Senin, 28 November 2022

Pemburu Kepala

"Jangan makan di situ lagi!" sahut Liman, dengan tatapan yang serius, setelah aku mengutarakan rencanaku untuk bersantap siang di warung milik Atik. 

"Kenapa?" tanyaku. 

Ia lalu menggilas bara puntung rokoknya di asbak, lantas menjawab dengan sikap awas, "Atik pakai pelaris. Ada orang yang pernah melihat dalaman perempuan di dalam dandang masakannya."

"Serius?" selisikku, tak menduga.

Ia pun mengangguk, kemudian berdiri dan menyelempang jaketnya. "Kalau kau tidak mau percaya, ya, sudah. Aku hanya bermaksud memberitahukan kenyataan yang sesungguhnya kepadamu," tuturnya, lantas berlalu pergi dari teras depan rumahku. 

Sontak, aku menimbang-nimbang penuturan Liman. Apalagi, aku sering juga mendengar cerita perihal orang-orang yang menggunakan cara mistis untuk melariskan jualannya. Tetapi soal warung Atik, aku sulit percaya. Paling tidak, aku masih kerap melihat orang-orang agamais makan di warung bakso tersebut. Kupikir, mereka seharusnya tak terbuai rayuan setan untuk mampir di situ jikalau isu itu memang benar.

Terlebih lagi, aku memang sulit memercayai hal-hal yang mistis. Bukan berarti aku meragukan adanya perihal yang gaib, tetapi aku hanya tidak percaya kalau semua persoalan yang tidak bisa dijelaskan dengan logika, ada hubungannya dengan makhluk halus. Jadi, kalau warung Atik ramai, ya, tidak berarti juga ia pakai pelaris. Sangat mungkin karena sajiannya memang enak. 

Belum lagi, aku patut mempertimbangkan kenyataan kalau banyak ibu-ibu yang mulai kepanasan melihat suami mereka menjadi pelanggan warung Atik. Pasalnya, janda beranak satu itu memang cantik dan ramah, sehingga banyak lelaki dewasa yang tampak nyaman berada di warungnya, termasuk Liman yang sudah beristri dan beranak tiga. Karena itu, bisa jadi, isu pelaris hanyalah karangan ibu-ibu untuk membuat suami mereka berhenti berkunjung ke warung Atik. 

Tetapi aku jadi bertanya-tanya, kenapa bisa Liman memercayai kabar itu. Aku sulit membayangkan bahwa ia tak akan lagi bertandang ke warung Atik. Jelas-jelas, aku bisa membaca kalau ia punya hasrat yang besar kepada Atik. Karena itu, aku merasa tidak semestinya memercayai Liman begitu saja. Aku mesti mencari kejelasan. Apalagi, aku yang masih lajang ini, juga memendam kagum kepada Atik yang manis itu. 

Akhirnya, aku terbayang kejadian 15 tahun yang lalu, saat aku masih duduk di bangku kelas II SMP. Saat itu, menyebar isu yang mencekam kalau para pemburu kepala manusia, tengah berkeliaran. Kabarnya, mereka akan memenggal kepala siapa saja yang lengah. Kepala itu lantas akan dikuburkan di sisi pondasi jembatan yang dibangun, supaya kokoh. Dan untuk itu, pemburu yang berhasil mendapatkan tumbal akan memperoleh imbalan ratusan juta rupiah.

Cerita tersebut kemudian menghantui aku dan dua puluhan teman seperjalananku. Apalagi, kami berangkat ke sekolah dengan menempuh jalan yang panjang. Kami bisa menghabiskan waktu lebih dari satu jam untuk berjalan kaki menempuh tanjakan-tanjakan sejauh enam kilometer. Dan parahnya, jalan dengan pengerasan kerikil itu, sangat lengang. Perkampungan hanya ada di beberapa titik yang menyelingi panjangnya jalan yang hanya diiringi kebun-kebun warga. 

Keadaan itu, akhirnya membuat kami merasa ngeri. Kami jelas waswas kalau tiba-tiba saja para pemenggal kepala muncul dari balik pepohonan atau semak-semak, lalu memerangkap siapa pun di antara kami untuk dipancung. Sebab itu, kami sepakat untuk selalu pergi dan pulang dari sekolah bersama-sama. Kami akan berjalan bergerombol untuk saling menjaga. Aku dan beberapa temanku bahkan membekali diri dengan pisau atau parang. 

Sebelum situasi yang mencekam itu, kami memang kerap berjalan berkubu-kubu dan berpencar-pencar. Apalagi, kami suka saling mendahului untuk menjarah isi kebun warga di sepanjang jalan. Entah pisang, jambu, mangga, rambutan, langsat, durian, atau apa saja yang bisa meringankan lapar dan dahaga kami. Tetapi demi keselamatan, kami pun menghentikan kebiasaan itu. Kami tidak lagi menyimpang jalan dan masuk ke kebun warga. Kami hanya terus melangkah di sepanjang badan jalan. 

Namun seminggu setelah kabar mulai menyebar, ketakutan malah makin menjadi-jadi. Penyebabnya, tersiar cerita kalau para warga di desa sebelah telah memburu tiga orang asing di perkebunan saat siang bolong. Dua orang berhasil meloloskan diri, tetapi seorang lainnya berhasil tertangkap dan nyaris tewas dimassa. Meski kabarnya seseorang itu hanya mengaku sebagai pemburu hewan liar, tetapi orang-orang tetap meyakini kalau ia adalah pemburu kepala manusia.

Lalu, ketakutan pun memuncak setelah Bakir, seorang warga yang paling awas dan getol menyebar berita, melaporkan bahwa seorang pemburu kepala telah berhasil dibunuh oleh warga di desa yang lainnya. Seketika pula, orang tuaku dan orang tua teman-teman seperjalananku, mengambil sikap perlindungan. Mereka meminta kepada pihak sekolah agar mengizinkan kami untuk tidak ke sekolah sementara waktu, sampai keadaan kondusif. Beruntung, permintaan itu dikabulkan. 

Tak pelak, libur kami membuat isi kebun warga di sepanjang jalan menuju sekolah, benar-benar aman. Kami tak akan lagi menjarah, bahkan untuk sekadar memungut buah dari tanaman yang berada tepat di pinggir jalan. Meski para pemilik kebun tidak pernah jua memperkarakan kami selain hanya meneriaki kami kalau tertangkap basah, seolah memahami tindakan kami yang terpaksa mencuri buah demi meredam lelah perjalanan, tetapi itu tetaplah merugikan mereka. Apalagi, pada waktu itu, sedang musim durian. Buah-buah itu tentu mendatangkan keuntungan yang menggiurkan jikalau terjual. 

Namun nyatanya, yang terjadi tidaklah demikian. Di tengah cerita-cerita yang makin mencekam, para pemilik kebun yang notabene lelaki dewasa, malah kehilangan keberanian juga untuk menjaga kebun dan mengamankan buah durian mereka, apalagi saat malam hari. Mereka baru akan mengunjungi kebun mereka saat matahari mulai naik, untuk memungut buah yang jatuh sepanjang malam. 

Akibat pola yang baru itu, perkara lain pun marak terdengar. Banyak di antara warga yang mengaku tidak mendapatkan pungutan buah durian ketika mereka mengunjungi kebun mereka di pagi hari. Mereka tentu salah kalau menuding aku dan teman-tamanku sebagai orang yang telah mendahului mereka memungut buah-buah tersebut. Sebab itu, akhirnya, dugaan lain mulai menyeruak, bahwa ada orang-orang yang sedang memanfaatkan situasi untuk mencuri. 

Perlahan-lahan, para warga di kampungku mulai memberanikan diri untuk melawan ketakutannya. Mereka bahkan mulai menaksir kalau kabar soal pemenggal kepala hanya isu yang dibuat-buat dan diembuskan oleh mereka yang ingin menjarah. Dugaan itu pun menguat setelah terdengar kabar kalau seorang warga di perkampungan sebelah, yang masih dalam kawasan desaku, telah memergoki kawanan orang yang sedang memanen buah durian otongnya. Beruntung, warga itu berhasil menggagalkan aksi para pencuri dengan berbekal senapan miliknya. Ia bahkan sempat melepaskan sebuah tembakan ke arah seseorang di antaranya.

Pada hari-hari selanjutnya, para warga makin sanggup meredam ketakutannya. Mereka bahkan mulai meyakini kalau berita perihal pemburu kepala, sekadar isapan jempol belaka. Mereka pun makin yakin setelah pihak kepolisian datang dan menegaskan bahwa isu soal kawanan pencari dan pemenggal kepala, hanyalah cerita karangan yang dibesar-besarkan. 

Sampai akhirnya, keberanian para warga pulih setelah menerka-nerka apa yang terjadi dengan diri Bakir. Setelah dua hari menghilang dan mengaku tengah berkunjung ke rumah saudaranya di kecamatan yang lain, ia akhirnya kembali ke kampung kami dengan langkah yang terlihat pincang. Meski ia mengaku telah terjatuh dari atas tangga di rumah saudaranya, lalu pahanya tertusuk paku besar, tetapi banyak warga yang meyakini versi yang lain, bahwa Bakir adalah bagian dari kawanan yang telah memanjat durian otong seorang warga di perkampungan sebelah.

Akhirnya, lebih tiga minggu setelah kabar-kabar pemburu kepala menyebar, keadaan pun kembali normal, dan kami mulai berangkat ke sekolah dengan keberanian yang biasa.

Dan kini, berdasar pada kejadian di masa lalu tersebut, aku jadi sulit memercayai kabar-kabar yang tidak berdasar. Karena itu pula, aku tak mau memercayai penuturan Liman begitu saja. Aku memilih tetap berkunjung ke warung Atik. Aku yakin Atik tidak melakukan hal-hal yang dituturkan Liman. Aku akan meyakini itu sampai bukti terpercaya tampak di depan mataku dan menyatakan sebaliknya. Bagaimanapun, aku tak mau cerita-cerita bohong menghalau kerinduanku untuk bersua dengan janda manis itu. 

Setalah belasan menit mengendarai motor, aku akhirnya sampai di warung Atik, di samping kompleks pasar tradisional. Tetapi selain untuk urusan perut dan perasaan, kali ini, aku bermaksud datang untuk membaca tanda-tanda, entah akan menunjukkan kekeliruan ataukah kebenaran tudingan Liman. 

Dan betapa terkejutnya aku setiba di parkiran warung milik Atik. Dengan jelas, aku melihat Liman tengah bersantap lahap di dalam warung tersebut. Cepat-cepat, aku pun bergegas masuk untuk memperkarakannya.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar