Minggu, 07 Juni 2020

Wajah Miskin

Selama tiga tahun berjalan, usaha restoran Parman terus berkembang. Omzetnya terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah pelanggan yang berselera pada menu makanannya. Ia bahkan tak ragu untuk segera membuka dua cabang dengan bantuan kredit dari bank, sebab ia yakin pasti akan sanggup menalangi cicilan utangnya itu.

Namun sebagai orang biasa yang dahulu hanya bekerja sebagai pramusaji di warung makan, Parman tak lupa daratan. Ia jadi orang kaya yang rajin berderma. Pada banyak kesempatan, ia membagi-bagikan sajian restorannya kepada masyarakat kecil. Bahkan setiap bulan, ia selalu menyisihkan bagian dari penghasilannya untuk orang yang kurang mampu. 

Sebagai seorang pebisnis yang cerdas, Parman mengerti bahwa ia berderma karena usahanya berkembang, dan usahanya berkembang karena ia berderma. Ia menjadikan laku dermawannya sebagai bagian dari bentuk promosi yang baik untuk perkembangan usahanya. Karena itu, ia selalu memajang laku dermawannya pada bentangan spanduk atau mengunggahnya di dunia maya.

Laku pemurah Parman, dengan gambar-gambar wajahnya yang lekat dengan wajah orang-orang miskin, benar-benar ampuh membuat orang bersimpati. Setiap hari, orang-orang baru terus berdatangan dan akhirnya menjadi pelanggannya, karena mereka menganggap bahwa makan di restorannya berarti menyedekahi orang miskin secara tidak langsung.

Tetapi perkembangan segala bentuk usaha tidak selamanya tetap. Begitu pula dengan usaha Parman. Pada tahun keeempat restorannya, para pelanggan mulai menghilang satu per satu dengan sebab yang tidak bisa ia simpulkan, kecuali bahwa setiap orang memang bebas untuk makan apa dan di mana saja, sedang ia tak bisa mengatur-atur.

Pada akhirnya, usaha Parman bangkrut. Meskipun selalu ada orang yang mampir untuk bersantap, tetapi pemasukan dari itu tidak lagi mampu menalangi biaya operasional dan cicilan kredit pengembangan usahanya di bank. Karena itu, demi terlepas dari jurang kerugian dan utang yang semakin dalam, Parman pun menjual seluruh aset restorannya.

Akhirnya, Parman kembali menjadi orang biasa yang hidup pas-pasan. Kejayaannya sebagai orang kaya telah berakhir, dan ia hanya tersisa dalam cerita sebagai seseorang yang gagal. Tingkah lakunya sebagai orang dermawan pun usai, dan ia hanya tinggal dalam bingkai foto yang terpampang pada cetakan spanduk yang lapuk atau pada bagian bawah beranda dunia maya.

Hari demi hari, Parman semakin kesulitan dalam soal ekonomi. Dengan seorang istri dan seorang anak yang juga tak memiliki pekerjaan menghasilkan, sisa tabungannya pun semakin terkuras untuk sekadar memenuhi kebutuhan hidup. Karena itu, soal gaya hidup istrinya, juga keinginan anaknya untuk berkuliah setelah tamat SMA, akhirnya harus tunduk pada kondisi keuangan.

Di tengah pikirannya yang kalut untuk sekadar memikirkan kebutuhan hidup di waktu-waktu mendatang, tiba-tiba, empat orang dengan pakaian seragam, bertandang ke rumahnya sambil menenteng bingkisan-bingkisan bahan makanan pokok.

“Pak Parman, kami dari Restoran Sejati. Bos kami sedang membagi-bagikan sembako untuk masyarakat di sekitar sini. Berdasarkan keterangan dan petunjuk dari ketua RT, kami pun memasukkan Bapak sebagai penerima bantuan,” kata seseorang di antaranya, dengan wajah ramah, tanpa mengenali jati diri seseorang di hadapannya. “Mohon diterima, Pak.”

Tiga orang lainnya kemudian menyerahkan bantuan berupa sekardus mi instan, sekarung beras, dan serak telur.

Parman merasa canggung dan berat hati menerima bantuan dari bos bekas restorannya yang ternyata masih menggunakan teknik promosi berdemanya. Namun karena alasan perut, pikirannya tak bisa menolak, dan ia pun pasrah menerima. “Terima kasih, Pak,” balasnya kemudian.

“Tapi kami butuh berfoto dengan Bapak sebagai bukti bahwa kami memang telah menyerahkan bantuan kepada orang-orang yang membutuhkan,” kata pemimpin rombongan itu lagi.

Sontak, Parman merasa aneh mendengar kata-kata yang sama dengan kata-kata yang ia instruksikan kepada karyawan pembagi bantuannya dahulu.

“Boleh kan, Pak?” tanya seseorang itu lagi.

Parman pun mengkhawatirkan harga dirinya. Ia merasa malu membayangkan wajahnya terpampang di dunia maya dan dunia nyata sebagai wajah orang miskin.

“Ini hanya soal dokumentasi, Pak.”

Akhirnya, demi bekal hidupnya sekeluarga, Parman pun mempersiapkan diri untuk terekam di dalam bingkai foto.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar