Minggu, 07 Juni 2020

Tubuh Rumah

“Ibu harus berani mengambil keputusan untuk mengajukan gugatan cerai,” kata Sindy, seorang psikolog pendamping untuk korban permasalahan rumah tangga yang bekerja di dinas pemerintahan. “Perceraian memang bukan jalan yang baik. Tetapi di tengah keadaan rumah tanggal Ibu yang semakin memburuk, perceraian adalah jalan terbaik.”

Nila yang sedari tadi tertuduk lesu di tengah kebimbangan, kembali mengungkapkan keraguannya, “Tetapi bagaimana dengan anak-anakku, Bu? Mereka pasti tak akan bisa menerima rencana kami untuk bercerai.”

Sindy mengangguk paham. “Tentu saja. Perceraian orang tua adalah mimpi buruk bagi setiap anak. Tetapi mempertahankan hubungan rumah tangga yang penuh kekisruhan, malah akan berdampak lebih buruk bagi mereka. Kalau mereka terus menyaksikan pertengkaran ibu dengan suami sepanjang waktu, keadaan mental mereka akan terganggu.”

Bulir-bulir air mata Nila pun bergulir di pipinya yang lebam akibat tamparan sang suami. “Lalu, aku harus bagaimana?” tanyanya lagi, untuk ke sekian kalinya, seolah butuh peyakinan kembali.

“Ya, seperti yang aku sarankan. Jalan terbaiknya adalah perceraian,” simpul Sindy.

Nila mengangguk pelan, sembari berusaha mengatur irama napasnya.

Sindy lalu menggenggam tangan Nila. “Tenanglah, Bu. Perceraian memang keputusan yang berat. Tetapi setelah perceraian terjadi, aku yakin, keadaan Ibu dan anak-anak Ibu akan lebih baik daripada keadaan sekarang.”

Nila menganguk tegas, lalu mengusap air matanya.

“Jadi, sepulang nanti, Ibu persiapkanlah berkas-berkas yang perlu untuk melayangkan gugatan cerai, sembari memulai untuk membicarakan rencana itu secara baik dengan anak-anak Ibu,” tutur Sindy lagi. “Kami akan mendampingi dan membantu Ibu supaya prosesnya berjalan dengan lancar.”

“Baiklah, Bu,” balas Nila, dengan senyuman singkat di wajahnya yang masih tampak muram.

Sindy pun tersenyum senang melihat kesediaan Nila untuk menerima anjurannya.

Berselang beberapa saat, Nila kemudian pulang dengan emosi yang mulai terkendali, seolah-olah ia memang telah menemukan jawaban yang tepat.

Sindy pun merasa misinya telah tercapai. Ia berhasil meyakinkan Nila untuk mengambil keputusan yang menurutnya baik, sebagimana yang telah ia pelajari dari buku-buku dan telah ia praktikkan kepada para pasien konsultasinya yang menghadapi permasalahan rumah tangga yang pelik.

Tak lama setelah kepulangan Nila, Sindy pun pulang dengan perasaan yang tiba-tiba kacau. Seketika, ia menggugat dirinya sendiri atas saran yang telah ia berikan. Ia membayang-bayangkan, seandainya ia berada di posisi Nila, entah sanggupkah ia mengambil keputusan untuk bercerai.

Tetapi sebagaimana sebelumnya, ia tak ingin terjebak untuk mengaitkan dan membandingkan sisi kehidupannya dan kehidupan para kliennya. Sebagai seorang yang professional, ia merasa telah bertindak benar jika memberikan saran-saran sebagaimana mestinya. 

Setelah beberapa lama menempuh perjalanan, Sindy pun tiba di rumahnya dengan perasaan lelah jiwa dan raga. Ia kemudian duduk di sofa bersama putri kecilnya untuk menonton televisi, sambil menikmati jus jeruk yang lekas ia ambil dari dalam kulkas.

Berselang sesaat, suaminya pun muncul, lebih cepat daripada waktu biasanya ia pulang dari kantor. Seperti tabiatnya belakangan ini, suaminya itu sekonyong-konyong masuk ke dalam rumah tanpa memberikan salam atau ucapan apa-apa.

Menit demi menit bergulir.

Tiba-tiba, terdengar seruan keras dari ruang dapur, “Sindy! Kemari!”

Sindy pun segera menghadap suaminya.

“Istri macam apa kau ini? Aku pulang capek-capek dari kerja, tetapi makanan tak juga tersaji di atas meja!” bentak sang suami.

“Tapi aku kan baru pulang kerja juga, Pak. Aku belum sempat masak,” melas Sindy.

Atas kemarahannya yang tak terkendali, sang suami pun menghempaskan sebuah gelas kaca, hingga berserakan di lantai. 

“Sadar, Pak! Tak sepatutnya Bapak marah-marah di dalam rumah!” rintih Sindy.

Sang suami lantas mendaratkan tamparan di pipinya. “Kau memang istri yang tidak becus!” bentaknya, kemudian bergegas keluar rumah, seperti biasa.

Sindy kembali meneteskan air matanya atas perlakuan kasar sang suami, untuk ke sekian kalinya.

Sesaat kemudian, Sindy pun menyadari kehadiran anaknya yang mematung di gerbang dapur. Ia pun lekas menyeka air matanya, lalu mendekat dan memeluk putri kecilnya itu. “Aku sayang padamu, Nak!” tuturnya, sambil memikirkan-mikirkan jalan terbaik untuk masa depan rumah tangganya yang telah lama ia pertahankan di tengah keadaan yang tidak baik-baik saja.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar