Minggu, 07 Juni 2020

Sampai Jumpa Setelah Waktu yang Lama

Bertahun-tahun aku pergi bersama harapan untuk pulang. Aku beranjak ke pulau seberang demi sebuah rencana besar, bahwa aku akan menjadi seseorang yang sukses, hingga aku sedia untuk kembali dan memulai hidup bersamamu. Aku telah berjanji atas nama nyawa hidupku untuk cita-cita tentang kita, dan aku akan memperjuangkannya, seberat apa pun rintangan yang ada.

“Tampaknya menyenangkan, ya, punya anak bayi yang menggemaskan,” tuturmu, ketika melihat seorang ibu memanjakan anaknya, saat kita berjalan menuju ke titik kau akan menunggu ibumu datang menjemput, selepas kita berkumpul di sebuah kafe dengan teman-teman masa kuliah kita, sebelum kita-kita berpancar ke mana-mana demi penghidupan masing-masing.

Aku tergelak. “Tetapi kan harus menikah dulu. Bagaimana sih kamu!” candaku

“Ya, tentu saja!” katamu, dengan raut kesal.

Aku pun tertawa kecil menatap rupamu yang lucu. “Memangnya, kau ingin menikah pada umur berapa?” tanyaku kemudian, di tengah kedekatan kita yang tanpa batas keseganan.

Kau tampak merenung dan berpikir-pikir. “Kalau umurku sampai, inginku sih, di umur 25 tahun,” jawabmu, dengan wajah berseri-seri, seolah-olah penuh harap.

Dengan maksud meledek, aku pun mendengus dan bertanya, “Memangnya kau yakin akan ada yang meminangmu di umur sebegitu?”

Sontak, wajahmu tampak muram-menggemaskan. “Namanya juga rencana!”

Aku pun tertawa, kemudian menyelidik lagi, “Memangnya, kau ingin menikah dengan laki-laki yang bagaimana?”

Kau kembali tampak berkhayal-khayal. “Entah bagaimana rupanya. Yang pasti, ia harus baik hati,” tuturmu, dengan rona senang, kemudian segera menimpali, “Eh, yang penting juga, dia harus mapan. Paling tidak, dia harus punya rumah sebelum kami bersama. Sebuah rumah yang sederhana, dengan taman yang luas dan pemandangan alam yang indah.”

Seketika, aku mengolok, “Dasar matre!”

Wajahmu sontak menampakkan rasa keberatan. “Ya, tapi harus begitu. Bagaimana bisa hidup bahagia kalau kebutuhan dasar semacam rumah saja tidak punya? Kan?”

Demi rekahan senyummu, aku pun mengangguk-angguk malas.

Tiba-tiba, kau balas bertanya, “Kau sendiri bagaimana? Perempuan seperti apa yang kau inginkan sebagai istrimu, dan pada umur berapa kau akan menikahinya?” Kau tampak penasaran.

“Entahlah. Soal jodoh, entah siapa dan kapan, kan rahasia Tuhan,” balasku, begitu saja.

Kau pun mengaduh. “Kau ini tidak adil. Tadi kan aku sudah menjawab pertanyaanmu dengan baik, tetapi kau malah tidak benar-benar menjawab pertanyaanku.”

Aku cuek saja dengan perasaan senang sebab telah berhasil mengulik rencanamu, dan tidak sebaliknya. Apalagi, aku memang suka melihat wajahmu ketika bersungut-sungut.

Sampai akhirnya, ibumu datang untuk menjemputmu.

Segera saja kau masuk ke dalam mobil. 

“Sampai jumpa,” pungkasku, sambil melambaikan tangan.

Kau tersenyum manis. “Sampai jumpa,” balasmu, hingga kau menghilang di balik batas pandanganku.

Usai percakapan kita saat itu, aku pun beranjak ke pulau seberang setelah diterima sebagai karyawan di sebuah perusahaan swasta. Aku pergi sambil menggenggam cita-cita untuk menjadi seperti lelaki yang kau mau. Aku bertekad untuk memiliki rumah seperti yang kau idam-idamkan ketika kau telah berumur 25 tahun, sehingga kau bersedia menerimaku sebagai pasangan hidupmu.

Aku tak tahu bagaimana bentuk perasaanmu kepadaku sedari dulu. Entah kau memiliki perasaan yang berlebih kepadaku, seperti aku kepadamu, atau tidak. Kubiarkan saja itu berada di dalam rahasia, tanpa harus menanyakannya padamu sebelum waktunya, sebab aku tak ingin mengikatmu dalam janji-janji untuk hidup bersama selain dengan satu janji yang sejati, pada waktunya nanti.

Namun setelah empat tahun berjuang demi kita, aku akhirnya pulang ketika kau telah pergi. Tuhan ternyata lebih mencintaimu, hingga Dia memanggilmu sebelum aku sempat menyatakan cinta untuk cintamu yang masih rahasia. Sebuah penyakit bawaan pada saraf otakmu, yang tak pernah kau ceritakan padaku, telah menjadi jalanmu kembali kepada-Nya.

Maka untuk waktu selamanya, harapanku pun menggantung di dalam rahasia. Aku harus menyimpan kembali cintaku kepadamu ketika aku telah siap untuk mencintaimu dengan cara yang sebaik-baiknya. Aku harus bertahan dengan harapan atas perasaan itu demi kita, tanpa peduli pada omongan-omongan orang tentang aku yang tak kunjung menikah padahal aku telah mapan dan memiliki segalanya untuk membangun rumah tangga secara baik.

Sampai akhirnya, seiring waktu yang kurasa merangkak lambat atas kerinduanku kepadamu, aku pun berada di usia senja tanpa keberadaan seorang pendamping hidup. Dan tak terelakkan lagi, orang-orang terus mencibir dan memvonis bahwa hidupku gagal, sebab aku tak juga mendapatkan pasangan dunia sebagai teman bahagia untuk saling menjaga hingga maut menjemput. 

Tetapi keadaanku rupanya mulai berpihak pada kita. Daya tubuhku perlahan melemah, dan aku merasa kalau kita semakin dekat. Keadaanku semakin menghawatirkan bagi orang-orang, tetapi aku malah tenang sebab aku akan memulai kehidupan baru bersamamu. Aku tenang atas keyakinan bahwa setelah perpisahan kita yang sementara, kita akan bersatu selama-lamanya

Untuk segenap cinta yang kupendam kepadamu sepanjang kebersamaan kita, juga kerinduanku kepadamu selama jeda kebersamaan kita, aku pun merangkai kata-kata dalam berbagai macam tulisan. Aku menggoreskannya untuk mengabadikan kita di dunia yang fana ini, dan aku ingin semua orang membacanya, agar mereka percaya bahwa cinta sejati itu ada.

“Tolong terbitkan ini,” pesanku, sebagai yang terakhir, sambil menyerahkan tulisan-tulisanku kepada seorang kepercayaanku.

Ia lalu menyambut dan menyanggupinya. “Akan aku lakukan!”

Kini, aku pun merasa damai, sebab tulisan terakhirku ini, telah kusertakan sebagai penutup tulisan-tulisanku sebelumnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar