“Ibu
harus berani mengambil keputusan untuk mengajukan gugatan cerai,” kata Sindy,
seorang psikolog pendamping untuk korban permasalahan rumah tangga yang bekerja
di dinas pemerintahan. “Perceraian memang bukan jalan yang baik. Tetapi di tengah
keadaan rumah tanggal Ibu yang semakin memburuk, perceraian adalah jalan
terbaik.”
Nila
yang sedari tadi tertuduk lesu di tengah kebimbangan, kembali mengungkapkan
keraguannya, “Tetapi bagaimana dengan anak-anakku, Bu? Mereka pasti tak akan
bisa menerima rencana kami untuk bercerai.”
Sindy
mengangguk paham. “Tentu saja. Perceraian orang tua adalah mimpi buruk bagi setiap
anak. Tetapi mempertahankan hubungan rumah tangga yang penuh kekisruhan, malah akan
berdampak lebih buruk bagi mereka. Kalau mereka terus menyaksikan pertengkaran
ibu dengan suami sepanjang waktu, keadaan mental mereka akan terganggu.”
Bulir-bulir
air mata Nila pun bergulir di pipinya yang lebam akibat tamparan sang suami.
“Lalu, aku harus bagaimana?” tanyanya lagi, untuk ke sekian kalinya, seolah
butuh peyakinan kembali.
“Ya,
seperti yang aku sarankan. Jalan terbaiknya adalah perceraian,” simpul Sindy.
Nila
mengangguk pelan, sembari berusaha mengatur irama napasnya.
Sindy
lalu menggenggam tangan Nila. “Tenanglah, Bu. Perceraian memang keputusan yang
berat. Tetapi setelah perceraian terjadi, aku yakin, keadaan Ibu dan anak-anak Ibu
akan lebih baik daripada keadaan sekarang.”
Nila
menganguk tegas, lalu mengusap air matanya.
“Jadi,
sepulang nanti, Ibu persiapkanlah berkas-berkas yang perlu untuk melayangkan
gugatan cerai, sembari memulai untuk membicarakan rencana itu secara baik dengan
anak-anak Ibu,” tutur Sindy lagi. “Kami akan mendampingi dan membantu Ibu
supaya prosesnya berjalan dengan lancar.”
“Baiklah,
Bu,” balas Nila, dengan senyuman singkat di wajahnya yang masih tampak muram.
Sindy
pun tersenyum senang melihat kesediaan Nila untuk menerima anjurannya.
Berselang
beberapa saat, Nila kemudian pulang dengan emosi yang mulai terkendali, seolah-olah
ia memang telah menemukan jawaban yang tepat.
Sindy
pun merasa misinya telah tercapai. Ia berhasil meyakinkan Nila untuk mengambil
keputusan yang menurutnya baik, sebagimana yang telah ia pelajari dari buku-buku
dan telah ia praktikkan kepada para pasien konsultasinya yang menghadapi
permasalahan rumah tangga yang pelik.
Tak
lama setelah kepulangan Nila, Sindy pun pulang dengan perasaan yang tiba-tiba kacau.
Seketika, ia menggugat dirinya sendiri atas saran yang telah ia berikan. Ia
membayang-bayangkan, seandainya ia berada di posisi Nila, entah sanggupkah ia
mengambil keputusan untuk bercerai.
Tetapi
sebagaimana sebelumnya, ia tak ingin terjebak untuk mengaitkan dan
membandingkan sisi kehidupannya dan kehidupan para kliennya. Sebagai seorang
yang professional, ia merasa telah bertindak benar jika memberikan saran-saran
sebagaimana mestinya.
Setelah
beberapa lama menempuh perjalanan, Sindy pun tiba di rumahnya dengan perasaan
lelah jiwa dan raga. Ia kemudian duduk di sofa bersama putri kecilnya untuk
menonton televisi, sambil menikmati jus jeruk yang lekas ia ambil dari dalam
kulkas.
Berselang
sesaat, suaminya pun muncul, lebih cepat daripada waktu biasanya ia pulang dari
kantor. Seperti tabiatnya belakangan ini, suaminya itu sekonyong-konyong masuk
ke dalam rumah tanpa memberikan salam atau ucapan apa-apa.
Menit
demi menit bergulir.
Tiba-tiba,
terdengar seruan keras dari ruang dapur, “Sindy! Kemari!”
Sindy
pun segera menghadap suaminya.
“Istri
macam apa kau ini? Aku pulang capek-capek dari kerja, tetapi makanan tak juga tersaji
di atas meja!” bentak sang suami.
“Tapi
aku kan baru pulang kerja juga, Pak. Aku belum sempat masak,” melas Sindy.
Atas
kemarahannya yang tak terkendali, sang suami pun menghempaskan sebuah gelas
kaca, hingga berserakan di lantai.
“Sadar,
Pak! Tak sepatutnya Bapak marah-marah di dalam rumah!” rintih Sindy.
Sang
suami lantas mendaratkan tamparan di pipinya. “Kau memang istri yang tidak
becus!” bentaknya, kemudian bergegas keluar rumah, seperti biasa.
Sindy
kembali meneteskan air matanya atas perlakuan kasar sang suami, untuk ke sekian
kalinya.
Sesaat
kemudian, Sindy pun menyadari kehadiran anaknya yang mematung di gerbang dapur.
Ia pun lekas menyeka air matanya, lalu mendekat dan memeluk putri kecilnya itu.
“Aku sayang padamu, Nak!” tuturnya, sambil memikirkan-mikirkan jalan terbaik
untuk masa depan rumah tangganya yang telah lama ia pertahankan di tengah
keadaan yang tidak baik-baik saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar