Bertahun-tahun
aku pergi bersama harapan untuk pulang. Aku beranjak ke pulau seberang demi
sebuah rencana besar, bahwa aku akan menjadi seseorang yang sukses, hingga aku
sedia untuk kembali dan memulai hidup bersamamu. Aku telah berjanji atas nama
nyawa hidupku untuk cita-cita tentang kita, dan aku akan memperjuangkannya,
seberat apa pun rintangan yang ada.
“Tampaknya
menyenangkan, ya, punya anak bayi yang menggemaskan,” tuturmu, ketika melihat
seorang ibu memanjakan anaknya, saat kita berjalan menuju ke titik kau akan
menunggu ibumu datang menjemput, selepas kita berkumpul di sebuah kafe dengan
teman-teman masa kuliah kita, sebelum kita-kita berpancar ke mana-mana demi
penghidupan masing-masing.
Aku
tergelak. “Tetapi kan harus menikah dulu. Bagaimana sih kamu!” candaku
“Ya,
tentu saja!” katamu, dengan raut kesal.
Aku
pun tertawa kecil menatap rupamu yang lucu. “Memangnya, kau ingin menikah pada
umur berapa?” tanyaku kemudian, di tengah kedekatan kita yang tanpa batas keseganan.
Kau
tampak merenung dan berpikir-pikir. “Kalau umurku sampai, inginku sih, di umur
25 tahun,” jawabmu, dengan wajah berseri-seri, seolah-olah penuh harap.
Dengan
maksud meledek, aku pun mendengus dan bertanya, “Memangnya kau yakin akan ada
yang meminangmu di umur sebegitu?”
Sontak,
wajahmu tampak muram-menggemaskan. “Namanya juga rencana!”
Aku
pun tertawa, kemudian menyelidik lagi, “Memangnya, kau ingin menikah dengan
laki-laki yang bagaimana?”
Kau
kembali tampak berkhayal-khayal. “Entah bagaimana rupanya. Yang pasti, ia harus
baik hati,” tuturmu, dengan rona senang, kemudian segera menimpali, “Eh, yang
penting juga, dia harus mapan. Paling tidak, dia harus punya rumah sebelum kami
bersama. Sebuah rumah yang sederhana, dengan taman yang luas dan pemandangan
alam yang indah.”
Seketika,
aku mengolok, “Dasar matre!”
Wajahmu
sontak menampakkan rasa keberatan. “Ya, tapi harus begitu. Bagaimana bisa hidup
bahagia kalau kebutuhan dasar semacam rumah saja tidak punya? Kan?”
Demi
rekahan senyummu, aku pun mengangguk-angguk malas.
Tiba-tiba,
kau balas bertanya, “Kau sendiri bagaimana? Perempuan seperti apa yang kau
inginkan sebagai istrimu, dan pada umur berapa kau akan menikahinya?” Kau
tampak penasaran.
“Entahlah.
Soal jodoh, entah siapa dan kapan, kan rahasia Tuhan,” balasku, begitu saja.
Kau
pun mengaduh. “Kau ini tidak adil. Tadi kan aku sudah menjawab pertanyaanmu
dengan baik, tetapi kau malah tidak benar-benar menjawab pertanyaanku.”
Aku
cuek saja dengan perasaan senang sebab telah berhasil mengulik rencanamu, dan
tidak sebaliknya. Apalagi, aku memang suka melihat wajahmu ketika
bersungut-sungut.
Sampai
akhirnya, ibumu datang untuk menjemputmu.
Segera
saja kau masuk ke dalam mobil.
“Sampai
jumpa,” pungkasku, sambil melambaikan tangan.
Kau
tersenyum manis. “Sampai jumpa,” balasmu, hingga kau menghilang di balik batas
pandanganku.
Usai
percakapan kita saat itu, aku pun beranjak ke pulau seberang setelah diterima sebagai
karyawan di sebuah perusahaan swasta. Aku pergi sambil menggenggam cita-cita
untuk menjadi seperti lelaki yang kau mau. Aku bertekad untuk memiliki rumah seperti
yang kau idam-idamkan ketika kau telah berumur 25 tahun, sehingga kau bersedia menerimaku sebagai pasangan hidupmu.
Aku
tak tahu bagaimana bentuk perasaanmu kepadaku sedari dulu. Entah kau memiliki perasaan
yang berlebih kepadaku, seperti aku kepadamu, atau tidak. Kubiarkan saja itu
berada di dalam rahasia, tanpa harus menanyakannya padamu sebelum waktunya,
sebab aku tak ingin mengikatmu dalam janji-janji untuk hidup bersama selain dengan
satu janji yang sejati, pada waktunya nanti.
Namun
setelah empat tahun berjuang demi kita, aku akhirnya pulang ketika kau telah pergi.
Tuhan ternyata lebih mencintaimu, hingga Dia memanggilmu sebelum aku sempat
menyatakan cinta untuk cintamu yang masih rahasia. Sebuah penyakit bawaan pada saraf
otakmu, yang tak pernah kau ceritakan padaku, telah menjadi jalanmu kembali kepada-Nya.
Maka
untuk waktu selamanya, harapanku pun menggantung di dalam rahasia. Aku harus
menyimpan kembali cintaku kepadamu ketika aku telah siap untuk mencintaimu
dengan cara yang sebaik-baiknya. Aku harus bertahan dengan harapan atas perasaan
itu demi kita, tanpa peduli pada omongan-omongan orang tentang aku yang tak
kunjung menikah padahal aku telah mapan dan memiliki segalanya untuk membangun
rumah tangga secara baik.
Sampai
akhirnya, seiring waktu yang kurasa merangkak lambat atas kerinduanku kepadamu,
aku pun berada di usia senja tanpa keberadaan seorang pendamping hidup. Dan tak
terelakkan lagi, orang-orang terus mencibir dan memvonis bahwa hidupku gagal,
sebab aku tak juga mendapatkan pasangan dunia sebagai teman bahagia untuk saling menjaga hingga maut menjemput.
Tetapi
keadaanku rupanya mulai berpihak pada kita. Daya tubuhku perlahan melemah, dan
aku merasa kalau kita semakin dekat. Keadaanku semakin menghawatirkan bagi
orang-orang, tetapi aku malah tenang sebab aku akan memulai kehidupan baru bersamamu.
Aku tenang atas keyakinan bahwa setelah perpisahan kita yang sementara, kita
akan bersatu selama-lamanya
Untuk
segenap cinta yang kupendam kepadamu sepanjang kebersamaan kita, juga
kerinduanku kepadamu selama jeda kebersamaan kita, aku pun merangkai kata-kata
dalam berbagai macam tulisan. Aku menggoreskannya untuk mengabadikan kita di
dunia yang fana ini, dan aku ingin semua orang membacanya, agar mereka percaya
bahwa cinta sejati itu ada.
“Tolong
terbitkan ini,” pesanku, sebagai yang terakhir, sambil menyerahkan tulisan-tulisanku
kepada seorang kepercayaanku.
Ia
lalu menyambut dan menyanggupinya. “Akan aku lakukan!”
Kini,
aku pun merasa damai, sebab tulisan terakhirku ini, telah kusertakan sebagai
penutup tulisan-tulisanku sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar