"Jangan makan di situ lagi!" sahut Liman, dengan tatapan yang serius, setelah aku mengutarakan rencanaku untuk bersantap siang di warung milik Atik.
"Kenapa?" tanyaku.
Ia lalu menggilas bara puntung rokoknya di asbak, lantas menjawab dengan sikap awas, "Atik pakai pelaris. Ada orang yang pernah melihat dalaman perempuan di dalam dandang masakannya."
"Serius?" selisikku, tak menduga.
Ia pun mengangguk, kemudian berdiri dan menyelempang jaketnya. "Kalau kau tidak mau percaya, ya, sudah. Aku hanya bermaksud memberitahukan kenyataan yang sesungguhnya kepadamu," tuturnya, lantas berlalu pergi dari teras depan rumahku.
Sontak, aku menimbang-nimbang penuturan Liman. Apalagi, aku sering juga mendengar cerita perihal orang-orang yang menggunakan cara mistis untuk melariskan jualannya. Tetapi soal warung Atik, aku sulit percaya. Paling tidak, aku masih kerap melihat orang-orang agamais makan di warung bakso tersebut. Kupikir, mereka seharusnya tak terbuai rayuan setan untuk mampir di situ jikalau isu itu memang benar.
Terlebih lagi, aku memang sulit memercayai hal-hal yang mistis. Bukan berarti aku meragukan adanya perihal yang gaib, tetapi aku hanya tidak percaya kalau semua persoalan yang tidak bisa dijelaskan dengan logika, ada hubungannya dengan makhluk halus. Jadi, kalau warung Atik ramai, ya, tidak berarti juga ia pakai pelaris. Sangat mungkin karena sajiannya memang enak.
Belum
lagi, aku patut mempertimbangkan kenyataan kalau banyak ibu-ibu yang mulai
kepanasan melihat suami mereka menjadi pelanggan warung Atik. Pasalnya, janda beranak
satu itu memang cantik dan ramah, sehingga banyak lelaki dewasa yang tampak
nyaman berada di warungnya, termasuk Liman yang sudah beristri dan beranak tiga.
Karena itu, bisa jadi, isu pelaris hanyalah karangan ibu-ibu untuk membuat suami
mereka berhenti berkunjung ke warung Atik.
Tetapi
aku jadi bertanya-tanya, kenapa bisa Liman memercayai kabar itu. Aku sulit
membayangkan bahwa ia tak akan lagi bertandang ke warung Atik. Jelas-jelas, aku
bisa membaca kalau ia punya hasrat yang besar kepada Atik. Karena itu, aku
merasa tidak semestinya memercayai Liman begitu saja. Aku mesti mencari kejelasan.
Apalagi, aku yang masih lajang ini, juga memendam kagum kepada Atik yang manis
itu.
Akhirnya, aku terbayang kejadian 15 tahun yang lalu, saat aku masih duduk di bangku kelas II SMP. Saat itu, menyebar isu yang mencekam kalau para pemburu kepala manusia, tengah berkeliaran. Kabarnya, mereka akan memenggal kepala siapa saja yang lengah. Kepala itu lantas akan dikuburkan di sisi pondasi jembatan yang dibangun, supaya kokoh. Dan untuk itu, pemburu yang berhasil mendapatkan tumbal akan memperoleh imbalan ratusan juta rupiah.
Cerita
tersebut kemudian menghantui aku dan dua puluhan teman seperjalananku. Apalagi,
kami berangkat ke sekolah dengan menempuh jalan yang panjang. Kami bisa
menghabiskan waktu lebih dari satu jam untuk berjalan kaki menempuh
tanjakan-tanjakan sejauh enam kilometer. Dan parahnya, jalan dengan pengerasan
kerikil itu, sangat lengang. Perkampungan hanya ada di beberapa titik yang
menyelingi panjangnya jalan yang hanya diiringi kebun-kebun warga.
Keadaan
itu, akhirnya membuat kami merasa ngeri. Kami jelas waswas kalau tiba-tiba saja
para pemenggal kepala muncul dari balik pepohonan atau semak-semak, lalu
memerangkap siapa pun di antara kami untuk dipancung. Sebab itu, kami sepakat
untuk selalu pergi dan pulang dari sekolah bersama-sama. Kami akan berjalan bergerombol
untuk saling menjaga. Aku dan beberapa temanku bahkan membekali diri dengan
pisau atau parang.
Sebelum
situasi yang mencekam itu, kami memang kerap berjalan berkubu-kubu dan berpencar-pencar.
Apalagi, kami suka saling mendahului untuk menjarah isi kebun warga di
sepanjang jalan. Entah pisang, jambu, mangga, rambutan, langsat, durian, atau
apa saja yang bisa meringankan lapar dan dahaga kami. Tetapi demi keselamatan,
kami pun menghentikan kebiasaan itu. Kami tidak lagi menyimpang jalan dan masuk
ke kebun warga. Kami hanya terus melangkah di sepanjang badan jalan.
Namun
seminggu setelah kabar mulai menyebar, ketakutan malah makin menjadi-jadi.
Penyebabnya, tersiar cerita kalau para warga di desa sebelah telah memburu tiga
orang asing di perkebunan saat siang bolong. Dua orang berhasil meloloskan
diri, tetapi seorang lainnya berhasil tertangkap dan nyaris tewas dimassa.
Meski kabarnya seseorang itu hanya mengaku sebagai pemburu hewan liar, tetapi
orang-orang tetap meyakini kalau ia adalah pemburu kepala manusia.
Lalu,
ketakutan pun memuncak setelah Bakir, seorang warga yang paling awas dan getol
menyebar berita, melaporkan bahwa seorang pemburu kepala telah berhasil dibunuh
oleh warga di desa yang lainnya. Seketika pula, orang tuaku dan orang tua
teman-teman seperjalananku, mengambil sikap perlindungan. Mereka meminta kepada
pihak sekolah agar mengizinkan kami untuk tidak ke sekolah sementara waktu,
sampai keadaan kondusif. Beruntung, permintaan itu dikabulkan.
Tak
pelak, libur kami membuat isi kebun warga di sepanjang jalan menuju sekolah, benar-benar
aman. Kami tak akan lagi menjarah, bahkan untuk sekadar memungut buah dari
tanaman yang berada tepat di pinggir jalan. Meski para pemilik kebun tidak
pernah jua memperkarakan kami selain hanya meneriaki kami kalau tertangkap
basah, seolah memahami tindakan kami yang terpaksa mencuri buah demi meredam
lelah perjalanan, tetapi itu tetaplah merugikan mereka. Apalagi, pada waktu
itu, sedang musim durian. Buah-buah itu tentu mendatangkan keuntungan yang
menggiurkan jikalau terjual.
Namun nyatanya, yang terjadi tidaklah demikian. Di tengah cerita-cerita yang makin mencekam, para pemilik kebun yang notabene lelaki dewasa, malah kehilangan keberanian juga untuk menjaga kebun dan mengamankan buah durian mereka, apalagi saat malam hari. Mereka baru akan mengunjungi kebun mereka saat matahari mulai naik, untuk memungut buah yang jatuh sepanjang malam.
Akibat
pola yang baru itu, perkara lain pun marak terdengar. Banyak di antara warga
yang mengaku tidak mendapatkan pungutan buah durian ketika mereka mengunjungi kebun
mereka di pagi hari. Mereka tentu salah kalau menuding aku dan teman-tamanku sebagai
orang yang telah mendahului mereka memungut buah-buah tersebut. Sebab itu,
akhirnya, dugaan lain mulai menyeruak, bahwa ada orang-orang yang sedang memanfaatkan
situasi untuk mencuri.
Perlahan-lahan,
para warga di kampungku mulai memberanikan diri untuk melawan ketakutannya.
Mereka bahkan mulai menaksir kalau kabar soal pemenggal kepala hanya isu yang
dibuat-buat dan diembuskan oleh mereka yang ingin menjarah. Dugaan itu pun
menguat setelah terdengar kabar kalau seorang warga di perkampungan sebelah,
yang masih dalam kawasan desaku, telah memergoki kawanan orang yang sedang
memanen buah durian otongnya. Beruntung, warga itu berhasil menggagalkan aksi para
pencuri dengan berbekal senapan miliknya. Ia bahkan sempat melepaskan sebuah
tembakan ke arah seseorang di antaranya.
Pada hari-hari selanjutnya, para warga makin sanggup meredam ketakutannya. Mereka bahkan mulai meyakini kalau berita perihal pemburu kepala, sekadar isapan jempol belaka. Mereka pun makin yakin setelah pihak kepolisian datang dan menegaskan bahwa isu soal kawanan pencari dan pemenggal kepala, hanyalah cerita karangan yang dibesar-besarkan.
Sampai
akhirnya, keberanian para warga pulih setelah menerka-nerka apa yang terjadi
dengan diri Bakir. Setelah dua hari menghilang dan mengaku tengah berkunjung ke
rumah saudaranya di kecamatan yang lain, ia akhirnya kembali ke kampung kami dengan
langkah yang terlihat pincang. Meski ia mengaku telah terjatuh dari atas tangga
di rumah saudaranya, lalu pahanya tertusuk paku besar, tetapi banyak warga yang
meyakini versi yang lain, bahwa Bakir adalah bagian dari kawanan yang telah memanjat
durian otong seorang warga di perkampungan sebelah.
Akhirnya,
lebih tiga minggu setelah kabar-kabar pemburu kepala menyebar, keadaan pun kembali
normal, dan kami mulai berangkat ke sekolah dengan keberanian yang biasa.
Dan kini, berdasar pada kejadian di masa lalu tersebut, aku jadi sulit memercayai kabar-kabar yang tidak berdasar. Karena itu pula, aku tak mau memercayai penuturan Liman begitu saja. Aku memilih tetap berkunjung ke warung Atik. Aku yakin Atik tidak melakukan hal-hal yang dituturkan Liman. Aku akan meyakini itu sampai bukti terpercaya tampak di depan mataku dan menyatakan sebaliknya. Bagaimanapun, aku tak mau cerita-cerita bohong menghalau kerinduanku untuk bersua dengan janda manis itu.
Setalah
belasan menit mengendarai motor, aku akhirnya sampai di warung Atik, di samping
kompleks pasar tradisional. Tetapi selain untuk urusan perut dan perasaan, kali
ini, aku bermaksud datang untuk membaca tanda-tanda, entah akan menunjukkan kekeliruan
ataukah kebenaran tudingan Liman.
Dan betapa terkejutnya aku setiba di parkiran warung milik Atik. Dengan jelas, aku melihat Liman tengah bersantap lahap di dalam warung tersebut. Cepat-cepat, aku pun bergegas masuk untuk memperkarakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar