampaikannya kabar keberhasilanku kepada Dandi secara langsung, sekaligus mengucapkan terima kasih atas peran besarnya sehingga aku mampu menulis dengan baik. Tetapi aku mesti menunggu, sebab ia belum juga pulang setelah berangkat ke kampus pagi tadi.  

Hingga akhirnya, di tengah penantianku, Dandi tiba-tiba menerobos masuk masuk ke dalam kamarku. Ia tampak bahagia dengan senyuman yang merekah. Aku pun jadi bertanya-tanya dan memilih untuk menahan berita gembiraku untuknya. "Kamu kenapa? Kok senang begitu?"

Ia lantas mengempaskan tubuhnya di atas kasurku, lantas tertawa-tawa kegirangan. 

"Ada apa?" sidikku, penasaran. 

Tanpa berkata-kata, ia lalu menyerahkan ponselnya kepadaku. 

Aku pun mulai membaca sebuah pesan Whatsapp di layar ponselnya: Hai, Dandi. Aku tak tahu bagaimana mengatakannya kepadamu. Tetapi aku merasa tak sanggup lagi untuk memendam perasaanku, bahwa sejak dahulu, aku telah jatuh hati kepadamu. Aku mencintaimu.

Seketika, aku jadi paham suasana hatinya, dan aku maklum. "Kau kasmaran rupanya. Cinta memang bisa membuat orang jadi gila," singgungku, bercanda, kemudian menilik nama sang pengirim pesan yang hanya bertuliskan: X. Aku pun lekas bertanya, "Memangnya, kalau boleh tahu, pesan ini dari siapa?" 

Ia lantas bangkit dari pembaringan dan menatapku dengan mata yang berkaca-kaca. "Itu dari Ratih, kenalan barumu pada kopi darat yang lalu.

Perasaanku sontak mengeruh. Duniaku terasa hancur. 

"Kau harus membantuku. Tolong tuliskan belasan yang tepat untuknya, bahwa aku pun mencintainya. Kau pandai menyusun kata-kata yang manis,” pintanya, dengan raut memohon.

Aku pun merasa terbunuh berkali-kali.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar