Selama
tiga tahun berjalan, usaha restoran Parman terus berkembang. Omzetnya terus
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah pelanggan yang berselera pada menu
makanannya. Ia bahkan tak ragu untuk segera membuka dua cabang dengan bantuan kredit
dari bank, sebab ia yakin pasti akan sanggup menalangi cicilan utangnya itu.
Namun
sebagai orang biasa yang dahulu hanya bekerja sebagai pramusaji di warung
makan, Parman tak lupa daratan. Ia jadi orang kaya yang rajin berderma. Pada
banyak kesempatan, ia membagi-bagikan sajian restorannya kepada masyarakat
kecil. Bahkan setiap bulan, ia selalu menyisihkan bagian dari penghasilannya
untuk orang yang kurang mampu.
Sebagai
seorang pebisnis yang cerdas, Parman mengerti bahwa ia berderma karena usahanya
berkembang, dan usahanya berkembang karena ia berderma. Ia menjadikan laku
dermawannya sebagai bagian dari bentuk promosi yang baik untuk perkembangan usahanya.
Karena itu, ia selalu memajang laku dermawannya pada bentangan spanduk atau
mengunggahnya di dunia maya.
Laku
pemurah Parman, dengan gambar-gambar wajahnya yang lekat dengan wajah orang-orang
miskin, benar-benar ampuh membuat orang bersimpati. Setiap hari, orang-orang
baru terus berdatangan dan akhirnya menjadi pelanggannya, karena mereka menganggap
bahwa makan di restorannya berarti menyedekahi orang miskin secara tidak
langsung.
Tetapi
perkembangan segala bentuk usaha tidak selamanya tetap. Begitu pula dengan
usaha Parman. Pada tahun keeempat restorannya, para pelanggan mulai menghilang
satu per satu dengan sebab yang tidak bisa ia simpulkan, kecuali bahwa setiap
orang memang bebas untuk makan apa dan di mana saja, sedang ia tak bisa
mengatur-atur.
Pada
akhirnya, usaha Parman bangkrut. Meskipun selalu ada orang yang mampir untuk
bersantap, tetapi pemasukan dari itu tidak lagi mampu menalangi biaya
operasional dan cicilan kredit pengembangan usahanya di bank. Karena itu, demi
terlepas dari jurang kerugian dan utang yang semakin dalam, Parman pun menjual seluruh
aset restorannya.
Akhirnya,
Parman kembali menjadi orang biasa yang hidup pas-pasan. Kejayaannya sebagai
orang kaya telah berakhir, dan ia hanya tersisa dalam cerita sebagai seseorang
yang gagal. Tingkah lakunya sebagai orang dermawan pun usai, dan ia hanya
tinggal dalam bingkai foto yang terpampang pada cetakan spanduk yang lapuk atau
pada bagian bawah beranda dunia maya.
Hari
demi hari, Parman semakin kesulitan dalam soal ekonomi. Dengan seorang istri
dan seorang anak yang juga tak memiliki pekerjaan menghasilkan, sisa tabungannya pun semakin
terkuras untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup. Karena itu, soal gaya hidup istrinya,
juga keinginan anaknya untuk berkuliah setelah tamat SMA, akhirnya harus tunduk
pada kondisi keuangan.
Di
tengah pikirannya yang kalut untuk sekadar memikirkan kebutuhan hidup di
waktu-waktu mendatang, tiba-tiba, empat orang dengan pakaian seragam, bertandang
ke rumahnya sambil menenteng bingkisan-bingkisan bahan makanan pokok.
“Pak
Parman, kami dari Restoran Sejati. Bos kami sedang membagi-bagikan sembako
untuk masyarakat di sekitar sini. Berdasarkan keterangan dan petunjuk dari
ketua RT, kami pun memasukkan Bapak sebagai penerima bantuan,” kata seseorang di
antaranya, dengan wajah ramah, tanpa mengenali jati diri seseorang di
hadapannya. “Mohon diterima, Pak.”
Tiga
orang lainnya kemudian menyerahkan bantuan berupa sekardus mi instan, sekarung
beras, dan serak telur.
Parman
merasa canggung dan berat hati menerima bantuan dari bos bekas restorannya yang
ternyata masih menggunakan teknik promosi berdemanya. Namun karena alasan
perut, pikirannya tak bisa menolak, dan ia pun pasrah menerima. “Terima kasih,
Pak,” balasnya kemudian.
“Tapi
kami butuh berfoto dengan Bapak sebagai bukti bahwa kami memang telah
menyerahkan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan,” kata pemimpin
rombongan itu lagi.
Sontak,
Parman merasa aneh mendengar kata-kata yang sama dengan kata-kata yang ia
instruksikan kepada karyawan pembagi bantuannya dahulu.
“Boleh
kan, Pak?” tanya seseorang itu lagi.
Parman
pun mengkhawatirkan harga dirinya. Ia merasa malu membayangkan wajahnya terpampang
di dunia maya dan dunia nyata sebagai wajah orang miskin.
“Ini
hanya soal dokumentasi, Pak.”
Akhirnya,
demi bekal hidupnya sekeluarga, Parman pun mempersiapkan diri untuk terekam di
dalam bingkai foto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar